Sementara itu Kenzi kembali ke rumahnya dengan langkah berat, lelah setelah mencari Shakira ke rumah orang tuanya hingga ke berbagai tempat. Namun, semua pencariannya sia-sia. Shakira tidak ada di mana pun ia mencarinya. Rasa frustasi mulai menguasai pikirannya saat ia memarkir mobil dan memandang rumah yang kini tanpa kehadiran Shakira.
Setelah masuk ke dalam rumah, Kenzi menutup pintu dengan perlahan, seolah takut membuat suara yang terlalu keras. Ruang tamu yang biasa riuh dengan percakapan mereka kini terasa sunyi dan dingin. Ia menghela napas panjang, berjalan menuju sofa, lalu menjatuhkan diri dengan tubuh yang terasa lelah, bukan hanya secara fisik tapi juga mental.
"Di mana kamu, Shakira?" gumamnya pelan, tangannya mengusap wajahnya yang penat.
Kenzi menatap langit-langit rumah, mencoba memutar otaknya. Ia harus menemukan Shakira. Ia tak bisa membayangkan hidup tanpa Shakira, meskipun dalam pernikahan mereka banyak masalah, tapi perceraian bukanlah pilihan. Ia tahu, keluarganya tak pernah ada yang bercerai. Bagi mereka, pernikahan adalah sesuatu yang harus diperjuangkan, tak peduli seberapa besar masalahnya.
Pikiran tentang perceraian membuat dadanya terasa sesak. Ia tak bisa membiarkan hal itu terjadi. "Aku harus menemukanmu besok," katanya tegas pada dirinya sendiri, seolah memberi tekad yang kuat.
Kenzi bangkit dari sofa, lalu berjalan menuju kamar. Rasa lelah mulai menyelimuti seluruh tubuhnya, tetapi pikirannya tetap berputar, memikirkan cara untuk menemukan Shakira dan membujuknya agar mau kembali. Shakira harus tetap menjadi istrinya.
Setelah berganti pakaian, Kenzi berbaring di tempat tidur, memejamkan matanya, meski pikirannya tetap sibuk memikirkan Shakira. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa besok ia akan mencari Shakira lagi. Ia tak akan menyerah. Dia harus berhasil menemukannya dan tak boleh bercerai.
Perlahan, meski dengan kegelisahan di hatinya, Kenzi akhirnya tertidur dengan tekad kuat untuk memperjuangkan pernikahannya.
Keesokan paginya, Kenzi terbangun dengan perasaan yang aneh. Saat ia membuka mata, rumah terasa begitu sunyi. Biasanya, suara heboh Shakira yang sibuk dengan urusannya di pagi hari memenuhi rumah. Tapi pagi ini, yang ada hanya keheningan yang menusuk. Kenzi bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan menuju dapur, berharap menemukan Shakira di sana, seperti biasa menyiapkan kopi atau sarapan. Tapi yang ia temui hanyalah kekosongan.
Kenzi duduk di meja makan, merasakan betapa sepinya rumah itu tanpa Shakira. Hatinya terasa semakin hampa. Ia merasakan kehilangan yang dalam, meski selama ini ia tak pernah benar-benar memperhatikan betapa pentingnya kehadiran Shakira dalam hidupnya.
"Kalau ayah dan ibu tahu Shakira pergi dari rumah, pasti mereka marah!" gumam Kenzi sambil menundukkan kepalanya.
Ia tahu, keluarganya sangat menjunjung tinggi kesatuan keluarga, dan perceraian adalah sesuatu yang tabu. Mereka tak pernah membiarkan masalah rumah tangga berujung pada perpisahan. Jika keluarganya tahu bahwa Shakira telah meninggalkannya dan itu karena ulahnya, tak terbayang bagaimana kemarahan yang akan ia terima.
Kenzi menghela napas panjang, lalu berdiri dari kursinya. "Aku harus mencari Shakira lagi sampai ketemu," ucapnya dengan tekad yang kuat. Ia tidak bisa membiarkan pernikahannya hancur. Meskipun selama ini ada banyak masalah, Kenzi yakin semuanya masih bisa diperbaiki. Ia hanya perlu menemukan Shakira, meminta maaf, dan memulai lagi semuanya dari awal.
