CHAPTER :: 03

1555 Words
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Sudah waktunya anak-anak untuk pulang ke rumah masing-masing. Di luar sudah terlihat ramai orang tua yang menunggu manusia kecil berlarian ke arah mereka. Sedangkan di dalam kelas masih terdengar suara yang saling bersahutan membaca doa sebelum pulang. "Oke, yang barisannya paling rapi pulang duluan!" Ucap Inez setelah menjawab salam dari anak-anak. Mendengar hal itu, anak-anak bertubuh mungil dan menggemaskan itu serentak menegakkan tubuhnya dengan tangan yang terlipat di atas meja. "Oke, barisannya Cantika. Boleh pulang." Ucap Inez yang langsung mendapatkan seruan dari mereka. "Pelan-pelan. Nggak usah lari-lari, sayang." Tegur Inez. "Assalamualaikum Bu.." pamit mereka satu persatu saat berpas-pasan dengan Inez di samping pintu Inez tersenyum. "Waalaikumsalam, duduk di sini. Pakai sepatunya. Ingat, yang dipakai kaki kanan dulu. Oke?" Ucap Inez. "Siap Bu." Jawab mereka. "Oke, sekarang barisan Razan. Yuk, pulang." Ucap Inez. Barisan yang berisi tiga anak laki-laki itu langsung berlarian ke arah Inez. Menjulurkan tangannya, kemudian mengecup punggung tangan Inez. Tak lupa, ucapan salam pun turut menjadi bagian penting yang selalu mereka ucapkan ketika pulang sekolah. "Pelan-pelan, tidak usah berebutan." Tegur Inez saat melihat tiga anak itu berebut mengambil sepatu. "Oke, terakhir barisan Dzaky." Ucap Inez. "Yeayyy!!" Teriak mereka antusias yang kemudian segera bingkas dari tempat duduknya masing-masing. "Dzaky belum dijemput ya! Zanna juga. Jadi jangan dulu ke tempat parkir. Tunggu di sini dulu sama Bu Guru, oke?" Ucap Inez sambil mencegat Dzaky dan juga Zanna. "Siap Bu!" Jawab Dzaky. Sedangkan Zanna, gadis kecil itu hanya terdiam. "Oke, sekarang pakai sepatunya. Kita tunggu Ayah sama Bunda di tempat bermain, mau?" Perintah dan tawar Inez setelah semua murid di kelasnya pulang. "Ayeayyy, oke Bu!" Jawab Dzaky senang. Kemudian segera memakai sepatunya. "Zanna, kok bengong? Ayok, pakai sepatunya sayang." Ucap Inez ketika melihat Zanna yang masih terdiam di sampingnya. Mendengar itu, Zanna menoleh. Menatap Inez dengan tatapan bingung. "Pakai sepatunya, sayang. Zanna bisa pakai sendiri kan? Yuk, kita pakai!" Ucap Inez dengan nada yang lebih pelan dan lembut. "Pakai sepatu?" Tanya Zanna. Inez mengangguk. "Iya, abis itu kita ke tempat bermain. Kita main di sana." Balas Inez sambil menunjuk tempat bermain yang jaraknya kurang lebih lima meter dari tempat mereka berdiri. Zanna menganggukkan kepalanya paham. Gadis kecil itu pun segera memakai sepatunya. Inez memperhatikan setiap gerak gerik Zanna dan menunggunya dengan sabar. Inez memang sengaja tidak membantu Zanna, karena Inez ingin Zanna bisa mulai belajar untuk melakukan hal-hal kecil untuk melatih motoriknya. "Bu Guru, Dzaky ke sana duluan ya!" Ucap Dzaky. "Iya, nanti Ibu nyusul. Dzaky tunggu disana, oke?" "Siap Bu!" Balas Dzaky. "Bisa taliinnya?" Tanya Inez dengan mata yang fokus menatap mata kecil di depannya. Zanna menggeleng. "Nggak bisa. Susah." Jawab Zanna pelan. "Oke, Bu guru bantu ya. Sambil Zanna lihatin, cara ibu ikat sepatu Zanna. Oke?" Ucap Inez kemudian menalikan sepatu Zanna dengan perlahan. Agar Zanna bisa memperhatikan langkah demi langkah dalam mengikat sepatu. Ya, meskipun Tidak akan langsung membuat Zanna bisa, tapi setidaknya jika Inez terus mengajarkan Zanna meskipun memerlukan waktu yang lama, Inez yakin, perlahan Zanna pasti akan bisa melakukannya sendiri. "Sudah selesai! Yuk, kita main di sana. Sambil nunggu Ayah Zanna jemput." Ajak Inez sambil mengulurkan tangannya agar Zanna bisa menggenggam tangannya. Zanna yang sudah paham, langsung mengambil tangan Inez untuk digenggamnya. Dua gadis berbeda generasi itu pun segera pergi menuju tempat bermain. Inez duduk di kursi panjang yang tersedia di samping tempat bermain. Membiarkan Zanna dan Dzaky asyik dengan permainannya masing-masing. 