Suara helaan napas berat membuat lelaki bertubuh kekar dengan setelan jas resmi itu mengalihkan atensinya dari layar tablet yang menyala di hadapannya. Logan, menatap sosok atasannya dengan tatapan iba. Pria itu sedang mabuk setelah meminum berbotol-botol alkohol. Sedangkan Logan hanya menyesap beberapa gelas saja, memutuskan untuk menjaga kesadarannya demi sang tuan.
“Sialan perempuan itu!” Zayn mengumpat, mengusap wajahnya yang tampak kusut, lalu membaringkan kepalanya pada meja bar. Dia memperhatikan tinta hitam permanen di atas punggung tangannya.
“Sir, kau mau membaca emailnya lagi?” Tanya Logan dengan hati-hati.
Zayn justru tertawa. “Dia adalah pengganggu, dia nyaris merusak hidupku, dan aku benci pada perempuan seperti itu.”
“Tapi, Sir, dia-”
“Shut up, Logan! Kau tidak tahu apa-apa!”
Logan kemudian terdiam, membiarkan sang tuan terus meracau dengan u*****n-u*****n kasar yang keluar dari mulutnya.
Semenjak meninggalkan apartemen sang kekasih pada dini hari tadi, Zayn tampak benar-benar berantakan. Logan sedikit tahu mengenai masalahnya. Ah tidak, dia sudah terlalu banyak tahu. Ingin sekali dia mengomentari tindakan majikannya itu, namun Logan sebagai bawahan terlalu menghormatinya sehingga dia selama ini tidak berani mengomentari apa-apa.
“Apa aku pulang saja?” tanya Zayn, yang ditujukan pada dirinya sendiri. Sudah belasan kali dia melontarkan pertanyaan yang sama, namun tidak menemukan jawabannya sendiri.
Logan berdehem. Mengamati Zayn sekali lagi, lalu berpikir, jika sang tuan terus seperti ini, maka dapat dipastikan masalahnya tidak akan selesai sampai kapanpun. Dan Logan sangat yakin, suatu hari nanti Zayn akan sangat menyesali tindakannya jika memilih terus menghindar.
“Lebih baik Anda mengikuti kata hati Anda, Sir.” Akhirnya, hanya itulah yang mampu Logan katakan.
Zayn mengangkat wajahnya dari meja dan menatap Logan dengan mata setengah tertutup. Namun kedua sudut bibirnya membentuk senyuman lebar. “Ah... itulah yang sedari tadi ingin aku dengar,” katanya lalu terkekeh dan kembali menjatuhkan kepalanya ke meja bar.
Logan ikut tersenyum, menghembuskan napas lega.
Tangan Zayn tiba-tiba saja terulur. “Dimana ponselku?” tanyanya.
Logan meraih benda pintar milik sang tuan yang ia letakkan dia samping kepalanya, lalu memberikannya pada Zayn.
Dengan mata sayup-sayup, Zayn mulai mengotak-atik ponselnya. Tersenyum ketika ia membaca sederetan kalimat yang ada di sana. “Sialan, apa dia harus sesulit ini?” erangnya pelan, masih dengan senyuman yang sama. “Bagaimana aku bisa melupakannya kalau begitu?”
Entah kenapa, melihat sang tuan tersenyum seperti itu, sedikit banyak membuat Logan merasa lega.
***
Zara menghapus keringat yang terus mengucur di dahinya dengan handuk. Dia bernapas setengah-setengah, menatap lelah pada perempuan di hadapannya.
“Kau sudah berlatih terlalu keras, Zara, bahkan orang yang sedang mengikuti turnamen saja tidak berlatih sekeras dirimu,” kata Melissa, guru beladirinya yang berusia lima belas tahun lebih tua darinya, namun masih tampak sangat muda.
Zara tersenyum. “Dengan begini, aku merasa lebih baik.”
Melissa juga turut tersenyum. “Jangan terlalu memaksakan diri, oke? Apa kau masih dengan pendirianmu, untuk tidak mengikuti lomba?”
Zara menganggukkan kepala sebelum meneguk air di dalam botolnya. “Aku tidak belajar bela diri untuk berpartisipasi pada hal-hal seperti itu.”
Melissa tampak menghembuskan napas panjang, “Ya, aku tahu.”
Setelah memberikan Melissa senyuman terakhir, Zara pun pamit untuk pergi. Perempuan dengan jilbab hitam yang menutupi kepalanya itu, berjalan menuju ruang ganti. Ponselnya berbunyi ketika tangannya hendak menyentuh loker.
“Wa'alaikumussalam, Papa, ada apa?”
“...”
“Tidak, aku sedang tidak sibuk.”
“...”
“Ng... maafkan aku, Papa, sekarang aku memang sedang tidak sibuk, tapi malam nanti aku harus menghadiri acara milik Xiena. Jadi sepertinya aku tidak bisa datang malam ini.”
“...”
“Sekali lagi, maaf, Pa.”
“...”
“Ya, aku mengerti. Wa'alaikumussalam.”
Zara meletakkan lagi ponselnya, lalu menghembuskan napas pendek. Dia sangat lelah, semalaman tidak tidur, paginya dia bangun dan berpikir untuk melelahkan dirinya, mengalihkan atensi sang pikiran yang terus saja tertuju pada satu topik. Jadi setelah ini, Zara berniat untuk pulang sebelum malam nanti, karena dia harus menghadiri undangan spesial yang diberikan sang sahabat.
*
Setelah sampai di rumah, Zara langsung melaksanakan sholat dhuha empat rakaat, sesuatu yang sudah rutin dia lakukan. Ketika selesai, ditatapnya goresan kaligrafi timbul di tembok tempatnya khusus melaksanakan ibadah, tulisan lafadz Allah dan Sang Rasul itu menyita perhatian Zara untuk beberapa saat. Dia sadar dirinya bukanlah perempuan baik-baik atau sholehah. Bahkan dirinya pun tidak cantik sama sekali.
Zara tertawa pelan, lalu mengucapkan istigfar. Lantas diselesaikannya urusan pada sang Ilahi pada waktu pagi menuju siang itu. Barulah Zara memutuskan untuk istirahat.
***
Tidak jadi menghadiri acara fashion show sahabatnya, di sinilah Zara sekarang. Berada di dalam sebuah mobil utusan Ahmad yang akan membawanya menuju kediaman lelaki itu. Zara tidak tahu ada keadaan segenting apa sampai dia harus dijemput mendadak seperti ini. Tentu saja Zara tidak lupa dengan pertanyaan sang mertua pagi tadi yang menanyakan kesibukannya. Membuat Zara semakin penasaran.
“Apa keadaan di rumah baik-baik saja?” tanya Zara pada sang sopir.
Pria paruh baya itu meliriknya sekilas dari kaca depan sebelum menganggukkan kepala, dan setelahnya tidak mengatakan apa-apa lagi, bahkan untuk sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan Zara yang lain.
*
Setelah sampai di bangunan megah yang berdiri kokoh tempat tujuan Zara selama lima belas menit lalu, kini perempuan itu dibuat kebingungan akan adanya beberapa bodyguard tambahan yang berdiri di luar seolah ada tamu penting saja di dalam. Dan sepertinya memang ada.
Seorang pelayan menemui Zara di depan pintu, membuat ini semakin membingungkan. Padahal, bukan sekali atau dua kali dia datang berkunjung, bahkan hampir setiap hari Zara datang ke sini, namun para pelayan jarang ada yang mempedulikannya jika ia datang. Tumben sekali.
Zara mengetahui, pasti ada sesuatu yang aneh. Apa Rasyid sudah pulang dari Jepang sehingga membuat pesta besar-besaran?
Tapi mustahil ada pesta di ruang makan, kan.
Ya, pelayan perempuan itu membawanya ke ruang makan yang sudah sangat Zara hapal letaknya di mana. Ketika sampai di sana, Zara merasakan suasana yang berbeda. Dia sekilas melihat tiga pria duduk di meja makan. Ahmad, Rasyid, dan satu lagi pria yang duduk memunggunginya.
Mereka tidak sedang mengobrol atau apapun. Bahkan belum ada satupun yang menyentuh makanan yang tersaji di meja. Suasananya benar-benar mencekam.
Apa Zara harus pergi saja? Mungkin ini pertemuan penting yang seharusnya tidak dia hadiri.
Zara memelankan langkahnya, memastikan ketukan sepatunya tidak terdengar. Namun semakin dekat, Ahmad-lah yang pertama kali menyadari kehadirannya. “Zara, kau sudah sampai? Aku menunggumu sedari tadi. Ayo, duduklah, kita makan malam terlebih dahulu.” Ahmad menyapa dengan sopan. Gurat bahagia tampak di wajahnya yang sudah menua itu.
Kemarin Ahmad tampak benar-benar sakit dan lesu, namun raut wajah kepala keluarga Altair itu kini menunjukkan kebahagiaan yang jelas.
Zara tersenyum padanya. Lalu mengambil langkah cepat untuk mendekati Ahmad dan menyalami tangannya. Dia tersenyum pada Rasyid seraya mengatupkan tangan di depan d**a, gestur salamnya, yang dibalas Rasyid dengan senyuman tipis.
Zara hendak mengambil tempat duduk di sebelah kanan Ahmad, namun ketika dia menoleh ke samping, kepada sosok pria yang saat ini duduk di sana dengan raut tanpa ekspresi dan tatapan datar, Zara merasa seolah udara yang dia hirup mencekiknya di tenggorokan.
Tubuhnya nyaris linglung dan terjatuh jika saja tangannya tidak bertumpu pada meja.
“Allahuakbar,” kejutnya dengan bisikan pelan. Zara menutup mulutnya yang menganga. Matanya menatap tidak percaya pada apa yang ia lihat saat ini. “Za-” Zara bahkan tidak mampu mengucapkan namanya karena masih terlalu syok.
Dan pria yang masih menatapnya datar itu tersenyum tipis, sangat tipis sampai Zara yakin bahwa matanya sedang bermasalah.
“Zara.”
“Zayn.”
Mereka berucap bersamaan.