Rumah Karina (4)

1793 Words
Adin turun dari pangkuan Bara kemudian berlari ke dapur hendak menghampiri Karina yang sedang mencuci piring. "Auntie Karkar," serunya menarik ujung baju Karina. Karina melihat ke arah samping kanannya. "Kenapa Adin cayang?" "Nanti Auntie mau menikah ya sama Om itu?" tanyanya. Karina nyaris menjatuhkan piring yang sedang ia pegang. "Kok nanyanya begitu?" "Soalnya kata Mamanya Laudia temannya Adin, kalau bawa cowok ke rumah itu berarti mau menikah," ucapnya mengulang apa yang tadi ia ucapkan pada Bara. Karina bingung bagaimana cara menjelaskannya, darimana pula mamanya si Laudia ini menarik kesimpulan begitu mana bicaranya sama anak kecil lagi. "Om yang di depan itu bosnya Auntie bukan calon suaminya Auntie." "Tapi kata Omnya disuruh tanya, Auntie mau nggak nikah sama Om?" Mata Karina melebar, entah kenapa jantungnya malah berdetak kencang, wajahnya terasa panas. "Omnya ngomong begitu?" Adin mengangguk polos. Karina mencuci tangan, menuntun Adin kembali ke ruang tengah. Bara masih mengobrol dengan Bapak, sementara Bunda dan Susan sedang menonton televisi. "Pak," panggilnya, Bara dan Bapak menoleh bersamaan. "Pak yang mana ini Kar?" tanya Bapak. "Pak Bara." "Oh. Kan udah dibilang jangan dipanggil Bapak kalau di rumah sini, kan Bapak jadi bingung." Karina menarik napas mencoba mengontrol diri. "Pak Bara," tegasnya. "Bapak jangan ngomong yang aneh - aneh deh sama anak kecil." "Memangnya Saya ngomong apa?" Karina bingung, haruskah ia memberitahu apa yang Adin ucapkan. Tapi kalau Bara tidak pernah bicara begitu gimana? Kan malu. Tapi masa iya anak kecil begini mau berbohong hal seperti itu. Mengerti saja tidak. "Pokoknya jangan ngomong yang aneh - aneh," tegasnya dan langsung berbalik hendak kembali ke dapur, ia merasa malu sendiri. Namun langkahnya terhenti dan kembali menatap Susan. "Mbak, mending Adin jangan main sama Laudia. Masa anak umur empat tahun dikasih tahu omongan absurd begitu," ucapnya kemudian berjalan cepat kembali ke dapur. Ia masih kesulitan mengontrol diri. Tak lama salam terdengar dari pintu depan, Bunda baru mau berdiri membuka pintu tapi tamu itu langsung masuk begitu saja. "Loh ada tamu?" tanya seorang perempuan paruh baya yang baru saja datang dan nyelong masuk. Susan mencebik agaknya tak suka dengan kedatangan ibu dan anak yang tak lain adalah bibi dan sepupunya. Mau ngapain lagi mereka datang kemari. Pikirnya. "Iya. Ini bosnya Karina." Bapak memperkenalkan Bara. Pria itu hanya tersenyum formal. "Bos? Pantes ada mobil mahal parkir di depan." Sepupu Karina tersenyum genit kelihat ke arah Bara. Mereka hendak menyalami Bara namun handphone Bara lebih dulu berbunyi dan ia izin keluar untuk mengangkat telpon. Karina kembali dari dapur dengan agak ngedumel. Bisa - bisanya dia hampir mempermalukan dirinya sendiri, saat keluar dia malah sudah melihat bi Sumi dan Clara sepupunya, membuat moodnya makin jelek saja. Malas sekali ia rasanya meladeni orang - orang ini. Dulu saja saat mereka susah dan butuh pinjaman semua kerabat menjauh dan pura - pura tak kenal. Sekarang di saat kekuarganya mulai bangkit mereka berkerubung macam semut. "Bos Karina mana?" tanyanya karena tak melihat Bara. "Lagi angkat telpon keluar," jawab Susan. "Bos Kamu masih lajang Kar?" Karina menghela napas ia malas menjawab pertanyaan bibinya yang jelas kalau tahu akan segera mengobral anaknya ini. "Masih Bi." Clara tersenyum senang, begitu juga dengan bi Sumi yang langsung merapikan dandanan Clara, jijik sekali Karina melihatnya. Susan bahkan langsung mengambil Adin dan masuk kamar dengan dalih akan menidurkan anaknya. Padahal jelas ia tak mau berbicara dengan ibu dan anak ini. Clara mendekat ke arah Karina yang sedang duduk sembari memijat kaki Bunda. Matanya fokus melihat ke arah leher Karina. "Kalung baru ya? Pinjam dong?" katanya tangannya menjulur dan nyaris menyentak kalung di leher Karina. "Lo mau minjam atau mau ngerampok?" tanya Karina tak