Hidden Love

1688 Words
Senyum merupakan ibadah, aku sering sekali mendengar kata-kata itu hingga mengerti artinya saat melihat salah satu senyum seseorang yang membawa dampak baik dalam hari-hariku. Seperti hari biasa, ketika keluar dari rumah, langkahku terasa berat dengan beban yang kutanggung sendiri, namun begitu menemukan senyum seseorang ini, ajaibnya membuatku ikut tertular senyumnya hingga beban berat tadi mulai terasa berkurang. Aku berhenti sejenak, dalam diam menatap senyum seseorang yang tengah mengendong bayi berusia enam bulan serta balita di dekatnya juga yang tampak penasaran dengan si adik sambil terus berceloteh. Mereka ialah Athaar bersama dua keponakannya, si bayi bernama Kai dan si Kakak, Rigel. Tidak ada kekakuan sama sekali, dengan tingkat kelembutan yang menyentuh hati, dia dengan sabar meladeni setiap ocehan si balita yang memang aku kenal sangat aktif dan kritis. Athaar tertawa dengan tingkah dua keponakannya, hingga aku semakin menarik sudut bibirku, tersenyum lebar. Saat-saat seperti ini yang buatku bisa menikmati degup-degup berirama menyenangkan dalam rongga dadaku, selalu membuat aku betah berlama-lama diposisiku. Hingga matanya tiba-tiba tertuju kepadaku. “Dillah?” panggilnya. Degup jantungku semakin terasa merepotkan, aku menenangkan diri dan tersenyum. Tidak ada tempat untuk bersembunyi jadi dengan langkah gugup aku mendekat. “Hai, Aa...” sapaku masih gugup. Kuharap dia tidak menyadarinya. “Kapan sampainya? Dari tadi?” “Baru saja,” ucapku berbohong. Padahal sudah sejak tadi dan terus memandanginya. Bayi dalam gendongannya mulai merengek, “tunggu di sini ya, Kai kayaknya butuh ibunya.” Aku mengangguk, menunggunya menyerahkan bayi Kai pada Sea kemudian dia kembali. Menurut, aku benar-benar menunggunya kembali. “Bagaimana kabar ibumu?” satu lagi yang membuatku merasa diperhatikan, dia tidak segan menanyakan kabar orang-orang terdekatku. “Ibu sehat, kemarin baru periksa.” Dia tiba-tiba mengulurkan tangannya mengusap bahuku, membuatku menahan napas sejenak. Mungkin baginya ini bentuk kepedulian, dia memandangku seperti adiknya. Tapi, dia tidak sadar efeknya untukku kontradiktif sekali dengan yang ia rasa. “Bukan cuman yang sakit, yang perlu diberi semangat. Kamu pun, yang tenaga dan pikirannya begitu terkuras mendampingi ibumu yang sakit. Lagi mengumpulkan tiket surga, semangat ya.” Aku kembali tersesat dalam tatapan matanya yang menenangkan, “te-terima kasih Aa.” Aku membatin. Betapa beruntungnya pasangannya kelak, memilikinya. “Nty Dil—“ “Aduh!” Aku terkesiap, tidak bisa menghindar begitu sebuah bola basket anak-anak terlempar mengenai keningku. Cukup keras. “Rigel, kok main bolanya di dalam? Jadi kena Nty Dil” tegur Athaar yang juga terkejut. “I’m sorry, Nty Dil!” Rigel langsung meminta maaf dengan manis. Dia masih anak-anak. Aku tersenyum, “Rigel pasti tidak bermaksud begitu Aa, sudah nggak apa-apa.” Athaar tidak marah, hanya cukup tegas. Rigel kemudian pergi setelah aku mengusap kepalanya. Aku menoleh, terkesiap lagi sambil kembali menahan napas saat merasakan tangannya menyentuh kepalaku sambil memeriksa, “sakit nggak?” Aku pasti terlalu membeku, sampai hanya fokus menatap wajahnya yang memesona dari dekat. “Dillah?” “Uhm, sedikit...” Ibu jarinya mengusap pelan, lembut. Demi Tuhan, aku rela dilempar bola berkali-kali asalkan Aa mengusap kepalaku seperti ini! batinku. Dia tertawa kecil, “pasti memang enggak sakit, karena kalau sakit kamu akan mengaduh bukan tersenyum-senyum.” Sialan! Aku kepergok lagi! Dia mundur, memberi jarak kembali. “Aa lagi off day?” tanyaku, mengalihkan kegugupan sendiri. “Ya. Hm, sebentar ya...” Sayangnya, hanya bertahan beberapa detik saat suara ponsel berdering dan Athaar menjawabnya. Aku kembali menemukan kesempatan untuk dalam diam-diam