15 menit sudah mereka bermain, tapi keduanya belum juga di jemput. Inez menghembuskan nafasnya lelah. Perutnya sudah mulai berteriak meminta diisi, namun karena harus menunggu dua anak muridnya yang belum dijemput, Inez harus menahannya terlebih dahulu. "Bu Inez, masih ada yang belum di jemput?" Tanya Aya yang berjalan menghampiri Inez. Inez menggeleng. "Belum. Dua orang lagi." Jawab Inez. Aya duduk di samping Inez. "Udah di telepon?" Tanya Aya lagi. "Kalau Dzaky emang udah bilang bakal agak telat. Kalau Zanna, belum. Bentar deh, aku telepon dulu ya. Titip dulu, mau ambil handphonenya di kelas " *** Getaran handphone di atas mejanya membuat fokus Fawaz langsung teralihkan. Namun, bukannya mengangkat telepon tersebut, Fawaz justru melanjutkan kegiatan meetingnya bersama client. Client kali ini adalah sepasang calon suami istri. Mereka meminta Fawaz untuk memasakkan beberapa menu di hari pernikahan mereka nanti. "Oke, jadi saya hanya perlu membuat 3 dessert untuk acara nanti?" Tanya Fawaz agar lebih jelas "Iya pak, 3 dessert dengan masing-masing 500 pcs." Jawab calon pengantin pria. "Kapan acaranya?" Baru selesai Fawaz bertanya, handphonenya kembali bergetar. Fawaz mengambil handphone tersebut. "Maaf saya izin angkat telepon dulu. Sepertinya penting." Izin Fawaz yang langsung diangguki oleh pasangan tersebut. Fawaz pun bingkas dari duduknya. Dan berjalan sedikit menjauh dari mereka. Fawaz melihat handphonenya yang sudah tidak bergetar lagi. Saat melihat jam, u*****n langsung keluar dari mulutnya. Iya lupa, 30 menit yang lalu adalah jam pulang sekolah Zanna. Pantas, wali kelas anaknya itu tidak berhenti menghubunginya. Fawaz pun segera mengetikkan beberapa kalimat kepada wali kelas Zanna. Tidak lupa pria itu pun mengucapkan maaf karena keteledorannya. Setelah itu, Fawaz pun segera kembali menghampiri clientnya. "Maaf, sepertinya untuk meeting kali ini kita lanjut nanti saja bagaimana? Saya harus menjemput anak saya, ini sudah telat 30 menit." Ucap Fawaz setibanya di sana. "Ah ya, tidak apa-apa. Kita bisa bicarakan lagi nanti." "Terimakasih. Kalau begitu, saya pamit duluan. Anak saya sudah menunggu. Assalamualaikum.." "Waalaikumsalam..." Setelah berpamitan, Fawaz segera bergegas keluar dari cafenya ini. Melangkahkan kakinya dengan tergesa menuju mobil hitam miliknya. Tangannya merogoh saku celana, mencari kunci dibalik kain hitam yang membalut kaki jenjangnya itu. "Mau kemana bos, buru buru amat!" Tanya Dharma yang kebetulan baru saja membuang sampah. "Jemput Zanna, udah telat 30 menit nih. Duluan ya! Titip caffe, kalau ada apa-apa langsung telepon saya. Saya pamit ya!" Jawab Fawaz yang kini sudah duduk di atas kemudinya. "Ya siap! Hati-hati Bos. Jangan ngebut!" Teriak Dharma, saat melihat mobil Fawaz melesat begitu saja. Fawaz yang mendengar itu hanya membunyikan klakson mobilnya sebagai jawaban. *** Inez menatap anak perempuan yang duduk di sampingnya. Wajah cantik itu kini sudah tertekuk bosan. Inez menyulam senyumnya, mengusap puncak kepala gadis kecil tersebut. "Sabar ya, Ibu sudah telepon Papa Zanna. Sebentar lagi sampai." Jelas Inez lembut. Zanna terdiam. Menatap Inez dengan wajah yang mulai terlihat murung. "Papa.." balas Zanna yang masih bingung mengungkapkan keinginannya. Inez yang paham pun tersenyum. "Iya, sebentar lagi Papa datang. Papa