Malu

1318 Words
*****""" Tengah malam bunda hendak ke dapur mengambil minum namun ia dikagetkan dengan Bara yang sedang duduk di lantai sambil menghadap laptop di atas meja. "Loh Nak Bara nggak tidur?" Bara menoleh, ia tadi sedang fokus memeriksa beberapa laporan pekerjaan. "Iya Bunda, habis ini tidur," jawabnya. "Jangan banyak begadang nggak baik buat kesehatan." "Ini juga kayaknya nggak bisa tidur karena tadi sore ketiduran." Bunda hanya tersenyum saja. Ia ingat Karina sering mengatakan kalau bos anaknya itu gila kerja. Kemudian berjalan ke dapur. Bunda meletakkan segelas teh hangat ke atas meja. Bara yang nampak fokus menganalisa data mendongak. "Terimakasih Bunda." "Yo. Tapi tidur, ini sudah malam jadwalnya tidur. Tuh Bapak aja sudah molor, mana ngorok lagi." Bara hanya tertawa melirik ke arah Bapak yang sedang tertidur di depan televisi. Tadi mereka agak berdebat tentang di mana Bara akan tidur, sebenarnya Bara akan tidur di kamar Karina tapi pria itu lebih dulu pura - pura tertidur di depan televisi dan akhirnya bapak yang menemani. "Ya sudah. Bunda masuk dulu ya." Bunda menepuk punggung Bara kemudian masuk ke kamar. Keesokkan harinya, Karina sedang membantu Bunda membuat sarapan di dapur sementara Bara sedang mandi di kamar mandi kamarnya. "Semalamkan Bunda kebangun, terus ke dapur mau ambil minum. Eh bos Kamu masih bangun, mana kayaknya lagi kerja sambil buka laptop." Karina mendesah pelan. "Kebiasaan banget. Padahal udah dibilangin kalau dia harus istirahat yang cukup. Masih aja doyan begadang." "Emang biasanya dia begitu Dek?" "Bukan lagi Mbak. Pernah kadang dia minta kirimin file jam tiga pagi, udah kayak kalau mintanya siangnya dunia bakal kiamat." "Tapi gajinya cocok kan Dek." "Gajinya sih cocok. Cuma kerjaanya itu yang bikin geleng - geleng. Tu orang mungkin sudah menganggap kerjaan sebagai isterinya." Bunda dan Susan saling pandang. "Yah gimana, kan istri sungguhan belum ada. Mana tahu habis nikah dan punya istri sendiri jadi berubah." Karina hanya mencebik tak mau merespon lagi. Ia jadi teringat kata - kata dan sikap ambigu Bara akhir - akhir ini. Bosnya itu entah kenapa jadi lebih perhatian, dan sering mengatakan sesuatu yang membuatnya berdebar. Ia hanya tak mengerti kenapa Bara bersikap begitu padanya. Sebebarnya sejak dulu Bara memang perhatian hanya saja akhir - akhir ini perhatiannya terasa agak berbeda Karina rasakan. "Bun ada tukang sayur tu di depan. Belanja nggak?" teriak Bapak dari teras depan. Bapak sedang mengurusi burung peliharaannya. "Kar. Kamu belanja gih." Karina agak mencebik. Ogah - ogahan karena dia tak mau bertemu dengan tetangga yang jelas sekarang sedang mengerumuni tukang sayur keliling. "Mbak Susan aja." "Mbak mau mandiin Adin. Kamu gih, anak gadis, sekalian tu pamer sama tetangga." "Pamer apaan Mbak? Apaan yang bisa dipamerin?" "Loh, punya calon suami seganteng itu, mana kaya raya lagi, masa nggak mau dipamerin." "MBAK," sergah Karina dan Susan sambil cekikikan berjalan cepat menuju kamarnya menjauhi amukan Karina. "Bunda, Mbak Susan tuh," adu Karina. Bunda malah hanya senyam senyum sendiri. Karina sambil misuh - misuh berjalan ke depan rumah tempat tukang sayur keliling mampir. Sudah banyak ibu - ibu yang mengerubunginya. Karina menghela nafas, sebisanya tak ingin banyak kontak tapi bagaimana belum juga sampai ke tukang sayur ibu - ibu yang tadi sibuk bergosip langsung menengok padanya. "Pulang kampung Kar?" tanya salah seorang ibu - ibu yang cukup ia kenal. "Iya Bi," jawab Karina singkat dan langsung memilih bahan makanan yang tadi di suruh bunda untuk dibeli. "Kamu masih kerja jadi sekretaris?" Karina mengangguk. "Iya." "Oh. Jadi itu beneran mobil bos Kamu?" Sudahku duga, ucap Karina dalam hati, ia sudah menduga arah pembicaraan ini. Ujung - ujungnya akan menanyakam bosnya. "Iya Bi." "Ngapain ke sini?" "Mampir aja Bi, Lagi ada kerjaan di Bandung jadi sekalian mampir." "Oh gitu. Emang bener ya gaji Kamu gede jadi sekretaris?" Karina mulai risih, tapi bagaimana ia masih harus menyelesaikan belanjaannya. "Lumayanlah Bi." Orang yang sejak tadi mengajak Karina bicara tersenyum pongah. "Sekarang Ridwan kerja di pertamina loh, gajinya lima belas juta sebulan. Belum lagi Sania pacarnya sekarang jadi youtuber, penghasilannya gede. Kemarin baru aja beli mobil Alphard yang harganya satu milyar itu," bangganya. Dan Karina rasanya mau muntah. "Oh gitu, selamat deh." Karina sih biasa saja. Memang dulu saat SMA dan keluarganya belum jatuh bangkrut Karina pernah pacaran dengan Ridwan anak Bi Iroh ini. Tapi setelah orang tua Karina bangrut, Bi Iroh dengan lantang menyuruh mereka putus dan terang - terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada Karina. Akhirnya mereka putus dan Ridwan pacaran dengan Sania, yang sejak dulu memang menyempil dihubungan mereka. "Iya. Nyaman banget mobilnya. Beda sama mobil bos Kamu itu." Niatnya ingin mengejek. Bi Iroh ini naik mobil bosnya Karina saja belum pernah, soknya minta ampun. "Yah bedalah Bi." Karina melihat ke arah bi Iroh dan ibu - ibu lain. "Mobilnya bos Karina harganya empat kali lipat harga Alphard, jadi jelas beda." Bi Iroh terdiam. "Masa sih mobil begitu doang, biasanya cuma berapa ratus juta." Karina tersenyum, "Cek aja. Itu mobil keluaran Eropa. Bos Karinakan wong sugih, mana level pakai mobil murah." Karina mulai kesal, ia terus bertanya - tanya kenapa ia dikelilingi oleh orang yang suka pamer dan mata duitan. Di kontrakan ada Tante Widya yang doyan pamer harta, di sini eh malah Emaknya mantan, menyebalkan sekali. "O... oh gitu ya." Bi Iro nampak kaku tak bisa lagi menjawab. Karina bicara dengan tukang sayur dan membayar belanjaannya. "Sebentar lagi Ridwan sama Sania mau menikah. Kamu datang ya. Nikahnya di gedung." Karina nyaris mengeratkan gigi saking sebalnya. Ibu - ibu yang lain saja kadang terlihat ennek berbicara dengan Bi Iroh ini. Karina bisa melihat hal itu. "Selamat kalau begitu." "Terus Kamu kapan Kar? Jomblo terus nggak pernah bawa calon suami ke rumah." Batas kesabaran Karina yang setipis benang itu mulai terasa akan putus. "Loh ini Karina bawa calon suami pulang," ucapnya saking kesalnya. Semua ibu - ibu itu terdiam dan mulai berbisik. Terselip rasa senang saat melihat wajah bi Iroh yang lagi - lagi memerah karena merasa kalah oleh ucapan Karina. Karina berbalik dan hendak masuk ke dalam rumah, namun naasnya Bara sedang berdiri di teras sambil memandanginya. Mata Karina membulat, dalam hati ia komat - kamit berdoa semoga Bara tak mendengar apa yang ia katakan tadi. Ia benar - benar merasa malu. Tapi masa ia nggak dengar, kan tadi Karina bicara cukup keras. Kadung malu, Karina berjalan cepat masuk ke dalam rumah dengan perasaan gelisah, melewati Bara begitu saja, tanpa menggubris pria itu. Setelah meletakkan bahan makanan di atas meja ia langsung berjalan cepat masuk ke dalam kamar. Ia meringis mengingat ucapannya tadi. Kenapa dia jadi emosi, tuh kan emosi malah membuat masalah. "Karina Lo udah gila ya?" Karina menepuk kesal kepalanya. Ia terlalu ceroboh mengatakan hal seperti itu. Bagaimana kalau Bara salah paham? Dirinya selama ini sudah sering mengusir perempuan yang mengaku sebagai pacar Bara, masa sekarang ia harus mengusir dirinya sendiri? Karina merasa tak punya muka untuk keluar dari kamar, ia tak siap bertatap muka dengan bosnya itu. Cukup lama ia berguling di atas tempat tidur merutuki kebodohannya sendiri. Handphonenya berdering, nada khusus dan dia tahu betul dari siapa itu. Karina meringis. Ia malas untuk mengangkatnya, tapikan itu telpon dari bosnya, masa iya mau diabaikan. "Hallo Pak," ucapnya kemudian berjalan ke arah jendela kamar, karena memang ia belum membukanya. "Lihat ke bawah." Karina refleks melihat ke arah bawah dan benar saja ada Bara yang sedang berdiri di luar sambil mendongak ke arah jendela kamarnya. Karina yang kaget malah menarik gorden jendela sampai tertutup. Bara mendesah di seberang sana. "Kamu kenapa? Bunda nanyain Kamu kenapa ngurung diri di kamar? Diketuk pintu kamar Kamu juga nggak dijawab." Karina masih diam. Dia masih malu dan tak sanggup bertemu muka dengan bosnya itu. "Nggak kenapa - kenapa. Saya cuma mau malas - malasan di kamar kok." Bara diam sesaat. "Saya nggak dengar kok yang tadi." "Maksud Bapak?" "Ucapan Kamu waktu belanja sayur tadi Saya nggak dengar." Mata Karina membulat. "BAPAK," teriaknya. Bara tertawa dan Karina rasanya ingin menghilang saja saking malunya. ******** #VOTE dan KOMEN ya. #Berhubung sudah hari kerja lagi. Author mau nguli dulu, maklum kalau jarang up hehe
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD