Aku berhenti tidak langsung di depan rumah karena keadaan yang ramai, begitu menginjakkan kaki, para tetangga langsung menatapku dengan tatapan berbagai alasan yang membuatku tahu jika memang ada tontonan menarik di malam ini.
Mereka memberi akses jalan, hingga aku bisa melihat Candani memeluk Ibu, barang-barang kami yang tidak seberapa mewah sudah berantakan di depan pintu. Di sisi lain kakakku sedang berdebat dengan orang-orang asing tetapi tidak sulit untuk kutebak.
“Mbak... rumah kita...” kata Candani.
Aku mengepalkan tangan, pilih berjalan menuju salah satu kakakku. Membuat mereka berhenti berdebat, aku menatapnya, “Dillah, Abang—“
“Kali ini apalagi, bang?” tanyaku dengan suara pelan, dia harusnya tahu jika nadaku cukup menyudutkannya.
Saudari laki-lakiku yang seharusnya melindungiku, Ibu dan adik perempuanku setelah Bapak tiada, telah gagal dan malah menempatkan kami diposisi yang tak lagi bisa diselamatkan, posisi paling menyakitkan.
“Maafkan Abang. Kita kehilangan rumah ini...” Fusena—kakak pertamaku. Dia sumber masalah kami malam ini. Sementara kakakku satunya berdiri hanya bisa menyalahkan tanpa solusi, dia adalah Endrasuta.
“Kehilangan ru-rumah?” tanyaku. Kakiku sangat lemas, berikutnya aku jatuh terduduk menatap rumah satu-satunya yang orang tuaku miliki pun kini tidak lagi bisa jadi tempat kami berlindung. Orang-orang itu memaksa mengosongkan rumah, mengusir kami.
“Dillah—“
“Lepas! Jangan katakan apa-apa, atau aku akan lupakan hubungan saudara yang ada antara kita! Abang yang gagal, lalu aku... Ibu dan Candani yang harus menderita?! Iya, bang?!” teriakku dengan tenaga yang benar-benar habis.
Hari ini, aku tidak hanya patah hati sebab semesta mengujiku lebih dari yang lalu. Katanya Tuhan tidak akan menguji manusia di luar batas kemampuannya? Lalu ini? Rasa-rasanya aku tidak sanggup lagi. Ditambah tidak ada lagi senyuman yang bisa mengurangi bebanku lagi, semuanya benar-benar seperti berakhir sekarang.
Aku menangis sekencang-kencangnya, tidak peduli jadi tontonan, hingga Candani berlari ke arahku, memelukku erat. Kami sama-sama menangis. Hanya bisa menangis sebab yang kami miliki tinggal air mata yang bahkan tak akan berharga sampai mendatangkan iba untuk dikembalikan rumah kami.
“Mbak, sudah mbak... I-Ibu...” katanya, dengan pandangan yang kabur akibat air mata, aku menatap Ibu yang tidak bisa berbuat apa-apa karena sakitnya. Tidak berdaya untuk menghukum putranya yang hanya bisa menyusahkan kami.
“Kalau Mbak nyerah begini, aku sama Ibu bagaimana?” Lirihnya. Bahkan aku sendiri tidak tahu harus bagaimana lagi? Aku memejamkan mata, memeluknya bersamaan dengan tiba-tiba jutaan air dari langit jatuh untuk ikut merayakan nasibku yang buruk.
***
“Kalian tahu sendiri, rumah ini bukan rumahku. Tapi, rumah istriku. Ditambah cuman ada dua kamar. Aku berharap besok, Dillah sudah menemukan kontrakan.” Ujar Suta.
Setelah menenangkan diri, aku membawa Ibu dan Candani dengan membawa barang paling penting, memilih-milih secepatnya ke rumah Suta. Barang-barang lain, aku titip di halaman rumah tetangga.
Suta terlihat terpaksa sejak awal. Aku bisa membacanya, sedangkan pembuat masalah, kakak satuku juga tak punya upaya untuk menebus salahnya dengan mencari solusi untuk tempat tinggal kami. Aku harus punya sekitar empat ratus juta jika mau menebus rumah yang disita bank, uang yang bahkan tidak kunikmati karena kakakku yang dulu memakainya untuk modal usaha. Dia yang mendesak kami setahun lalu dengan janji yang jelas tidak bisa kupercaya. Ternyata benar saja, dia kehabisan modal, usaha yang diagung-agungkan akan berhasil nyatanya tidak bertahan lebih dari setahun, gulung tikar lalu kami yang menderita.
Ini bukan yang pertama kakak-kakakku membuat masalah. Aku berada di keluarga yang sangat rumit.
Dengar kata Suta, ‘rumah istriku’... bahkan iparku tadi menekuk bibirnya, sangat masam saat menerima kami. Memang rumah yang di tempati Suta dan keluarganya, rumah yang dibeli dari uang warisan orang tua istrinya. Aku tahu diri, tapi tetap saja mendengar Suta mengatakannya, dia dan istrinya sudah takut kami akan menetap di sana, lama, dan menyusahkan.
“Besok kami akan pindah,” ujarku meski belum dapat kontrakan. “Enggak usah takut, kami tidak akan menyusahkanmu lebih dari semalam.”
“Fusena harusnya—“
“Aku bahkan tidak mau melihatnya dulu, lebih baik dibanding aku membunuhnya!” Kataku dengan kasar. Tidak pedulikan lagi kesopanan, aku manusia biasa yang boleh kecewa bukan?
“Dia memakan hak kita yang juga berhak terhadap rumah bapak-Ibu—“
“Kalian memang ahli menuntut hak, tetapi selalu tidak mau tahu jika sebelum menuntut hak ada yang namanya kewajiban.” Kataku menyindirnya dengan sengaja. Sindiran yang jelas terdengar oleh iparku karena dia ada di dapur, membuatkan minum.
“Tidak usah repot jika terpaksa, kami juga bisa beli minum di warung depan.” Kataku lagi. Aku memang tak cukup akur dengan iparku.
Suara denting meletakkan sendok dengan kasar terdengar, iparku lewat bahkan tidak menatap ke arah kami. Aku mengepalkan tangan, berusaha menahan diri tidak meluap lebih dari ucapan pedasku.
“Kamu harus sopan pada kakak iparmu,” kata Suta sambil berdiri.
“Aku bersikap sesuai orang yang kuhadapi, Mas bisa menegurku tapi enggak bisa didik istri Mas untuk bisa menerima keluarga Mas yang begini adanya.”
“Dil—“
“Setelah bapak tiada, Ibu sakit, aku dan Candani enggak menuntut banyak pada Abang Sena maupun Mas Suta. Kami paham, kalian sudah menikah, punya prioritas istri dan anak. Tapi, kenapa sampai tega anggap kami ini orang lain? Kalian hanya menganggap kami menyusahkan atau seringnya membawa masalah pada kami yang tidak tahu apa-apa?”
“Mas tidak anggap kalian orang lain—“
“Tapi, Mas jelas keberatan disusahkan kami walau cuman menumpang tinggal semalam.” Debatku lagi.
“Dillah, kamu ngerti posisi Mas.”
“Aku selalu mengerti, tapi sebaliknya Mas maupun Abang tidak pernah bisa mengerti balik.” Tembakku lagi. Kali ini aku tidak mau menutupi rasa kecewaku. Selama ini bahkan aku membantu mereka, meski muak dengan sikap mereka.
Dia tidak mengatakan apa-apa lagi, “kamu dan Candani tidur, sudah jam satu pagi. Besok pagi, Mas bantu cari kontrakan. Kamu ada uang—“
“Aku sudah bilang, aku tidak akan meminta Mas untuk bayarkan kontrakan meski uangku sendiri sudah tidak terhitung yang Mas pernah pakai.” Kataku.
Suta langsung bungkam, lalu pilih menyusul istrinya ke kamar, aku menghitung tidak sampai angka tiga ketika mendengar suara debat yang tak repot untuk ditutupi dari kami.
Aku menghela napas dalam-dalam, menatap Candani yang juga mendengar semua. Bagusnya, Ibu tidak harus mendengar ini, Ibu sudah tidur sementara dikamar cucunya.
“Mbak...” panggilnya dengan suara lirih.
“Kamu besok izin libur dulu, Ibu harus ditemani. Mbak enggak percaya pada Mbak Nia yang mana mau urus Ibu walau cuman lima menit. Mbak akan usahakan dapat kontrakan sebelum besok sore.” Nia—istri Suta.
Candani mendekat, aku memeluknya, “aku enggak mau tinggal di sini.”
“Iya, Mbak juga enggak mau tensi naik karena tinggal sama Mas Suta dan istrinya.” Kataku dengan jujur.
“Kenapa nasib kita setelah Bapak meninggal, jadi begini ya Mbak?”
Itu pun jadi pertanyaan besarku selama ini, aku tidak bisa menghentikan pikiranku untuk tak menyalahkan nasib kurang beruntungku. Nyatanya, hidupku memang serumit yang terjadi.
Setelah menangis, aku minta Candani tidur. Sementara aku tetap duduk di sofa ruang tengah. Ini satu-satunya tempat yang bisa kutempati malam ini. Aku mengetikan pesan, meminta izin lebih dulu pada Sea untuk besok tidak bisa masuk kerja. Aku menjadi asistennya sejak Sea menjadi Beauty Influencer atau konten kreator sejak beberapa tahun lalu, hingga sekarang dia berhenti setelah mendapat suami kaya raya, yang mencintainya. Sea bahkan dibimbing untuk mengembangkan bisnisnya yang baru launching dua minggu lalu, aku tetap bekerja dengannya sampai sekarang.
Aku bisa saja minta bantuan Sea, tetapi rasa-rasanya aku tidak bisa terus meminta bantuannya setelah selama ini bahkan biaya perawatan dan berobat Ibu sudah ditanggung olehnya. Aku pilih berusaha sendiri.
Setelah mengetikkan pesan berisi izin, yang pasti baru Sea baca besok, aku coba berbaring tetapi alih-alih tidur, aku mencari kontrakan yang mampu kubayar tiap bulannya. Paling tidak, sampai aku bisa mengumpulkan uang empat ratus juta lebih untuk menebus rumah kami... walau memikirkannya membuatku ingin mencekik diri sendiri, harus berapa lama aku mengumpulkan uang sebanyak itu? Menjual diri?
Aku sadar diri, tidak punya tubuh ideal yang memenuhi kriteria menjajakan diri.
Aku meletakkan ponsel di atas perutku, masih memeganginya, kemudian menatap langit-langit putih dan lampu yang meneranginya, aku menarik napas dalam-dalam lagi, bahkan aku tidak memiliki keberanian untuk memimpikan kebahagiaan.
Saat memikirkan itu, yang terbayang senyum pria yang hari ini bahkan sudah resmi menjadi milik wanita lain. Aku memejamkan mata, menarik bantal dan menutupi wajahku agar tangisku tidak terdengar orang lain.
“Aku capek... capek banget...” lirihku. Apalah arti keluhan tersebut, sebab aku tidak bisa benar-benar menyerah dengan keadaanku.
Apa semesta lupa menorehkan garis beruntung, bahagia saat menciptakanku waktu itu? Mengapa selalu nasib tidak beruntung yang datang padaku. Termasuk patah hati yang begitu menyakitkan hari ini. Aku menangis, sementara pria yang kucintai mungkin malam ini sedang memadu kasih di malam pertamanya sebagai pengantin baru.