Dengan cepat, Kenzi bersiap-siap untuk pergi. Ia tak akan menyerah sampai menemukan Shakira. Hari ini, ia bertekad untuk mencarinya ke mana pun, memastikan bahwa istrinya kembali ke rumah.
Kenzi menatap cermin di kamarnya, bukan dengan rasa bersalah atau penyesalan yang mendalam, tetapi dengan kegetiran. Bukan karena ia merasa telah memperlakukan Shakira dengan buruk, melainkan karena keluarganya—keluarga besar yang sangat menjunjung tinggi reputasi dan kehormatan. Pikirannya berputar pada satu hal: menjaga nama baik keluarganya dari skandal.
Saat ia mengambil kunci mobilnya, Kenzi tahu bahwa motivasinya bukan karena cinta atau ingin menjadi suami yang lebih baik. Ia tidak benar-benar peduli dengan perasaan Shakira. Baginya, pernikahan ini hanyalah sebuah kewajiban untuk mempertahankan citra sempurna keluarganya, yang tak pernah tersentuh masalah seperti perceraian.
“Aku harus menemukannya... Bukan karena dia, tapi karena nama baik keluarga!” gumam Kenzi dengan suara rendah.
Ia keluar rumah dengan langkah cepat, masuk ke dalam mobilnya, dan mulai mengemudi. Jalanan masih sepi, dan pikirannya terus terpusat pada bagaimana keluarganya akan bereaksi jika mereka tahu Shakira meninggalkannya. Keluarga besarnya selalu bangga dengan nilai-nilai tradisional, bahwa mereka mampu menjaga keharmonisan rumah tangga, apapun masalahnya.
Jika Shakira tidak kembali, desas-desus akan mulai beredar. Apa kata mereka nanti? Ia akan menjadi orang pertama dalam sejarah keluarganya yang gagal mempertahankan pernikahan.
“Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi,” pikir Kenzi, wajahnya tegang.
Ia berkeliling kota, berharap melihat Shakira di salah satu tempat biasa. Tapi sejauh apapun ia mencari, Shakira tak terlihat. Meski begitu, bukan rasa khawatir yang memenuhi pikirannya. Yang ada hanya kecemasan tentang bagaimana ia harus menjelaskan hal ini kepada orang tuanya jika gagal menemukan Shakira.
Di kepalanya, bukan bayangan Shakira yang terus berputar, melainkan reaksi keluarganya, terutama ayahnya, yang terkenal sangat keras. Jika kabar ini sampai ke telinga mereka, Kenzi tahu, ia akan kehilangan lebih dari sekadar istrinya. Ia akan kehilangan kehormatannya di mata keluarganya.
"Aku harus menemukannya... Bagaimanapun caranya. Dia harus kembali," kata Kenzi lagi, kali ini dengan lebih keras, menggenggam setir mobilnya dengan erat. Baginya, ini bukan tentang memperbaiki hubungan, tapi menyelamatkan martabat keluarga.
Shakira duduk di meja makan yang mewah, matanya melirik ke sekeliling ruangan yang dipenuhi dengan perabotan berkelas. Setiap detail, mulai dari lampu gantung yang berkilauan hingga piring-piring keramik yang tertata rapi, membuatnya merasa kecil dan rendah diri. Ia membandingkan dirinya dengan kemewahan yang ada di sekelilingnya, berpikir betapa jauh hidupnya dari semua ini.
“Jangan khawatir, Sha. Kakek pasti suka kamu,” kata Nana sambil tersenyum, berusaha mengalihkan perhatian Shakira dari rasa tidak nyamannya.
Shakira mengangguk, tetapi hatinya masih dipenuhi rasa cemas. Ia tidak tahu harus bagaimana bersikap di hadapan kakek Nana, yang pasti sudah terbiasa dengan kehidupan yang sangat berbeda dari kehidupannya. Namun, ia mencoba menahan rasa gugup itu dan berfokus pada momen ini.
Setelah beberapa menit menunggu, pintu ruang makan perlahan terbuka, dan kakek Nana masuk.