Nana tersenyum, menatap Shakira dengan penuh pengertian. "Tentu saja boleh, Sha. Kamu bisa menginap di sini selama kamu butuh," jawab Nana dengan lembut. "Ayo, kita langsung ke kamar tamu saja ya."
Shakira mengangguk pelan, merasa lega mendengar persetujuan Nana. Ia dengan cepat mengambil alih kopernya dari tangan Nana, meskipun Nana sempat mencoba membantunya. Mereka berjalan melewati ruang tamu, menuju salah satu pintu yang tak jauh dari sana. Di sepanjang perjalanan, Shakira tidak bisa menahan rasa kagumnya.
“Rumah ini benar-benar seperti istana,” pikirnya, matanya tak berhenti menelusuri setiap detail ruangan yang dilewatinya. Dari marmer yang mengkilap hingga lukisan-lukisan besar yang menghiasi dinding, semuanya tampak begitu indah dan mahal. Tidak ada satu pun sudut rumah yang terlihat biasa-biasa saja.
Tiba-tiba, tanpa bisa menahan rasa penasarannya, Shakira bertanya dengan suara pelan, “Mbak Nana... kamu ternyata anak konglomerat, ya?”
Nana tersenyum mendengar pertanyaan itu, namun tidak segera menjawab. Ia hanya menoleh dan berkata dengan santai, “Nggak, Sha. Aku hanya beruntung bisa tinggal di sini. Aku bukan siapa-siapa dibandingkan dengan orang yang benar-benar konglomerat.”
Shakira masih terpesona, belum sepenuhnya bisa mencerna bahwa Nana, yang dulu ia perlakukan tak baik, kini tinggal di rumah sebesar dan semewah ini. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh, dan mereka melanjutkan langkah menuju kamar tamu.
Saat Nana membuka pintu kamar tamu, Shakira semakin kagum. Kamarnya besar, dengan ranjang empuk dan kain satin yang berkilauan. “Ini kamarmu untuk malam ini, Sha. Istirahat yang cukup, ya,” kata Nana sambil tersenyum hangat.
Shakira hanya bisa mengangguk, merasa tenang untuk pertama kalinya setelah dipenuhi emosi yang melelahkan malam itu.
Shakira menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya sebelum berkata, "Mbak... aku pergi dari rumah Kenzi." Suaranya sedikit bergetar, membuat Nana langsung berhenti dan menatap Shakira dengan kaget.
"Kamu pergi? Dari rumah Kenzi? Aku kira kamu hanya berniat menginap biasa." Nana bertanya dengan nada terkejut, ekspresi wajahnya berubah serius. "Sha, duduk dulu. Kita bicara."
Nana menuntun Shakira untuk duduk di sofa empuk yang ada di kamar tamu. Suasana berubah tenang, hanya terdengar suara napas Shakira yang berat. Setelah duduk, Nana menatap Shakira dengan penuh perhatian, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi.
"Apa yang terjadi, Sha? Kenapa kamu pergi?" tanya Nana lembut, namun jelas menunjukkan kekhawatiran.
Shakira menundukkan kepalanya, lalu mengusap wajahnya yang terlihat lelah. “Kenzi… dia... dia ketahuan selingkuh. Selama ini, aku tahan semua sifat buruknya, Mbak. Dia pelit, cuek, tempramen, dan perhitungan sama aku. Tapi tadi... aku mendengar dengan telingaku sendiri jika dia membelikan motor untuk selingkuhannya. Aku istrinya saja, dia pelit luar biasa, tapi sama perempuan itu, dia royal sekali. Aku nggak tahan lagi, Mbak.”
Nana menghela napas panjang, kaget sekaligus prihatin mendengar cerita Shakira. “Sha... aku nggak nyangka. Kenzi bisa melakukan itu...”
Shakira mengangguk sambil menahan air mata. “Aku nggak bisa terus begini, Mbak. Rasanya selama ini batinku tersiksa. Aku kehilangan diriku sendiri. Aku bahkan merasa hidupku bukan milikku lagi. Makanya, aku pergi. Aku nggak tahu mau kemana, tapi aku harus keluar dari sana.”
Nana menatap Shakira dengan simpati. “Aku ngerti, Sha. Pasti berat buat kamu. Tapi kamu kuat. Dan kamu nggak sendiri. Kamu boleh tinggal di sini selama kamu butuh waktu untuk menenangkan diri.”
