Dengan senyuman hangat dan aura kebijaksanaan, ia segera menarik perhatian Shakira. Nana berdiri dan memperkenalkan Shakira. “Kakek, ini Shakira, adikku. Anaknya ayah Ganang dan ibu Imanuela. Semalam Shakira menginap ,” katanya.
Kakek Nana mengangguk dan tersenyum, lalu berkata, “Senang sekali bisa mengenalmu, Shakira. Saya berharap kamu merasa nyaman di sini.” Suara kakek itu lembut, membuat Shakira sedikit merasa tenang.
Setelah kakek duduk, sarapan pagi pun dimulai. Makanan yang disajikan tampak lezat, dari roti, telur dadar, buah-buahan segar hingga hidangan lainnya yang luar biasa. Namun, rasa malas untuk menyentuh makanan itu muncul. Shakira merasa tidak pantas berada di meja itu, seakan-akan setiap suapan makanan akan menambah rasa ketidakcukupannya.
Nana memperhatikan Shakira yang tampak ragu. “Sha, makanan ini enak. Ayo coba,” ajaknya, sambil melihat ke arah Shakira.
Shakira mengambil napas dalam-dalam dan berusaha tersenyum. “Ya, terima kasih, kak,” jawabnya, meski masih ada rasa canggung yang menyelimuti suasana. Ia kemudian mencoba satu suapan, merasakan cita rasa yang berbeda dari makanan yang biasa ia nikmati.
Kakek Nana tersenyum melihat keduanya, memberikan suasana yang lebih hangat dan akrab. “Bagaimana sarapannya, Shakira?” tanyanya dengan penuh perhatian.
“Enak sekali, Kakek. Terima kasih,” jawab Shakira, berusaha berbicara dengan percaya diri meskipun hatinya masih bergejolak.
Sambil menikmati sarapan, Shakira berusaha menguatkan diri, berharap bahwa ini adalah langkah pertama untuk menemukan tempat yang lebih baik dalam hidupnya, jauh dari segala masalah yang pernah dihadapi.
Setelah sarapan, Kakek Nana berpamitan dengan senyuman hangat. “saya ada pekerjaan. Sampai jumpa lagi, Shakira,” katanya sebelum meninggalkan ruang makan. Shakira dan Nana melanjutkan obrolan mereka sambil berjalan kembali ke kamar tamu.
Sesampainya di kamar, Shakira merasa suasana tenang. Namun, perasaannya bergejolak saat ia tahu bahwa ia harus pergi. “kak, aku ingin pamit,” katanya dengan suara pelan.
Nana menatapnya dengan cemas. “Apa kamu akan pulang ke rumah?” tanyanya, berusaha memahami keputusan Shakira.
“Tidak,” jawab Shakira tegas. “Aku akan pergi dan memulai hidup baru.”
Nana mengangguk, meski hatinya sedikit berat mendengar keputusan sahabatnya. “Tapi, Sha, ayah dan ibu pasti mengkhawatirkanmu. Mereka mungkin berpikir kamu menghilang jika tahu kamu tak ada di rumah Kenzi.”
“Aku akan menghubungi mereka dan mengunjungi mereka tanpa mereka tahu tentang aku dan Kenzi yang sudah berpisah, meskipun baru secara agama,” jawab Shakira, sedikit menunduk.
“Baiklah,” kata Nana dengan nada prihatin. “Tapi, apa kamu punya uang untuk bekal?”
Shakira menunduk, wajahnya memerah. Ia tahu betul betapa pelitnya Kenzi selama ini, dan ia tidak ingin meminta apa pun. Melihat raut wajah Shakira, Nana melanjutkan, “Kalau begitu, aku akan memberikan bekal untukmu.”
“Tidak, kak. Aku sangat malu.padamu.”
Nana pun berkata, “jangan bicara seperti itu. Ambil saja.” Shakira pun menyerah dan berkata, “aku bisa mengembalikannya nanti, Ka.” ujar Shakira akhirnya.
“Jangan dipikirkan, Sha. Yang terpenting adalah kamu jaga diri baik-baik saja, ya! Jika kamu butuh bantuan atau sesuatu, jangan segan untuk menghubungiku,” kata Nana, tulus.
Dengan penuh rasa terima kasih, Shakira memeluk Nana erat. “Terima kasih, Kak. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa kamu,” bisiknya, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya.
Nana membalas pelukan Shakira, berharap yang terbaik untuk adiknya. “Kamu pasti bisa, Sha. Jangan ragu untuk berjuang demi kebahagiaanmu,” ujarnya lembut.
Setelah melepas pelukan, Shakira merasa sedikit lebih tenang. Meski perjalanannya di depan tampak menakutkan, dukungan Nana memberinya keberanian untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Nana mengantar Shakira hingga ke teras rumah, perasaannya campur aduk. “Sha, aku ingin kamu terus berkomunikasi denganku, ya,” katanya sambil menatap wajah Shakira yang terlihat tegar namun juga penuh keraguan.
“Pasti, kak. Aku akan menghubungimu,” jawab Shakira, berusaha tersenyum meski hatinya berat.
Nana merangkul Shakira dan berkata, “Ingat, apapun yang terjadi, aku ada disini untukmu. Jangan merasa sendiri.”
Shakira mengangguk, merasakan kehangatan persahabatan yang tulus. Setelah itu keduanya ke depan rumah. Taksi online sudah tiba, dengan lampu sein menyala dan sopir menunggu di dalam mobil.
“Ini taksi-ku,” kata Shakira sambil menatap mobil itu.
“Jaga diri baik-baik. Jangan ragu untuk menghubungi jika butuh apapun,” pesan Nana sekali lagi.
“Terima kasih. Kak,” jawab Shakira, lalu memeluk Nana satu kali lagi.
Setelah itu, Shakira melangkah menuju taksi, menoleh sekali lagi ke arah Nana sebelum masuk ke dalam mobil. “Sampai jumpa, Kak!”
“Sampai jumpa, Sha! Semoga semua berjalan baik untukmu!” teriak Nana, melihat Shakira melambaikan tangan sebelum menutup pintu taksi.
Tak lama kemudian, taksi itu melaju menjauh, membawa Shakira menuju babak baru dalam hidupnya, sementara Nana berdiri di teras, mendoakan yang terbaik untuk Shakira.
Di tempat lain Kenzi sudah sampai di kantor, tapi pikiran di benaknya terasa sangat kacau. Suasana kantor yang biasanya ramai dan produktif tampak buram di matanya. Ia duduk di mejanya, menatap tumpukan berkas yang menunggu untuk diselesaikan, namun fokusnya buyar.
Dia merutuki dirinya sendiri. "Bagaimana bisa aku membiarkan Shakira pergi?" pikirnya, teringat akan perdebatan terakhir mereka. Kenzi menggigit pulpennya, mencoba untuk berkonsentrasi pada laporan yang harus diselesaikan, tetapi bayangan wajah Shakira yang penuh harap terus menghantuinya.
Kenzi pun memaksa diri untuk membuka laptop dan mulai mengetik. "Aku tidak boleh kehilangan pekerjaan ini," ia mengingat pesan orang tuanya. "Pekerjaan adalah segalanya." Namun, setiap kali jari-jarinya menyentuh keyboard, pikirannya melayang kembali kepada Shakira.
"Di mana dia sekarang?" tanyanya dalam hati. Kenzi berusaha menenangkan dirinya. Dia menggelengkan kepala dan menghirup napas dalam-dalam. “Konsentrasi, Kenzi! Selesaikan pekerjaan ini,” ia berbisik pada dirinya sendiri, meski hatinya terus berdebar penuh cemas.
Dia berusaha mengabaikan suara hatinya yang berteriak untuk pergi mencarinya, sebaliknya, ia berfokus pada tanggung jawabnya di kantor. Namun, bahkan saat berusaha keras, perasaan tidak nyaman itu tak kunjung hilang.
Dan yang terjadi dengan Shakira. Ia sudah tiba di terminal bis, suasana ramai dan bising di sekelilingnya membuatnya merasa sedikit terasing. Ia berdiri di tengah keramaian, memandangi papan informasi yang menampilkan berbagai tujuan bis. Dalam hati, ia merasa bingung; sejujurnya, ia tidak tahu ke mana harus pergi.
Ia berjalan perlahan, membaca satu per satu tujuan yang tertera. “Bandung, Yogyakarta, Semarang…” gumamnya, setiap nama kota terasa asing dan jauh. Semua tujuan itu tampak menggoda, tapi Shakira tidak merasa ada yang benar-benar cocok. Ia terus melangkah hingga matanya tertuju pada satu bus yang bertuliskan “Puncak Bogor.”
"Puncak," pikirnya. Tempat itu terkenal dengan keindahan alamnya dan ketenangan yang sering dibutuhkan orang-orang yang ingin melarikan diri dari kesibukan. Shakira merasa ini adalah pilihan yang tepat. Dengan tekad yang mulai tumbuh, ia mendekati loket dan membeli tiket.
Setelah menyimpan koper di bagasi bis, Shakira melangkahkan kaki ke dalam bis. Ia mencari tempat duduk di dekat jendela dan duduk, menatap pemandangan terminal yang mulai menjauh. Dalam hatinya, ia berdoa, “Ya Tuhan, semoga ini adalah langkah awal menuju kehidupan yang lebih baik.”
Ia menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, dan bertekad untuk menjalani perjalanan ini dengan harapan dan keberanian. Shakira merasakan sedikit kelegaan. Ia tahu perjalanan ini bukan hanya fisik, tetapi juga perjalanan untuk menemukan dirinya kembali.
Tak lama kemudian seorang lelaki duduk di samping Shakira. Shakira melihat ke arah lelaki itu.