suka. "Pelit banget sih. Cuma mau pinjam aja. Berapa sih kalau kecil begitu dong." Bi Sumi mendumel dan Karina amat sangat membeci orang seperti ini. Kenapa juga mereka tak tahu diri, sering sekali datang ke rumah mereka. Dulu datang ke mari untuk menghina kesusahan keluarganya, sekarang datang seperti pengemis. Menyebalkan sekali. "Kalau dipikir harganya gak seberapa, beli sendiri sana," cecar Karina. "Anak Kamu ini loh Kang, nggak di ajarin sopan santun apa?" marah bi Sumi. Bapak hanya santai menonton televisi. "Kalau dia nggak terpelajar dan punya sopan santun, nggak mungkin Karina bisa jadi sekretaris bos besar dan digaji lebih dari dua puluh juta setiap bulan." Karina tersenyum senang mendengar Bapak membelanya. Bunda hanya diam saja, ia bahkan tak ingin berbicara dengan orang - orang ini. Tapi dasar orangnya saja tak tahu diri datang macam jelangkung. "Segitu aja dibanggain terus. Clara juga bisa kalau cuma sekedar jadi sekretaris bos. Gampang." Clara melipat tangannya seolah setuju dengan perkataan ibunya. Karina ingin muntah rasanya. Coba saja kalau bisa, tak sampai seminggu saja paling nangis minta berhenti, baru dipeloti Bara saja Karina yakin mentalnya langsung drop. "Coba Kamu bilang ke bos Kamu itu, bisa nggak masukkan Clara jadi karyawannya. Clara ini pintar, cerdas, cantik." Karina makin jijik. Mereka berdua pasti sudah tahu dari tetangga - tetangga kalau ada bos Karina di sini. Apalagi mulut Asri yang cepat menyebar gosip. "Bilang aja sendiri," jawab Karina. Tak tahu saja mereka, Bara itu paling anti dengan yang namanya nepotisme. Jadi biasanya kalau ada karyawan di bagiannya masuk jalur nepotisme dan bekerja tak becus ia akan meminta bagian HRD memindahkannya ke antah berantah. Belum bi Sumi menjawab lagi Bara masuk kembali. Clara langsung mendekat menjukurkan tangan mengajak berkenalan. "Kenalin, Aku Clara," ucapnya sembari mengangkat tangannya mengajak berjabat tangan. Bara memperhatikan tangan itu, namun acuh dan malah berbicara dengan Karina. "Nana, di depan ada penjual Tekwan. Mau makan?" tanyanya, cuek dengan tamu yang baru datang. "Mau," jawab Karina penuh semangat, ingat Karina sangat suka makan gratis sekalipun ia masih terasa kenyang. "Ayo keluar," ajak Bara dan benar - benar mengabaikan Clara yang mukanya memerah karena malu. "Ayo Pak, Bun Kita makan tekwan." Bapak dan Bunda nampak ragu. "Makan sepuasnya dibayarin bos Karina. Cus," ajak Karina lagi. Karena ia tahu orang tuanya ragu, mereka sudah makan malam dan setelah kejadian kebangkrutan dulu keluarganya terbiasa berhemat, kalau mau makan tekwan biasanya Bunda yang membuatnya sendiri biar hemat dan bisa dapat banyak. "Nggak enak ah Kar." "Bun, gini. Pak Bara itu kalau nyetopin penjual bakso, mie ayam, tekwan atau penjual makanan apapun itu, biasanya belinya segerobak nggak cuma sepiring dua piring doang. Kuy lah." "Ya udah deh. Kalau gitu Bunda ambil pirinh dulu." Bunda berjalan ke dapur. "Mbak Susan mau makan tekwan nggak?" teriak Karina. Dan susan langsung menyahut. Kedua orang tamu tak diundang juga dengan tak tahu malunya ikut ke depan untuk makan, padahal seingatnya, Karina tak menawari mereka. Bara sedang berdiri di samping gerobak sembari mengobrol dengan penjual tekwan. "Bapak jangan makan pedas." Bara menoleh. "Sedikit doang." "Nggak." Karina menggeleng. "Satu sendok aja." Karina menggeleng lagi. "Seujung sendok, fix no debat." "Ya udah ini Kamu takarin." Dan benar saja Karina hanya memasukkan cabainya seujung sendok saja. "Nggak enak makan nggak pedas." "Lebih nggak enak lagi kalau masuk rumah sakit," kekeh Karina. Kan semuanya demi kesehatan Bara sendiri. "Enak ya Kang, istrinya perhatian banget," ucap penjual tekwan yang sejak tadi memperhatikan mereka yang nampak mesra. Karina linglung, siapa istri yang mamang - mamang ini maksud? "Iya Dia memang sangat perhatian," jawab Bara seenteng itu membuat Karina salah tingkah, ia takut Bara tahu kalau wajahnya memanas. Di saat