Shakira menatap Nana, air matanya akhirnya mengalir. “Terima kasih, Mbak... Aku nggak tahu harus kemana lagi kalau nggak ada kamu.”
Nana menggenggam tangan Shakira dengan lembut. “Tenang saja, Sha. Kamu di sini aman. Kita pikirkan langkah selanjutnya sama-sama. Kamu butuh istirahat dulu sekarang.”
Shakira mengangguk, merasa sedikit lebih lega setelah menceritakan semuanya pada Nana. Meski rasa sakit dan kecewa masih menggantung di hatinya, ia tahu bahwa Nana akan selalu ada untuknya.
Setelah mendengarkan cerita Shakira, Nana tersenyum lembut dan berdiri dari sofa. "Sha, kamu istirahat dulu, ya. Aku tahu ini pasti berat, tapi besok kita bisa bicarakan semuanya lagi."
Shakira mengangguk, matanya masih terlihat lelah, namun ada sedikit ketenangan di wajahnya. "Iya, Mbak. Terima kasih, ya."
Nana menatap adiknya dengan penuh perhatian. Ia ingin memastikan Shakira benar-benar merasa nyaman sebelum meninggalkannya. "Kalau butuh apa-apa, kamu tinggal panggil aku. Telepon saja."
"Baik, Mbak," jawab Shakira pelan sambil tersenyum tipis.
"Aku nggak akan ganggu kamu lagi malam ini. Istirahat yang cukup, ya."
Shakira memandang Nana dengan rasa syukur. "Aku beruntung punya Mbak."
Nana tersenyum lembut. "Dan aku beruntung bisa jadi kakakmu."
Setelah itu, Nana berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Shakira dengan penuh pengertian. Dia menutup pintu perlahan, memastikan tak ada suara yang mengganggu Shakira. Sesaat setelah pintu tertutup, Nana menghela napas panjang di lorong rumah yang sepi. Hatinya masih penuh dengan kekhawatiran untuk Shakira, tapi dia tahu adiknya butuh waktu dan ruang untuk meresapi semua yang terjadi.
Dengan langkah tenang, Nana kembali ke kamarnya, memberi ruang pada Shakira untuk beristirahat dan menenangkan diri.
Setelah Nana keluar dari kamar, Shakira duduk di tepi ranjang, memandangi kopernya yang terbuka. Suasana sepi dalam kamar mewah itu membuat pikirannya kembali berputar, membawa Shakira pada penyesalan yang mendalam. Perlahan, air mata mulai membasahi pipinya.
Shakira menangis dalam keheningan, rasa sesak di dadanya kian terasa. Ia menyesal menikah dengan Kenzi—pria yang seharusnya menjadi suami kakaknya, Nana. Betapa bodohnya ia dulu, terpikat oleh pesona Kenzi hingga mengkhianati Nana, kakak yang begitu menyayanginya. “Penyesalan memang selalu datang terlambat,” pikirnya. “Rasanya menyakitkan dan menyebalkan.”
Shakira ingat betul bagaimana ia dulu bersikeras merebut Kenzi dari Nana. Dengan penuh percaya diri, ia memutuskan untuk mengambil sesuatu yang seharusnya bukan miliknya. Tapi kini, kenyataan itu menghantamnya keras. Kenzi yang ia rebut dengan begitu percaya diri, malah membawa penderitaan dan kehancuran dalam hidupnya. Dan kini, ia harus meminta tolong pada orang yang paling ia kecewakan—Nana.
"Aku bodoh... aku benar-benar bodoh," gumam Shakira pelan, matanya semakin merah dan bengkak karena tangis.
Rasa malu mulai menyelimutinya. Bagaimana mungkin ia kini tinggal di rumah Nana, meminta perlindungan dari kakaknya yang dulu ia khianati? Meski Nana tidak pernah mengungkit hal itu, Shakira tahu jauh di dalam hatinya, luka yang ia buat mungkin tak akan pernah sepenuhnya sembuh.
"Aku cuma akan menginap satu malam... hanya satu malam..." Shakira berbisik pada dirinya sendiri, seakan mencoba meyakinkan hatinya yang penuh dengan perasaan bersalah. Tapi di balik kata-katanya, Shakira tahu masalah ini tak akan selesai dengan hanya satu malam berlalu.
Tangisnya semakin lirih, terdengar begitu putus asa. Dalam keheningan kamar, ia merasa kecil dan tak berdaya, tenggelam dalam penyesalan yang terasa begitu berat.