mengamatinya, namun mendengar dia memanggil seseorang yang menghubungi dengan panggilan ‘istimewa’ pun buatku tersadar kenyataan bahwa pria yang kucintai ini sudah memiliki kekasih. “Kamu sudah di depan, sayang?” dia menjawab kemudian menoleh padaku yang langsung mengalihkan tatapan. Tanganku saling menggenggam si pangkuan. Dia menutup teleponnya. “Rea datang, Aa?” tanyaku. “Iya, mau pergi. Persiapan pernikahan, ada janji untuk bertemu WO.” “Pasti makin sibuk ya, Aa? Tetap jaga kesehatan...” kataku sambil mengulas senyum bersamaan rasa sakit yang menikam hatiku, hingga membuat rasanya begitu sesak. Namun, aku tetap berusaha tidak pernah menunjukkan patah hati tersebut. Dia memberi anggukan, “pastinya, terima kasih... aku pergi dulu dan kalau Sea tanya, bilang padanya kalau aku langsung berangkat sama Rea ya.” Rea merupakan tunangannya, wanita beruntung yang dia bawa ke keluarganya, dikenalkannya beberapa bulan lalu. Wanita yang membuatku tahu diri, hingga menyadari jika perasaanku bertahun-tahun tak pernah ada kesempatan untuknya. Perasaan yang akan selalu tetap menjadi cinta tersembunyi. Aku masih bertahan diposisiku saat Athaar tampak pamit pada keponakannya, Rigel. Sebelum pergi, dia kembali ke hadapanku. Aku menahan napas sejenak saat dia mengusap kepalaku lembut. “Aku tinggal ya, Dil.” Akan lebih mudah jika dia tidak pamit, bukan? Lalu sejenak saat ia mengangkat kepala dan kembali ke posisi, tatapan kami beradu. Lalu dia benar-benar pamit, berbalik. Aku seharusnya tetap berdiri di tempat, bukannya ikut berjalan dan berhenti di dekat jendela. Menatap Athaar yang menemui seorang perempuan itu. Mereka berpelukan sejenak, membuatku mengepalkan tangan menikmati setiap rasa sakitnya. “Nty Dil!” Seruan itu menyelamatkan aku untuk segera mundur dari potensi sakit yang lebih besar jika tetap berdiri dan menatap ke arah pria yang aku cinta dalam diam selama beberapa tahun terakhir. Aku berbalik, tersenyum pada Rigel. Aku berjongkok, “boleh peluk, Nty?” Dia tampak bingung karena aku tiba-tiba meminta pelukan, namun anak baik ini segera mendekat. Aku mendapat pelukan yang manis. Aku pejamkan mata, menghirup leluasa aromanya dan berharap cukup membuatku bertahan dalam rasa sesaknya. Tak ada gunanya terus patah hati, ketika aku jatuh cinta dan membiarkannya, aku harus siap dengan setiap rasa sakit, kecewanya. Bukan salahnya, karena dia pun tidak pernah mengetahuinya. “Lho, kalian di sini?” kemunculan Sea—merupakan sahabat sekaligus bosku, membuat aku segera berdiri. Sea memberi tatapan bingung, karena pelukan kami. Rigel berbalik, menghampiri ibunya. Sea juga merupakan adik perempuan dari Athaar. “Nty dil, minta hug... Bial ndaaak cedih.” Lapornya. Eh? Rigel kenapa tahu alasanku? Batinku. Sea tentu memberi tatapan yang penuh makna, tanpa perlu aku ceritakan, dia langsung tahu maksud putranya. “Aa sudah dijemput Rea?” Kan, lihat... pertanyaan itu sekaligus memastikan alasanku. Aku memberi anggukan sambil mendekat, tanganku mengusap bayi dalam pelukannya. “Ya, baru saja. Dia minta aku sampaikan, kalau mereka langsung pergi.” “Bagus deh, kalau mampir, enggak adil buat kamu.” Aku tertawa, nadanya agak sumbang, “kenapa enggak adil buatku?” “Masih tanya lagi!” dia memutar bola matanya, membuatku tertawa. Mencairkan suasana agar dia tahu, aku baik-baik saja. Sea memang sudah tahu mengenai perasaanku pada kakaknya. “Nanti enggak usah datang deh, kamu buat alasan saja pas hari pernikahan Aa sama Rea.” Sarannya. “Lho kok begitu? Masa enggak datang! Enggak enaklah sama Ibu, sama Aa juga. Aku pasti datang.” Aku paham maksudnya, dia terlalu mengkhawatirkanku “untuk bisa melupakan, aku memang perlu menghadapinya lebih dulu.” “Dillaah...” Dia pasti tidak percaya kalimat santai itu yang aku katakan. “Rasa