Makin Banyak Vote makin banyak komen makin cepat update haha.
********
Karina celingukan melihat Bara dan perempuan di depan sana yang saling pandang. Wajah Bara mengeras.
Karina belum pernah melihat bosnya berekspresi seperti itu. Ia mulai berpikir mungkinkah perempuan yang juga Karina kenal itu adalah Ratu mantan bosnya? Karina menggeleng, masa iya? Sempit sekali dunia ini kalau memang seperti itu.
"Pak?" seru Karina. Seolah tersadar Bara tersenyum tipis memandang ke arah Karina.
"Kenapa?" tanya Bara.
"Bapak kenapa tiba - tiba ngerem mendadak? Kening Saya sakit ini kena punggung Bapak," ucap Karina seolah ia mau Bara mengalihkan pandangannya.
Perempuan tadi masih melihat ke arah mereka. Begitu juga dengan wanita paruh baya yang duduk di depan perempuan itu langsung melihat ke arah mereka begitu nama Ditya disebut.
"Loh Ditya? Apa kabar?" seru Wanita paruh baya itu.
Karina rasanya benar - benar mau menganga, bagaimana mungkin? Pikirnya.
Bara mendekati meja mereka dan tersenyum tipis, ia nampak santai.
"Baik. Tante apa kabar?" tanya Bara balik dengan tenang, seolah ekspreai yang barusan Karina lihat tidak pernah ada.
"Sehat. Kami sehat. Ini aja lagi liburan, suaminya Rani sekarang sudah jadi kepala dinas, ada kerjaan di Bali jadi sekalian deh Kami liburan," bangga tante Widya.
Karina mencoba tenang, ia masih belum bisa menerima apa yang terjadi di hadapannya. Dapat Karina lihat mata Rani nampak bergetar menahan tangis.
"Kamu sendiri ngapain di hotel mahal ini? Dapat liburan gratis dari kantor? Atau lagi nyales di sini?" tanya Tante Widya dan Karina merasa kesal dengan ucapan itu.
"Iya Saya lagi nyales di sini," jawab Bara santai.
"Oh gitu? Pantes ya. Untung dulu Rani nggak sampai salah pilih."
Bara diam saja ia malah menatap ke arah Rani ada tatapan tak biasa dari bosnya itu dan Karina sekali lihat saja tahu kalau tatapan itu merupakan tatapan penuh perasaan dan Karina entah kenapa tak suka dengan itu.
"Ditya...." Suara Rani bergetar, matanya sedikit memerah, ia mencengkram meja erat, tak sanggup melanjutkan ucapannya.
"Pak Kita udah ditunggu," ucap Karina tak tahan lagi, ia sejak tadi menyembunyikan diri di belakang Bara. Juga kelihatannya Rani dan Tante Widya tidak melihat dirinya.
Tante Widya menatap Karina heran.
"Karina? Kamu ngapain di sini?"
"Lagi kerja Tante. Maaf ya Kami permisi dulu, ada janji. Ayo Pak Kita sudah ditunggu."
Karina menginstruksikan Bara untuk melanjutkan jalan mereka menuju tempat tujuan.
"Kalau begitu Saya permisi." Bara dan Karina berlalu menuju meja mereka, Rani masih menatap kedua orang yang baru saja berlalu pergi dari hadapannya dengan tatapan sendu.
Karina sesekali melirik ke arah Rani dan Tante Widya duduk tadi. Saat ia melihat ke arah sana, Rani juga sedang melihat ke arah mereka. Karina mulai kepo akut, apa yang sebenarnya terjadi.
Bara sendiri nampak santai mengobrol dengan Mr. Denis, rekan bisnis mereka dari negara tetangga.
"Saya permisi ke toilet dulu," ucap Karina meminta izin.
Sekeluarnya ia dari bilik toilet ia malah berpapasan dengan Rani yang baru saja selesai mencuci wajahnya. Wajahnya nampak sendu seperti habis menangis.
"Mbak Rani? Mbak nggak apa - apa?"
Rani tersenyum ramah seperti biasa kemudian menyeka wajahnya dengan tisu.
"Nggak apa - apa kok. Mau balik ya? Ayo bareng," ajaknya.
Karina sebenarnya malas apalagi harus bertemu muka dengan tante Widya. Muak sekali rasanya Karina, di rumah bertemu mereka eh di sini yang nyebrang pulau malah masih ketemu juga. Mereka lagi mereka lagi.
Rani tak bicara apapun, juga tak menanyakan apapun pada Karina hingga mereka berjalan dalam hening.
Karena berjalan bersama Rani mau tak mau Karina jadi harus lewat jalan yang sama dengan Rani, padahal tadi ia sudah lewat jalan lain untuk menghindar.
Melihat Karina yang berjalan bersama Rani, Tante Widya langsung mengamit Karina.
"Karina. Kamu kok bisa bareng sama Ditya?" tanya Tante Widya kepo.
"Ditya? Ditya siapa?" tanyanya sok polos. Karina tersenyum karena satu ide muncul di benaknya.
Tante Widya agak berdecak. "Yang tadi bareng Kamu, itu," tunjukkan ke arah Bara yang masih mengobrol santai.
"Oh itu. Itu mah Pak Bara, bosnya Karina."
"Bara? Bos?" Tante Widya tanpa tak percaya.
"Masa sih? Terus Kamu ngapain di sini?"
"Ya kan Karina sekretarisnya jadi wajarkan kalau lagi kerja Karina ngikutin dia."
Kening Tante Widya mengerut. "Sekretaris?"
Karina mengangguk lagi.
"Tapi bukannya Kamu sekretaris direktur ya?"
"Iya Tante."
"Jadi...." Tante Widya menganga kemudian melihat ke arah Bara dan Karina bergantian.
"Maksud Kamu Ditya itu Direktur?" Kagetnya.
"Masa sih? Kamu nggak bohongkan?"
"Ngapain Karina bohong Tante, apa untungnya."
Tante Widya masih menatap tak percaya. Sementara Rani sendiri nampak tenang, duduk sembari sesekali mengelus kepala putri bungsunya.
"Jadi maksud Kamu yang punya mobil mahal yang Kamu pakai kemarin itu Ditya?"
"Iya Tante. Mobil kemarin punya pak Bara, bosnya Karina, CMO, Direktur Marketing, dan salah satu pemegang saham di perusahaan tempat Karina kerja," jelas Karina lagi. Karina rasanya mau tertawa, senang aja ia melihat wajah Tante Widya yang biasanya sombong dan rianya minta ampun itu nampak kaget dan tak bisa menerima.
"Masa sih Ditya yang gembel itu sekarang jadi Direktur."
Karina terdiam sesaat, agak kesal mendengar ucapan wanita paruh baya ini. Tak tahu mengapa ia merasa marah, bosnya yang pekerja keras itu dikatai gembel, kalau gembel aja punya Range Rover miliar begitu apa kabar orang kayanya?
"Namanya juga hidup Tante. Roda kehidupan itu berubah, begitu juga dengan bos Karina. Kalau gitu Karina pamit dulu ya, tuh udah disuruh ke sana," ucap Karina cepat lalu berpamitan pada Rani, Bara sudah melihat ke arahnya tanda pria itu membutuhkan kehadirannya.
********
Karina dan Bara sedang berjalan - jalan di tepi pantai setelah makan malam. Mereka berjalan dalam diam, tak ada satupun yang mau memulai pembicaraan, tapi Karina gerah harus terus berdiam diri begini, jadi setelah mengumpulkan keberanian ia hendak bertanya apa yang sebenarnya terjadi tadi, walau secara garis besar Karina sudah paham kalau Rani adalah Ratu mantan bosnya ini.
"Pak?" seru Karina.
"Mau duduk dulu?" Bara mempersilahkan Karina duduk di kursi tepi pantai. Pantai malam hari terlihat tenang.
Karena instrupsi Bara tadi, Karina jadi ragu untuk bertanya.
"Kamu tadi mau bicara apa?" tanya Bara karena Karina tak kunjung bicara, bahkan sampai kelapa muda mereka datang suasana masih hening.
"Gini, tapi Bapak jangan marah atau tersinggung ya."
Karina menatap Bara sambil memelas, bukannya apa, dia tidak bermaksud untuk mengulik masa lalu bosnya ini.
Bara berdehem mengiyakan sembari meminum air kelapanya.
"Yang tadi itu mantan Bapak?"
Bara berdehem lagi.
"Mantan yang mana?" tanya Karina lagi, mana tahukan Bara punya pacar yang lain selain wanita bernama Ratu.
Bara menaruh kelapa muda yang tadi ia pegang ke atas meja.
"Mantan Saya cuma satu."
Karina cukup kaget mendengar hal itu. Tapikan matan bosnya Karina ini namanya Ratu bukan Rani.
"Tapi bukannya mantan Bapak namanya Ratu?"
Bara tertawa kemudian menatap ke arah Karina.
"Mereka orang yang sama."
"Tapi kenapa dipanggil Ratu? Nama Mbak Ranikan kalau nggak salah Maharani ya?"
Bara mengangguk, mengiyakan.
"Kalau dipikir agak malu juga mengatakan alasannya kenapa bisa nama Rani jadi Ratu."
"Memangnya kenapa Pak?" tanya Karina makin merasa kepo dengan apa yang terjadi di masa lalu Bara.
"Apa ya kalau istilah zaman sekarang itu. Bucin ya. Saya dulu layaknya remaja bisa, suka lebay, Jadi bisa dibilang itu panggilan saat Kami masih pacaran".
Karina masih diam menyimak. Tapi kenapa rasanya ia makin kesal karena Ratu itu ternyata panggilan sayang mereka.
"dan juga dulu ia pernah jadi Queen sekolah,juga karena namanya Maharani yang berarti yang Mulia."
"Tapi kenapa malah jadi Ratu bukannya harusnya Queen ya?"
"Yah nggak tahu juga Saya. Lambat laun malah jadi dipanggil Ratu sampai sekarang."
"Terus dia cinta pertama Bapak?"
Bara diam saja tak menjawab. Karina yang melihat keterdiaman bosnya malah jadi merasa tak enak hati.
"Maaf Pak kalau Saya lancang," ucap Karina.
Bara tersenyum melihat wajah merasa bersalah Karina.
"Kamu mau dengar kisah hidup Saya?"
Karina mendongak tak menyangka bosnya ini menawarkan diri untuk bercerita, sejak dulu Karina memang kepo dengan masa lalu Bara, mengapa bosnya ini gila kerja sekali, sebegitunya mencari uang.
"Bapak mau cerita sama Saya?" Bara mengangguk.
"Kalau Kamu nggak keberatan untuk mendengarkannya."
Tentu saja, bagaimana mungkin Karina keberatan akan hal itu.
"Kamu tahu Saya bukan berasal dari keluarga yang mampu. Ayah hanya buruh bangunan dan ibu Saya seorang buruh cuci. Saat Saya berusia lima tahun Ayah Saya meninggal karena kecelakaan saat bekerja tapi dari pihak sana tak mau bertanggung jawab.
Kami yang hanya orang miskin ini tak bisa apa - apa selain pasrah melawan orang yang punya kuasa. Setelah itu Ibu Saya mati - matian bekerja demi bisa memberikan kehidupan yang layak untuk saya."
Bara tersenyum tapi Karina tahu mata pria itu bergetar menahan kesedihan. Mungkin merasa sedih karena harus mengulik masa lalu yang menyedihkan.
"Saya ingat dulu, Ibu Saya sering berhutang ke sana dan ke mari demi membesarkan Saya yang saat itu belum mengerti betapa sulitnya untuk bisa bertahan hidup.
Beliau terkadang membawa ayam goreng pulang, katanya diberi oleh majikannya. Saya ingat saat itu, betapa enaknya rasa ayam itu. Saya menawari Ibu Saya utuk ikut mencicipinya tapi beliau tidak mau. dan beralasan, 'Ibu sudah makan, ini jatah Kamu.
Saat itu Saya tak tahu kalau semua itu hanya kebohongan. Keesokan harinya saat Saya pulang bermain, Ibu Saya sudah di rumah sambil mengompres tangannya yang memerah. Dan beberapa hari kemudian Saya tahu kalau Ibu Saya dituduh mencuri dan dipukuli, bahkan beliau dipecat dan gajinya tidak dibayar.
Ibu Saya dituduh mencuri ayam goreng. Hanya karena sepotong ayam mereka memperlakukan ibu Saya seburuk itu. Demi Tuhan sampai saat ini Saya tak bisa memaafkan mereka.
Tapi Ibu Saya berbeda, beliau tersenyum pada Saya dan bilang semuanya baik - baik saja. Ayam itu halal, anak majikannya yang memberikannya untuk ibu.
Bertahun - tahun berlalu, ibu Saya masih sama bekerja banting tulang. Untung saja Kami masih memiliki rumah peninggalan Ayah, jadi Kami tak harus tinggal di jalanan. Kesehatan Ibu semakin lama semakin buruk, mungkin karena faktor kelelahan. Ibu mulai sakit - sakitan, terakhir yang Saya tahu beliau kena TBC dan akhirnya meninggal saat Saya berusia sembilan tahun. Ibu saat Saya menangis di akhir hayatnya, mungkin beliau merasa tak rela meninggalkan Saya sebatang kara. Ibu Saya juga tak bisa mendapatkan pengobatan yang layak.
Hal yang begitu Saya sesali, saat Saya sesukses ini, tak ada beliau yang ikut menikmati hasil kerja keras Saya."
Entah sejak kapan air mata mengalir di pipi Karina. Ia tak pernah menyangka kalau hidup Bara semenyedihkan itu. Tanpa ia sadari tangannya terulur meraih bosnya itu kemudian menarik Bara dalam pelukannya.
********
#VOTE dan KOMEN oy.
Dan jangan lupa doain Author biar gak kena lahar panas bos sangar haha