"Nih..." Sesil menyodorkan paper bag.
" Thank you."
"Si bos gimana?" tanyanya.
Pagi ini ia dikagetkan dengan Karina yang mendadak minta tolong bawakan pakaian ke rumah sakit, dan lebih kaget lagi saat tahu bosnya yang super pekerja keras dan terkenal jarang sakit itu sekarang tumbang dan harus dirawat.
"Udah bangun sih, masih lemas aja katanya."
"Oh baguslah. Gue pengen jenguk sih tapi mau ke kantor, tadi izinnya cuma sampai jam sembilan. Gila Lo gak ngasih tahu orang kantor apa gimana? Sampai pas Gue izin ke Tomi si ember jadi heboh satu kantor!"
Karina hanya memasang senyum canggung, menggaruk kepalanya yang mendadak ingin digaruk, apa karena dia belum mandi ya?
"Barusan Gue hubungin bu Irda, ngabarin kalau mungkin selama beberapa hari pak Bara gak masuk kerja dulu."
"Terus cuti Lo?"
Karina mendesah pelan.
"Menurut Lo, Gue bisa cuti dengan damai?"
"Iya sih. Tapi emang gak ada keluarga yang bisa jagain beliau gitu?"
"Adiknya lagi di luar kota."
Sesil sebenarnya masih ingin mengobrol tapi waktu yang dia miliki mepet sekali karena harus segera kembali ke kantor.
Sekembalinya Karina ke kamar rawat Bara, pria itu sedang berjalan - jalan pelan, mondar - mandir.
"Bapak sudah enakkan?"
Bara menjawab dengan gumaman. Matanya menatap ke arah paper bag yang Karina bawa.
"Baju Saya Pak. Bau bangke Saya belum mandi dari kamarin," katanya tanpa rasa malu.
Bara mengendus. "Pantesan," katanya santai.
Karina mencebik kesal.
"Sakit aja nyebelin," gumamnya.
"Mandi aja, toiletnya lengkap."
"Okeh. Bapak yakin bisa jalan - jalan sendiri?"
"Hmmm. Saya baik - baik saja, cuma agak nyeri sedikit. Oiya handphone Saya di mana?"
Karina terdiam sesaat. Seingatnya semalam ia hanya mengangkut Bara tanpa membawa barang lain, di pakaian yang Bara kenakan semalampun tak ada apa - apa, Karina yakin sudah memeriksa kantongnya. Dompet saja tak ada.
"Kayaknya ketinggalan di kantor deh."
"Kenapa gak di bawa?"
"Yeee si Bapak. Mana ingat, keburu panik."
"Saya bosan," keluhnya.
"Nonton tv kan bisa Pak."
"Sudah Saya nyalain, gak ada yang bagus."
"Jam segini biasanya ada sinetron pagi Pak." Karina nyengir, sengaja memancing, ingin melihat reaksi seorang Bara yang tidak pernah menonton televisi ini.
"Kamu nonton yang begituan?"
"Hehee. Nggak sih Pak."
Bara mendesah pelan.
"Sendirinya nggak nonton tapi nyaranin orang."
Karina hanya tertawa canggung.
"Kamu mau mandikan?"
"Iya."
"Saya pinjam handphone Kamu."
"Buat apa Pak?" Paniknya.
Bukannya apa, ia sedang berchat ria mengghibah di grup julidnya, kan berabe kalau bosnya ini tahu kalau dirinya sedang dibicarakan di grup itu.
"Mau cek email."
"Gak ada, Gak boleh." tegas Karina.
"Ingat kata dokter. Bapak harus istirahat. Daripada ngecek kerjaan mending Bapak jalan - jalan. Pikirin gimana caranya biar cepat buang angin biar cepat bisa minum, makan. Bapak gak lapar emang?"
Bara hanya menatapnya sedikit menyipit curiga.
"Tingkat kecerewetan Kamu naik lima puluh persen," ucapnya.
"Saya gak akan baca pesan di handphone Kamu. Saya cuma mau
Buka email."
Karina menatap menyelidik. Ragu, kan bahaya kalau tiba - tiba muncul pop up pesan.
"Gak. Gak ada kerja - kerjaan sampai Bapak pulih."
"Terus kerjaan Saya gimana?"
"Aman Pak. Percaya aja sama Saya ya, udah Saya handle, semuanya. Okeh."
Karina memutar badan masuk ke toilet, badannya sudah tak sabar ingin diguyur air. Selesai mandi ia keluar dan ruang rawat kosong. Entah kemana perginya bosnya itu.
"Kemane lagi tu orang?" gumamnya.
"Di sini." Bara masuk berjalan pelan sambil menyeret tiang infus.
Karina menoleh ke arah pintu.
"Darimana Pak?"
"Gara - gara Kamu pelit Saya pinjam handphone, jadi Saya harus keluar pinjam telpon rumah sakit buat minta tolong kirimkan handphone Saya dari kantor."
Karina menganga, seniat itu bosnya ini untuk bekerja.
"Pak, gak bisa LDRan dulu gitu, barang sebentar sama tu hp?"
"Gak," jawab Bara singkat. Duduk di atas tempat tidur kemudian minum.
"Udah boleh minum emang Pak?"
"Hmmm," gumam Bara.
"Bagus deh. Saya pintain makanan dulu ya."
Bara makan dengan pelan, tertekuk sedikit saja bekas operasi di perutnya terasanya nyeri.
"Beneran Kamu sudah handle semua kerjaan Saya?"
"Udah Pak. Gak percaya banget dah. Saya udah minta tolong bu Vera, pak Alex sama Rasya juga," jelasnya. Saat sarapan tadi selain sibuk menjawab banyak pesan, ia juga sudah berkoordinasi dengan atasan - atasannya yang lain mengenai absennya Bara selama beberapa hari ke depan.
"Sini Saya suapin." Karina mengambil sendok dari tangan Bara. Ia risih melihat bagaimana Bara menyuap makanan ke mulutnya.
"Saya bisa sendiri."
"Bisa emang, tapi kening Bapak berkerut mulu dari tadi," jelasnya di mana Bara terlihat menyerjit saat mengangkat sendok ke mulutnya.
Bara diam saja, memperhatikan Karina yang dengan sangat telaten menyuapinya.
"Saya udah telpon Hosea, katanya besok baru sampai sini."
Bara hanya bergumam mengiyakan.
Mereka terdiam cukup lama sampai suara ketukan terdengar. Grace, COO perusahaan dan Anggun datang menjenguk.
"Waduh ganggu gak nih Kita?." Grace menggoda mereka.
"Gak Bu monggo masuk." Karina membereskan wadah makanannya, dan meletakkannya ke atas meja.
Mereka mengobrol ringan, dan Grace menceritakan betapa hebohnya kantor saat mendapat kabar kalau Bara tumbang. Bahkan doa berdatangan dari cabang - cabang perusahaan, mendoakan agar Bara cepat sembuh.
"Kamu kenapa gak ngabarin dari semalam Kar?" tanya Anggun.
"Gak ingat Mbak. Blank," jawab Karina, yang memang tak ingat apapun selain menunggui Bara.
"Paling gak kalau Kamu ngabarinkan Saya bisa temenin."
"Iya Mbak."
"Terus cuti Kamu gimana? Bukannya mau pulang kampung?"
Semua kompak menoleh ke arah Karina.
"Ahhh... Gak jadi kayaknya Mbak."
"Kalau mau pulang kampung, pulang aja. Biar Bara Saya yang tungguin."
******
Akhirnya Karina pulang ke kontarkannya. Tadinya ia mau tetap menunggui Bara tapi Anggun terus mendesaknya untuk pulang kampung saja. Karina bingung kenapa Anggun bersikap seperti itu, memang perhatian pada Karina atau sengaja mengusirnya. Perasaan Karina serasa tak enak, kurang nyaman rasanya.
Dengan kesal ia memasukkan pakaian yang akan ia bawa ke dalam koper. Tadinya ia sudah mengabari orang tuanya kalau dia batal pulang, tapi sekarang ia justru sedang bersiap untuk berangkat.
Handphonenya bergetar tanda ada pesan pribadi yang masuk.
"Siapa ni?" tanyanya saat melihat chat dari nomor asing.
[Assalamu'alaikum Karina. Saya Hanif, teman Mbak Susan.]
Karina menyerjit, ia baru ingat kalau Susan mau mengenalkan pada temannya.
[Waalaikumsalam. Iya. Salam kenal Mas Hanif]
Jawabnya sesopan mungkin. Ingat perkenalan awal itu sangat penting, karena Karina yang sudah bertekad untuk resign ini berniat untuk menikah begitu ia tidak bekerja romusa lagi.
[Salam kenal. Katanya mau pulang ya? Kapan? Saya mau mampir]
Karina bimbang. Haruskah ia benar - benar pulang?