masih di jalan. Zanna harus sabar, oke? Kan ada Bu guru." Balas Inez. "Papa.." Balas Zanna dengan kata yang masih sama. Inez pun merangkul bahu Zanna. "Papa sebentar lagi jemput, masih di jalan." Jelas Inez lagi. Sedikit memberikan penekanan, agar Zanna bisa mengerti. "Di jalan?" Tanya Zanna. Inez mengangguk. "Iya, sebentar lagi sampai. Sabar ya.." kali ini Zanna menganggukkan kepalanya. "Zanna mau main lagi? Kita main yuk, Bu guru temanin. Mau?" Tanya Inez, kali ini sambil menatap mata Zanna dalam. Berharap gadis kecil itu bisa mengerti maksudnya dalam satu kali berbicara. Zanna terdiam. Terlihat seperti berpikir. Inez menunggunya, mencoba menerka-nerka keterdiaman Zanna. Apakah gadis kecil itu masih bingung atau sedang mencerna maksudnya? Tak lama Zanna menggelengkan kepalanya. "Nggak mau. Mau papa.." Cicit Zanna. Inez tersenyum mendengar itu. Perkembangan Zanna sudah sedikit meningkat. "Oke, kalau begitu kita tunggu Papa saja." Ucap Inez tanpa melepas kontak matanya dengan Zanna. Tanpa keduanya sadari, seorang pria yang menjadi topik pembicaraan mereka sudah berdiri tegak tak jauh dari posisi mereka duduk saat ini. Pria itu terlihat mengulas senyumnya, melihat interaksi dua orang perempuan berbeda usia itu. Fawaz, pria itu melangkahkan kakinya. Jantungnya terasa berdebar saat langkahnya semakin dekat ke arah Inez. Sudah lama Fawaz tidak merasakan perasaan seperti ini. Dan kali ini, perasaan itu hadir kembali. Membuat senyum di wajahnya semakin lebar. "Assalamualaikum.." sapa Fawaz. Inez dan Zanna yang sedang menikmati suasana yang sepi dan tenang itu langsung menoleh. "Eh, Waalaikumsalam Pak." Balas Inez yang langsung berdiri dari duduknya. Berbeda dengan Zanna, gadis itu kini sudah berlari ke arah Fawaz. "Papa.." panggil Zanna kemudian memeluk pria itu. Zanna yang tingginya hanya sebatas pinggul Fawaz, hanya bisa memeluk kaki jenjang papanya. Fawaz tersenyum. "Maaf saya telat, tadi saya ada meeting sebentar dengan client. Anda, wali kelas Zanna? Bu Inez?" Tanya Fawaz berbasa-basi. Sesungguhnya tanpa bertanya seperti itu pun Fawaz sudah tahu. Bahkan nama lengkap gadis yang berdiri di depannya ini pun Fawaz sudah sangat hafal. "Ah iya, saya wali kelasnya Zanna. Bapak, Ayahnya Zanna?" Tanya Inez balik. Karena meskipun sudah berbulan-bulan Zanna bersekolah di sini, Inez belum pernah bertemu langsung dengan pria di depannya ini. Inez hanya melihatnya sekilas. "Iya, saya Ayahnya Zanna." Jawab Fawaz. Dalam hatinya Fawaz terus memuji kecantikan Inez. Ingin rasanya Fawaz mengatakannya secara gamblang, namun Fawaz tidak berani. Bisa-bisa dirinya disangka pria genit oleh Inez. Baru bertemu pertama kali, sudah berani menggodanya. "Pa.." panggil Zanna menyadarkan Fawaz dalam keterdiamannya. "Eh iya, kita pulang." Balas Fawaz. "Zanna kayanya udah bosan. Kalau begitu, kami pamit ya Bu Inez. Terimakasih dan maaf saya telat menjemput Zanna hari ini." Inez tersenyum ramah. Senyuman Inez yang terlihat sangat manis itu semakin menggentarkan hati Fawaz. "Tidak apa-apa Pak, saya mengerti." Balas Inez. "Sekali lagi terimakasih, kami pamit Bu. Assalamualaikum." Pamit Fawaz. "Waalaikumsalam, hati-hati Pak." Jawab Inez. Inez tetap berdiri di posisinya. Memperhatikan mobil yang kini kembali melaju meninggalkan area sekolah. Setelah mobil itu tak terlihat lagi, Inez menghembuskan nafasnya. "Gila! Ganteng juga ternyata Papanya Zanna. Eh, Astaghfirullah Nez, ngucap! Lo nggak boleh tergoda sama Duda! Apalagi dia wali murid Lo. Nggak, jangan sampai!" Batin Inez memuji sekaligus merutuki pemikiran bodohnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD