Zara tidak tahu kenapa sedari tadi dia menahan napasnya. Sungguh ini benar-benar bukan sesuatu yang harus dia lakukan. Kegugupannya pasti terlihat sangat jelas. Sekalipun keterkejutan masih sangat mendominasi.
Zara duduk di kursinya dengan punggung tegak dan tatapan yang menghunus tajam pada mata ikan utuh yang telah diolah dengan bumbu-bumbu sehingga menjadi makanan yang tampak menggiurkan. Oke, itu tidak penting. Zara juga seharusnya tidak memikirkan apa resepnya, sekalipun dia gemar memasak. Ada hal yang lebih penting yang harus Zara pikirkan, namun sedari tadi kepalanya terus saja mencari topik lain sebagai pengalihan. Alhasil, dia tidak mendengar apapun yang diobrolkan di meja makan tersebut.
Beberapa kali Zara merasakan tatapan seseorang yang terarah padanya. Zara tahu itu bukan dari pria di sampingnya, melainkan Rasyid yang duduk di hadapannya.
“Kau baik-baik saja, Zara?”
Haruskah Rasyid bertanya seperti itu?! Zara mengerang di benaknya. Dan sebagai jawaban, dia hanya melempar senyum pada Rasyid, lalu kembali melanjutkan makan malamnya dengan pelan, dan kali ini mencoba untuk mendengarkan pembicaraan yang tengah terjadi.
Sedari tadi, Zara kebanyakan mendengar suara Ahmad dan Rasyid, hanya beberapa kali pria di sampingnya membuka mulut dan menjawab singkat pertanyaan mereka.
“Aku senang sekali karena akhirnya kau mau pulang, Nak.” Ahmad berkata dengan senyuman tulusnya. Kentara sekali bahwa dia memang benar-benar tengah bahagia.
Yang dibalas dengusan oleh Zayn. “Aku tidak mau, bukan itu tujuanku kemari.”
Perkataan Zayn itu serta merta membuat Ahmad kembali lesu, dia membalas perkataan Zayn dengan senyuman sedih. Sedangkan Zara berdehem pelan, menahan gejolak untuk memukul wajah lelaki yang duduk dengan tenang di sampingnya.
“Aku sangat berterimakasih pada produser film yang tengah kau bintangi karena memilih kota ini sebagai tempat untuk syuting kalian.”
Zara sedikit terkejut karena fakta baru itu. Jadi Zayn ke sini bukan bermaksud untuk menemui keluarganya. Namun, kebetulan saja memiliki pekerjaan di sini?
Hanya Zara dan Tuhannya yang tahu, bahwa seberapa sakit hatinya mendengar fakta itu.
Zara tidak lagi bisa fokus pada segala perbincangan yang terjadi di antara mereka. Alih-alih, dia sibuk memikirkan apa yang harus ia lakukan setelah ini. Tindakan apa yang harus dirinya ambil?
Zara sibuk berpikir dan mengontrol emosinya yang bisa saja tiba-tiba meledak. Dan Ahmad sepertinya mengetahui hal itu.
Sang Papa mertua menatap Zara penuh kasih sayang seolah Zara memang benar-benar anaknya. Bukan hanya sekedar perempuan yang telah menikahi putranya. Dia akan menyuruh Rasyid untuk menghibur Zara nanti, karena dua manusia itu selalu tampak bahagia ketika bersama.
Zara tampak benar-benar… linglung. Sulit memang menebak raut wajahnya, namun Ahmad sudah mengenal Zara sejak kecil, dia bisa tahu apa yang perempuan itu rasakan hanya dari tatapan matanya.
“Jadi, kau akan di sini sampai berapa lama?” tanya Ahmad pada putra sulungnya.
Zayn menatapnya sekilas, tanpa sadar dia melirik juga perempuan di sampingnya. Sedari tadi, perempuan itu tampak tidak fokus dengan pembicaraan yang terjadi di meja makan tersebut, namun ketika Ahmad bertanya, untuk pertama kali Zayn melihatnya merespon. Tatapan mereka bertemu singkat, kemudian Zayn menjawab, “Beberapa hari,” singkatnya.
Ahmad menganggukkan kepala. Tidak lagi bertanya detailnya, seperti berapa hari tepatnya Zayn akan di sini? Dia memilih untuk bungkam. Kalau beberapa hari, bisa saja itu lusa. Tapi setidaknya Ahmad masih memiliki waktu sampai besok untuk berbicara kembali dengan anak sulungnya. Membahas sesuatu yang merupakan salah satu tujuannya selama ini menyuruh Zayn untuk pulang.
Suara dering ponsel berbunyi. Zayn tampak berbicara serius dengan seseorang di sana sehingga dia memilih untuk bangkit dan menjauh sebentar. Ketika kembali, Zayn mengatakan pamitnya yang membuat Zara, Ahmad, maupun Rasyid mengangkat kepala.
“Kenapa cepat sekali?” tanya Ahmad ikut bangkit.
“Ya, kenapa cepat sekali. Hidangan penutup bahkan belum datang,” kata Rasyid, menatap sang kakak heran.
Zayn tidak menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya. Dia hanya tersenyum tipis namun terkesan sangat dipaksakan.