pikiran Karina tak karuan, Clara mendekat dan langsung menempel pada Bara, dengan tak tahu malunya ia menggandeng lengan Bara. Bara yang risih secara sengaja sedikit menumpahkan kuah tekawan panas dan kena ke kaki Clara sampai gadis itu menjerit kepanasan. "Aww panas," teriaknya. Bara bahkan tak bergeming, kadang bosnya ini memang seekstreem itu. Karina menahan tawa yang nyaris menyembur, dia hafal betul, bosnya ini kalau tak suka dengan seseorang yang menempel padanya akan dengan sangat jahat mengusirnya menjauh dan inilah salah satu contohnya. "Kamu nggak apa - apa?" tanya bi Sumi yang langsung mendekat sambil tegopoh - gopoh mendengar jeritan anaknya. "Perih Ma, kena kuah tekwan." "Kok bisa?" Clara melirik pada Bara, pria itu dengan cuek malah memgambil kerupuk yang menggantung di gerobak tekwan. Bi Sumi yang tak tahu harus apa memilih menuntun anaknya ke teras. Karina mengacungi Bara jempol. Ia sudah tak kuat menahan tawa apalagi saat melihat wajah Bara yang tanpa rasa bersalah itu malah mengangjat bahu cuek. Beberapa pemuda lewat dan menyapa mereka yang memang sedang duduk berkumpul di teras. "Malam Mang," sapa mereka pada Bapak. "Malam." Melihat itu Bara langsung mengajak mereka untuk makan tekwan bersama, bahkan tak terasa para tetangga juga jadi ikut makan bersama mereka. Setelah semua selesai makan, Bara berjalan ke arah mobilnya. Kemudian kembali lagi sembari membawa dompet yang amat sangat Karina kenal, "dompet uang jajan" milik bosnya. Karina masih duduk di teras, hari sudah hampir jam setengah sepuluh malam. "Berapa duit itu yang bos Kamu kasih, kayaknya lebih banyak bayarannya." "Biasa gitu Mbak. Udah Karina bilangkan tadi, dia itu kalau jajan segerobak - gerobaknya. Biarin aja." "Oh. Loyal banget ya. Sebaik itu orangnya kok belum berkeluarga juga?" "Kayaknya sih gagal move on, Mbak?" "Move on?" Karina mengangguk, dan dia tak ingin membahasnya, entah kenapa kalau ingat hal itu ia jadi merasa kesal. "Kakinya Clara sakit kena kuah tadi, bisa nggak Kami diantar pakai mobil?" ucap Bi Sumi, ketara sekali modusnya. Bara tak menjawab dan malah mengangkat hpnya yang berdering. Padahal Karina hafal betul suara ringtone itu tanda ada chat bukan telpon. Karina lagi - lagi menahan tawa, karena rencana bibinya yang gagal terus. "Kena kuah sedikit, merah aja nggak. Nggak usah drama lah. Malu sama bosnya Karina," ucap Bapak. Dia sendiri tak suka dengan adiknya ini. Bara tiba - tiba memanggil Karina dan mengajaknya masuk, seolah ada sesuatu yang hendak di bicarakan. Sesampainya di dalam Bara rupanya hanya minta segelas air hangat, jadi ia duduk di meja makan sembari menunggu Karina menuangkan air hangatnya. "Kamu senang banget kayaknya." "Yah gimana. Lucu aja ngelihat mereka Bapak acuhkan haha," tawa Karina terdengar, ia merasa sangat senang karena kedua orang itu akhirnya akan pulang dengan malu. "Soalnya Kamu dan keluarga seperti nggak nyaman dengan mereka." "Biasa Pak, itu mereka manusia yang kalau Kita susah bukannya di tolongin eh malah menghina. Pas Kita udah bangkit dari kesusahan mereka malah datang nggak tahu malu." "Banyak banget ya orang kayak gitu." Karina mengangguk. "Iya, banyak banget. Mana Saya jadi berpikir kok banyak sekali manusia toxic di sekitar Saya." "Sama," jawab Bara. Karina mengerutkan kening. "Keluarga Bapak juga ada yang begitu?" "Iya. Mereka menempel seperti lintah saat tahu Saya sudah sukses. Sangat menjijikkan," jujurnya. Karina baru kali ini melihat Bara berkata yang konotasinya agak kasar. "Bapak Oke?" tanya Karina karena sesaat tadi Bara terlihat sedih. "Yah. Saya baik - baik saja selama Kamu ada di samping Saya," jawabnya dan jangan tanya apa kabar jantung Karina, yang jelas ia tak ada bisa tidur nyenyak malam ini. ******** #Part di rumah Karina sengaja Author buat agak detail ya guys. Kalau nggak suka skip aja hahaaa... #Vote dan Komen ya. Mana tahu khilaf akutuh up lagi..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD