Kamu pikir kalau anak kita punya kebaikan itu berarti menurunnya dari kamu? Kalau ada yang tidak baik atau kurang memuaskan berarti menurunnya dari aku? Danastri sangat kesal pada apa yang mungkin saja tengah suaminya pikirkan. Tapi, sejak awal pun ia sudah memperkirakan hal seperti ini akan terjadi. Suaminya bukanlah seorang pria yang rendah diri. Ia cukup rendah hati, tapi hanya pada dunia luar. Jika di hadapan keluarganya semua akan berubah seratus delapan puluh derajat. Sangat menyebalkan dan hanya buat perasan jadi tidak enak. Tapi, memangnya apa sih yang bisa wanita yang berasal dari keluarga tidak sekaya dan sejumawa Senna seperti dirinya lakukan? KEcuali berharap di dalam hati terdalam, bercerminlah Alterio, bercerminlah!
.......
Tapi, tetap saja. Pada akhirnya pun lava itu tak bisa keluar juga dari dalam rongga mulutnya. Semua omelan yang sudah ia siapkan di dalam kepala hanya mengalir mulus sampai batas pikiran saja. Akal sehat wanita terhormat itu sama sekali tidak mengizinkan apa yang ia inginkan mengalir turun ke tenggorokan agar bisa diutarakan. Ia masih saja disandingkan pada kenyataan. Yang berkata bahwa ia sendiri pun sama sekali belum siap untuk kehilangan status sebagai salah satu anggota keluarga klan Senna. Kalau sampai memutuskan berpisah dari Rio hanya karena tidak tahan dengan sikapnya.
Walau ia harus disamakan dengan kutu binatang sekalipun. Ia akan berusaha keras untuk mengalah dan menahan perasaan.
"Seharusnya keluarga Senna memeriksa dengan baik dulu silsilah keluargamu. Agar tidak melewatkan kecacatan sedikit pun. Kalau sudah begini kan jadinya malah keturunanku yang terlihat jelek. Padahal sudah ada Delvin yang sesuai dengan pakem keluarga Senna. Tapi, keberadaan adiknya benar-benar bisa merusak citra orang tuaku," omel pria itu lagi.
Danas hanya terdiam, "..."
“Malu tujuh turunan lho Bu aku. Sampai keluarga Senna yang lain tau kalau aku punya anak seperti itu," keluh Rio tak habis-habisnya mencecari latar belakang serta asal usul gen dan leluhur wanita yang sudah cukup lama menjadi pendamping hidupnya itu.
"Sayang, aku ingin menanyakan sesuatu. Apa boleh?" tanya Danas pada akhirnya dengan nada suara dan intonasi datar. Berusaha keras memberanikan diri untuk mempertahankan sedikit saja harga diri.
"Apa lagi yang mau kamu tanyakan?" tanya Rio sengit.
"Sebenarnya kamu itu menganggap aku sebagai apa? Dalam pernikahan kita yang sudah berlangsung selama sepuluh tahun ini," tanya Danas.
Rio langsung mengusek-usek poni rambutnya yang sejak tadi sudah berantakan karena terus ditekan oleh berbagai macam pikiran. Ia bertanya, "Bicara apa sih kamu? Aku itu belum selesai bicara, ya. Sudah berani kamu menyela omongannya suamimu," tegurnya.
"Ah, ternyata kamu masih menganggap bahwa diri kamu sendiri itu adalah suamiku. Tapi, kamu menganggap aku ini apa, Rio? Istri, kah? Pendamping hidup, kah? Atau tidak lebih dari sekadar kantong penyemai untuk s****a-spermamu yang selalu kamu anggap unggul dan tanpa cacat itu?" tanya Danas.
"Dan... Say... Akh!" Rio mencengkram dahinya lagi karena pusing menyikapi pertanyaan dari sang belahan jiwa.
"Ada apa? Selama ini kamu tidak pernah menganggap aku sebagai manusia, 'kan? Kamu hanya menganggap aku tidak lebih dari perangkat yang memiliki tugas untuk melahirkan anak-anakmu yang harus sempurna.
“Setelah itu fungsi diriku akan berubah jadi perangkat yang bertugas jadi pelampiasan rasa tidak puasmu akan darah dagingmu sendiri. Dan kamu menyalahkan aku karena melahirkan anak seperti Saki?" tanyanya. Ia tepuk dahinya tidak percaya. Plok.
"..."
"Aku tegaskan ya, Rio. Dia itu ANAKMU. Anak kandungmu. Dia tercipta dan lahir ke dunia ini dari spermamu, s****n. Aku hanya tabung yang bertugas untuk memberinya nutrisi sebagai persiapan untuk lahir ke dunia.
“Dan kamu bilang bahwa itu semua merupakan kesalahanku? Salah dari para pendahulu serta leluhurku? Punya hak apa kamu bicara seperti itu?" tanya Danas mulai berani mengambil suatu sikap tegas. Ia tidak bisa diperlakukan seperti ini sampai dasawarsa-dasawarsa selanjutnya dalam biduk rumah tangga mereka.
"Dasar istri kurang ajar!" teriak Rio. Siap memukul wajah sang belahan jiwa.
Danas tetap berdiri tegak. Tidak sedikit pun meringkuk takut atau melindungi diri. Ia percaya bahwa suatu keseimbangan harus tercipta dalam menjalani suatu biduk rumah tangga. Siapa pun juga yang jadi pasangannya.
Cklek. Pintu ruangan Rio tiba-tiba terbuka. Delvin, sang putra yang paling dibanggakan, muncul dengan wajah santai mendekati kedua orang tua yang malah terbatu kala melihat ke arahnya.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Delvin?! Masuk ke ruangan Ayah tanpa permisi. Seperti anak yang tidak pernah diajari sopan santu saja,” omel Rio pada putra sulungnya.
"Tolong maafkan aku, Ayah, Ibu. Aku hanya tidak sengaja mendengar pertengkaran kalian dari ruang belajar. Karena pendengaranku ini sebenarnya cukup tajam," jawab Delvin santai.
"Anak ini lagi!" Melihat respon seperti itu tak ayal membuat Rio pun ingin memukul anak sulung yang paling ia banggakan.
Paling ia puji keberadaannya. Tidak seperti adiknya.
"Ayah, di dalam kepala saya ada sesuatu yang keluarga kita banggakan dan nanti-nanti selama bergenerasi-generasi, lho. Ayah yakin mau memukulnya? Di badan saya juga ada tulang kuat dan kemampuan kinestetik luar biasa yang tidak dimiliki oleh semua anak di keluarga kita. Ayah yakin mau menyakitinya? Dan yang terpenting, saya ini kan bagian dari diri Ayah. Ayah yakin mau meninggalkan kenangan buruk di batin saya?" tanya Delvin dengan intonasi menantang.
"Kamu dan adikmu memang sama saja dengan wanita itu. Sama-sama CACAT," umpat Rio. Beranjak kembali duduk di "singgahsananya".
Delvin menoleh ke arah sang ibunda yang menangis tersedu-sedu meski tanpa suara isakan. Air matanya menetes dengan deras. Tapi, tak sekali pun pria yang merupakan ayahnya melihat itu. Dan mengusapnya. Berusaha menghilangkan atau sedikit menghalau kesedihannya.
"Ayah, kalau mau cerai sama Ibu aku gak mau ikut Ayah, ya," peringat Delvin dengan “lancangnya”.
"Bicara apa kamu?!" murka Rio tak habis pikir. Ada apa sih dengan para keturunannya? Kenapa mereka semua tidak ada yang sempurna seperti para anak dari keluarga Senna yang lain? Ini pasti salah istrinya... ini semua pasti salah gen tidak berkualitas yang mengalir dari diri istrinya... pasti itu.
Melihat tampang sang ayah entah kenapa Delvin seolah bisa menebak apa yang sedang pria paruh baya itu pikirkan. Ia pun berkata lagi, "Gampangnya seperti ini, Ayah. Kalau kalian sampai bercerai. Itu berarti perjanjian yang kita buat tempo hari batal, yah," ancam anak itu dengan wajah tanpa dosa.
Si pria paruh baya hanya bisa membelalakkan kedua mata tak percaya.
+++++++
Di kamar anak laki-laki dengan hati besi itu. Delvin.
Ia tengah bersiap-siap untuk beranjak ke tempat tidur. Mengganti pakaian yang sudah ia kenalan seharian ini ke piyama. Membaca sholawat, ayat kursi, beberapa surat pendek, dan doa sebelum tidur agar istirahatnya tidak diganggu oleh syaithan. Dan . . .
Tok tok tok.
Belum juga dijawab. Pintu kamarnya sudah terbuka duluan dari luar. Cklek. Sang ibunda beranjak masuk dengan langkah yang sangat senyap. Wanita itu belum mengganti pakaiannya ke pakaian tidur. Masih menggunakan baju yang ia pakai untuk beraktifitas satu hari ini.
"Delvin, Ibu ingin berterima kasih. Karena sudah melindungi Ibu tadi," buka Danas dengan tampang yang malu malu.
Aku sama sekali tidak habis melindungi Ibu, kok. Aku hanya memikirkan kebaikan Saki. Adik yang paling aku sayangi, batin Delvin saat itu. Ia membalas ucapan ibunya, "Gak apa-apa kok, Bu." Delvin membatin lagi, kalau kalian sampai cerai yang akan paling direpotkan tuh aku tau. Kalian berdua pasti akan berusaha untuk memperebutkan hak asuhku, bukan? Padahal aku ini masih anak di bawah umur. Pasti jatuhnya ke Ibu. Tapi, keluarga Senna yang mengerikan itu pasti tidak akan begitu saja tinggal diam aku lepas dari kekuasaan dan otoritas mereka.
Kalau kalian sampai berpisah aku bisa jadi tikus dalam tempurung jika harus melawan keinginan klan Senna. Itu berbahaya. Hal seperti itu tidak boleh dibiarkan sampai terjadi.
Intinya aku ini hanya memikirkan diri sendiri. Cih. Sama saja sebenarnya dengan kalian, para orang dewasa.
Mendengar ucapan putranya. Danas langsung reflek memeluk tubuh Delvin. "Tolong maafkan Ibu, Delvin. Ibu benar-benar tidak... benar-benar tidak... huu... huu... huuu..." Wanita itu berakhir menangis tersebu-sedu.
Delvin membalas pelukan ibunya dengan pelukan yang jauh lebih lembut. "Aku akan memaafkan Ibu. Tapi, Ibu harus minta maaf dan memeluk Saki juga.”
Danas tiba-tiba berhenti menangis. Langsung menolehkan kepala guna menatap wajah putra sulungnya. “Apa... ?”
"Bisakah... Bu?" tanya Delvin datar dengan sepasang sorot mata yang meyakinkan. Dengan pelukan yang tak lagi selembut sebelumnya.
Saat itu. Wanita itu bagai tengah melangkah di atas jembatan yang hanya sebesar helai rambut yang dibelah tujuh. Jika terjatuh ke sisi kanan maka ia akan mendapatkan ending yang buruk untuk ceritanya. Namun, jika ia terjatuh ke sisi kiri pun. Tetap tidak akan ada ending yang baik untuk kisahnya.
Waktu yang diiringi oleh hembusan badai masalah hidup. Masalah yang pada awalnya ia pikir bisa usai jika berhasil menjadi pendamping hidup dari seorang Aristide Alterio Senna yang merupakan salah satu keturunan klan konglomerasi Senna.
Apakah ada dunia di mana badai berhenti berhembus?
+++++++
Dunia di mana masalah tak pernah ada... apakah benar-benar ada? Apa kamu pernah mencicipinya? Apa kamu pernah mengharapkannya? Bagaimana sikapmu saat menghadapi kenyataan yang disuguhkan oleh-Nya?
Masih bisakah kamu tertawa?