“Ada hal penting yang harus aku urus,” jawab Zayn. Dia tidak perlu repot-repot menyalami tangan ayahnya. Malah lelaki itu langsung pergi begitu saja.
Namun ketika baru hanya tiga langkah kaki Zayn berjalan, Zara tiba-tiba membuka suara.
“Jadi ada hal yang lebih penting dari keluarga yang tidak pernah kau temui selama bertahun-tahun?”
Walau hanya bisikan, namun Zayn dapat mendengarnya dengan jelas. Dia tidak mengatakan apapun dan melanjutkan langkahnya pergi dari sana.
***
Zara mendistraksi pikirannya dengan memasak banyak sekali menu makanan di dapurnya. Padahal ini sudah larut malam, namun Zara tidak peduli. Dia akan membagikan semua makanan ini keesokan harinya untuk sarapan anak-anak di panti asuhan. Bahkan, semua stok bahan di dalam kulkas nyaris dia habisi. Namun, sekali lagi, Zara tidak peduli.
Sepulangnya dari makan malam itu, pikiran Zara berkecamuk hebat. Dia sudah sholat Isya, membaca Al-Qur’an, dan mencoba untuk tidur setelahnya. Tapi pikirannya ribut sekali, sehingga akhirnya Zara memilih untuk bangun dan memasak di dapur. Walaupun bukan malam lagi karena sekarang sudah pukul satu dini hari, Zara tidak merasakan kantuk sama sekali.
Dia juga membuat beberapa kue. Sambil menunggu adonan di dalam oven itu mengembang, Zara membalik daging yang tengah ia panggang. Oh, satu ini akan langsung ia santap karena perutnya sudah keroncongan. Terlalu banyak berpikir membuatnya lapar.
Zara memang tidak menggunakan jasa koki di rumahnya untuk memasak atau pelayan untuk bersih-bersih. Semua dia lakukan sendiri. Kecuali jika sedang hari sibuk, maka Zara akan menyewa jasa pembersih rumah dan menggunakan jasa laundry untuk mencuci pakaiannya.
Perempuan itu masih asik dengan kegiatannya sambil menggumamkan lantunan-lantunan nada sholawat yang ia ingat. Dia sama sekali tidak menyadari atau mendengar suara pintu utama rumahnya yang terbuka. Atau suara ketukan sepatu di lantai. Zara hanya fokus pada suara khas daging yang tengah dipanggang seetelah diolesi mentega beserta bumbu.
Hampir keseluruhan lampu di rumah itu dimatikan karena ini sudah malam. Hanya lampu dapur yang masih terang benderang karena Zara sengaja melakukannya.
Saat ini, Zara tidak sedang menggunakan jilbab sehingga rambut hitamnya yang panjang ia gelung ke atas. Hanya piyama tidur tipis yang ia gunakan beserta celemek di depan tubuhnya.
Zara mematikan kompor ketika menyadari sesuatu. Lalu lanjut memotong sayuran dengan pelan. Suara langkah kaki itu semakin mendekat walau terkesan tidak disembunyi-bunyikan. Semakin dekat…
Sampai…
BUGH!!!
Zara berbalik setelah melempar pisau di tangannya dan langsung melayangkan bogeman keras ke wajah siapapun manusia yang saat itu berdiri di belakang Zara. Dan sedetik setelahnya Zara kembali mengambil pisaunya lalu menghunuskan ke depan, ujung runcing benda tajam itu pada seseorang yang telah tersungkur di lantai dengan ringisan keras.
“s**t!”
“Siapa kau?!” seru Zara. Dia tidak tampak gencar sedikitpun, padahal seluruh tubuhnya berteriak penuh antisipasi, terlebih setelah menyadari bahwa sosok di hadapannya adalah seorang pria.
Perlahan, pria yang tengah tersungkur di lantai itu bangkit. Untuk kemudian menghadap Zara dan menatapnya sangat tajam. Darah segar mengalir dari hidungnya yang terluka dan tampak memerah.
Zara melototkan matanya terkejut. Pisau di tangannya jatuh ke lantai, lalu telunjuknya menunjuk sosok pria yang sampai saat ini masih bungkam dengan tatapan tajam penuh amarah itu.
“W-what are you?!”
Zara sedang tidak berpikir kalau pria di depannya ini adalah hantu, kan?
Pukul berapa sekarang? Terakhir kali Zara melihat jam adalah pukul satu dini hari, Xiena pernah bilang bahwa di saat itulah para hantu berkeliaran.
Pria itu berjalan mendekat, Zara mundur dengan langkah bergetar sampai pinggangnya menyentuh konter dapur dan tidak ada lagi jalannya untuk kabur. Dia bernapas tersendat ketika pria itu menunduk menatapnya tajam.
“Sambutan yang sangat romantis, Istri.”
Lalu kemudian berbalik dan melenggang pergi.
Meninggalkan Zara di dapur yang masih mencoba untuk memfokuskan pandangannya yang kabur dan pikirannya yang tiba-tiba saja kosong.
Perempuan yang berkeringat dingin itu merosot jatuh ke lantai. “Z-zayn…” lirihnya.