kecewa, sakit, bagian dari proses sebelum mulai memaksa diri untuk terbiasa dengan yang terjadi lalu menerimanya.” “Kayaknya cuman kamu, yang patah hati dan masih bisa positif vibes gini! Malah kayak aku yang denial parah!” katanya kemudian berbalik. Sebelum dia malangkah jauh, aku menyamakan langkah lalu merangkulnya. Hidupku tidak benar-benar selalu buruk saat menyadari, dibalik keluargaku yang berantakan, kehidupanku yang rumit, pun patah hatiku, aku menemukan sahabat sebaik Sea. *** Harinya tiba, seperti yang kukatakan pada Sea jika aku pasti akan datang menjadi salah satu yang menyaksikan dia melangkah pada kehidupan barunya. Aku harusnya hanya diam, menunggu bukannya membawa langkah pergi ke ruangan tempat Athaar berada. Pintunya tidak tertutup, hanya ada dua orang yang membantunya bersiap. Kuberanikan diri untuk mengetuk, tetapi keberadaanku sudah lebih dulu dia tahu seperti biasa. “Dillah? Sini masuk.” Pintanya sambil tersenyum menyambutku seolah memang menunggu kedatanganku. Aku mengangguk, dianggap jadi bagian keluarga, aku dapat bahan kebaya dan batik yang kukenakan sekarang. Warna senada dengan yang Ibu dan Sea. Aku menatap penampilannya, dia gagah dalam beskap putih pengantinnya, tampan berkali-kali lipat, bahkan melebihi saat ia menggunakan seragam pilotnya. “Kenapa? Penampilanku bagaimana?” tanya Athaar saat aku hanya menatapnya dengan berani. Kesadaran menamparku, jika aku terlalu berani menatap calon pengantin wanita lain. Aku mengulas senyum, “Aa ganteng banget,” “Hari-hari biasa memangnya aku tidak ganteng ya?” dia terlihat tidak tegang, malah masih bisa bercanda denganku. “Ganteng, Aa selalu ganteng... tapi, hari ini aura pengantin. Jadi beda.” Dia tersenyum seolah pujianku berarti. Dua orang yang membantunya tiba-tiba pamit, karena sudah selesai. Athaar hanya menunggu waktu keberangkatan ke gedung pernikahannya. “Kamu juga cantik, baju kebayanya pas buatmu.” Rambutku juga tidak disanggul, hanya dijepit tengah. Aku tidak percaya diri untuk disanggul yang akan membuat wajahku semakin bulat. “Terima kasih, pengantin Aa nanti lebih cantik.” “Aku lagi memujimu, bukan membandingkan.” Katanya, kemudian dia menatap penampilannya melalui cermin, “tapi kok kayak ada yang kurang ya?” Aku ikut memerhatikan, “ah iya, sepertinya ada yang terlupa!” kemudian aku mencari sesuatu, menemukan bagian yang harusnya ada dikepalanya—bendo yang belum terpasang. Aku mengambilkannya, saat akan memberikannya, Athaar malah menundukkan kepala. Apa dia ingin aku yang memakaikannya? Aku segera berjalan mendekat, perlu berjinjit saat memasang dikepalanya. Tanganku gemetar saat kami begitu dekat. “Sudah—eh ya ampun!” saat aku akan mundur, sesuatu menyangkut di bagian lengan kebayaku. Bros yang Athaar kenakan di dadanya. “Jangan panik, Dill... tenang. Ini menyangkut.” Ujarnya menenangkan. Aku malah mendongak, dia menunduk membuat wajah kami begitu dekat sambil berusaha melerai brosnya agar tidak merobek kebayaku. Aku berpegangan pada bahunya. “Sudah,” dia tersenyum. Tatapan kami beradu karena aku masih saja terpaku di tempat. “Boleh aku bicara sesuatu?” aku tiba-tiba terdorong untuk mengatakannya. Athaar menatapku, “tentu boleh, apa yang mau kamu bicarakan?” Entah keberanian dari mana saat membawa tanganku yang semula berpegangan dibahunya bergerak ke wajahnya, mengusap pelan, merasakan kulitnya. Sentuhan lancang yang membuat Athaar terkejut. “Kalau aku... aku—“ “Aa, sudah waktunya.” Seruan itu membuat aku refleks mundur sekaligus tersadarkan dengan panik. Oh ya Tuhan, apa yang aku lakukan? Apa aku berniat mengungkapkan perasaanku padanya didetik-detik menjelang pernikahannya? “Ya, sebentar...” Ucap Athaar. Kemudian dia kembali menatapku, “kamu mau bilang apa barusan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD