Zara masih terdiam di tempatnya semula, cukup lama sampai dirinya lupa sedang memanggang kue di oven, untung saja ada alarm yang memberitahunya bahwa kue tersebut telah matang, sekaligus membantu mengembalikan Zara ke dunia nyata setelah lama terdiam dan melamun. Zara masih tidak percaya pada apa yang baru saja terjadi.
Dia bergerak cepat mengangkat kue di oven, meletakkannya di meja makan, lalu mulai merapikan segala kekacauan yang ia buat di dapur tersebut.
Setelah selesai, Zara menyeka keringatnya dan duduk di kursi makan, menatap kosong ke depan.
Kenapa perasaannya menjadi aneh seperti ini? Seluruh tubuhnya pun lemas tanpa alasan. Bukan karena lelah, Zara tahu ini karena hal lain. Dan ketika mengangkat tangannya, Zara baru menyadari bahwa dia gemetaran, jantungnya pun terasa berdetak lebih cepat dari yang seharusnya.
Zara menoleh ke arah tangga rumahnya yang megah. Dia menelan ludah.
Kemana dia? Zara membatin penasaran. Dia tidak melihat kemana perginya pria itu tadi. Zara hanya berharap bahwa dia tidak pergi. Karena ada banyak sekali hal yang ingin Zara ucapkan padanya.
Ada banyak sekali hal yang perlu Zayn jelaskan padanya.
Namun lebih dari itu, Zara tahu, bahwa dia merindukannya lebih dari apapun.
***
Kegugupan Zara semakin menjadi ketika perlahan, dia menggerakkan kakinya menaiki tangga dengan tujuan kamarnya. Lampu di lorong tangga pun remang-remang. Zara tidak terlalu suka membiarkan rumahnya terang benderang kalau telah larut malam seperti ini. Rumahnya tampak seperti rumah horor yang ada di film.
Zara menggeleng. Memfokuskan dirinya pada apapun yang akan ia hadapi. Entah harus menelan kekecewaan… atau hal lain.
Zara benar-benar berharap Zayn masih ada di sini. Dia sudah mencari pria itu ke ruang tamu dan beberapa tempat yang memiliki kemungkinan akan adanya pria itu di sana. Namun Zayn tidak tampak dimanapun. Sampai akhirnya Zara memutuskan untuk mencari di lantai dua. Dan entah apa alasannya, sedari tadi Zara sangat yakin bahwa Zayn berada di kamarnya. Kamar yang sebelumnya tidak pernah dimasuki oleh siapapun, bahkan Xiena sendiri yang merupakan sahabat terbaiknya. Karena dulu kamar itu seharusnya menjadi kamar dirinya dan Zayn.
Sampai di depan pintu, Zara menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Dia menjadi bingung kenapa udara malam ini sangat dingin. Kepalanya tertunduk ke bawah, ada bayangan cahaya dari celah pintu di lantai yang membuat degup jantung Zara semakin kencang.
Ada seseorang di dalam kamarnya, Zara menyimpulkan.
Dia berdoa, semoga dugaannya benar.
Zara pun membuka pintu dengan perlahan, melebarkan daun pintu itu agar ia dapat melihat dengan lebih jelas. Diedarkannya pandang menuju ke segala penjuru, lalu Zara menghela napas pendek.
Entah lega atau kecewa.
Zara menutup kembali pintu kamarnya dan berjalan menuju ranjang, duduk di pinggirnya dengan pikiran berkecamuk. Dia lagi-lagi kehilangan fokusnya dan melamun seperti orang yang linglung. Salah satu penyakit yang Zara miliki, dia susah sekali untuk fokus dan selalu tampak seperti orang yang kehilangan arah jika sudah melamun.
Berbagai pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan di kepalanya. Terutama, dimana pria itu sekarang?
Menghela napas lagi, Zara pun memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi dan beranggapan bahwa Zayn sudah pergi dari rumahnya, walau Zara sempat kecewa, dia segera menepis perasaan itu dan bersiap untuk tidur. Namun, ketika Zara baru saja hendak berbaring, pintu kamar mandinya terbuka. Dia menoleh dengan cepat dan matanya sontak melebar ketika melihat siapa yang berdiri di sana.
Mereka sama-sama terdiam, sampai Zayn yang pertama kali mengalihkan pandang dan menutup kembali pintu kamar mandi dengan pelan.
Pria yang hanya mengenakan celana pendek dan handuk yang tersampir di lehernya itu melengos dan berjalan menuju meja di sana untuk mengambil sesuatu. Dia bersikap seolah kehadiran Zara bukanlah apa-apa.
Sedangkan Zara masih bungkam, terlalu sulit berkata-kata atau mengalihkan tatapannya dari pria itu. Bukan hanya kehadiran sosoknya yang tampak nyata, Zara juga terkejut dengan tinta-tinta hitam yang melekat di tubuhnya. Pikiran Zara langsung kosong.
“Keluarlah, Zara.”
Zara masih bergeming. Telinganya berdengung dan sama sekali tidak mendengar perkataan Zayn.
Zayn menoleh pada Zara, tatapan matanya tampak lelah, raut wajahnya tidak menyiratkan apapun.
“Zara,” panggilnya dengan suara lebih keras. Berhasil mengembalikan Zara ke dalam sadarnya.
Perempuan itu tiba-tiba saja bangkit. “Zayn-”
“Keluar.”
Zara mengernyit bingung. Keluar, katanya?
“Apa aku salah dengar?” gumam Zara sangat pelan, tidak sedikitpun mengalihkan tatapannya dari pria di hadapannya itu.
Dada Zara mulai naik turun karena napas kasarnya serta degup jantungnya yang menggila. Dia tidak percaya pada pria ini. Zara bingung dan marah!
“Kau tidak salah dengar. Keluarlah, Zara.”
“Zayn!” Zara menaikkan nada suaranya. “Apa maksudmu dengan semua ini? Apa kau pikir kau bisa datang begitu saja dan bertindak seolah tidak ada apa-apa di antara kita? There’s a lot we need to talk about.”
Pada akhirnya, Zayn pun berbalik menghadapnya, menatap Zara tepat di mata. Yang membuat perempuan itu menahan napasnya untuk beberapa detik. Rasanya masih sama, pikir Zara. Walau ini tidak seperti ketika dia melihat sosoknya di film atau fotonya yang tersebar di internet. Ini jelas berbeda! Selama bertahun-tahun dia menyianyiakan hatinya untuk merasakan perasaan ini
Dan rasanya… rasanya benar-benar menyakitkan.
Zara sudah menitikkan air mata tanpa dirinya sadari.
“Aku tidak tahu harus mengatakan apa, Zara. Mungkin seperti yang kau bilang, anggap saja memang tidak ada apa-apa di antara kita.”
Kali ini, Zara menahan napasnya lebih lama. “Ya Rabb…” bisiknya spontan, menatap tidak percaya pada pria yang baru saja mengucapkan kata-kata yang berhasil menusuk jantung Zara seperti belati. “Aku tidak percaya ini…” bisik Zara lagi.
“Apa yang kau harapkan?” Zayn bertanya, tatapan dan raut wajahnya tidak berubah.
Zara bukanlah seseorang yang mudah marah dengan menggebu-gebu. Dia bukanlah seseorang yang akan berteriak lantang melontarkan segala amarah dan caci makian. Bahkan kepada seseorang yang sangat ia benci sekalipun.
“Kau… ingin dengar apa yang aku harapkan?” Zara menarik napas dalam-dalam, menahan air matanya dengan sekuat tenaga, walau beberapa tetes berhasil jatuh. “Aku berharap kedatanganmu!” serunya, “Aku berharap kau tidak pergi dan kita hidup bersama-sama seperti keluarga normal lainnya! Aku berharap kau tidak pernah pergi. Aku sangat berharap kau tidak pernah pergi…” Zara tidak kuat lagi untuk melanjutkan kata-katanya. Oksigen yang ia hirup seolah mencekiknya dengan keras.
“Hm… sayang sekali kalau begitu.”
Tatapan Zara berubah nyalang. Ya Allah, jika apa yang hendak aku lakukan ini salah, kumohon maafkan aku, batinnya.
Zara melangkah maju, berdiri begitu dekat di hadapan Zayn, dengan jarak tidak lebih dari satu meter.
Zayn masih setia dengan tatapannya dan raut wajah yang tanpa ekspresi. Sehingga Zara kesulitan untuk menerka-nerka yang pria itu pikirkan.
“Kau tahu… hidungmu tadi hanya berdarah kan, sekarang aku sangat ingin membuatnya patah.”
Di luar dugaan Zara. Zayn justru tertawa mendengar perkataannya. Namun suara tawa itu terdengar sumbang, sang empunya pun tampak terpaksa melakukannya.
Zara menggigit bibir. Lalu menunduk, menatap lantai begitu dalam. “Apa kau masih menganggapku sebagai istrimu?” tanya Zara lirih.
Zayn terdiam.
“Apa kau masih menyayangiku seperti dulu?”
Zayn masih tidak menjawab.
“Apa… apa kau sudah begitu terlenanya dengan dunia ini, Zayn, sehingga kau lupa siapa dirimu?”
Dan Zayn hanya bungkam. Namun kalimat terakhir Zara menohoknya, menyulut api di dalam dirinya yang sempat ia redam.
“Kau… tidak tahu apapun.” Dia berkata dengan nada dingin.
Zara lagi-lagi menjatuhkan air matanya. Dia bukanlah perempuan cengeng, namun pada saat ini, dirinya tidak tahan lagi untuk tidak menangis.
Pada Ramadhan pertama yang ia lewati tanpa Zayn, Zara selalu berdoa setiap malam agar di Ramadhan berikutnya bisa ia nikmati bersama pria itu. Namun doanya tidak pernah terkabul, tidak pernah terjadi. Zara terus berharap dan berharap akan kepulangannya. Sampai dia menyerah untuk berharap terlalu tinggi, terlebih karena dia berharap pada manusia. Zara sadar, bahwa Zayn tidak akan pernah kembali.
Pria itu mustahil kembali.
Bahkan jika kiamat sekalipun, Zayn tidak mungkin akan kembali padanya.
Tidak akan pernah! Zara menekankan.
Dan semua itu terbukti.
Zayn memang ada di sini, tepat berdiri di hadapannya. Namun sosoknya yang Zara kenal tidak ada di sana. Lelaki itu telah hilang. Zara sadar, bahwa dia telah kehilangan suaminya sejak lama.
Rasanya sangat menyakitkan setiap kali menyadari hal itu.
Dan rasanya berjuta kali lebih menyakitkan saat harus menghadapinya langsung, seperti sekarang.
Mereka sama-sama membisu. Tatapan Zara kosong, sama seperti pikirannya. Sedangkan Zayn masih berdiri di sana, menatap tajam pada apapun yang matanya tangkap. Setelah bertahun-tahun, bukankah ini yang selalu dia inginkan? Tiba-tiba saja Zayn merasa menyesal akan keputusannya untuk kembali ke sini. Seharusnya dia tetap di sana, menikmati hidupnya yang baru dan tidak pernah menoleh ke belakang lagi, namun apa yang telah ia lakukan sekarang adalah kesalahan.
Terlebih… karena dia harus menghadapi sosok perempuan di hadapannya ini.
Zayn akan memilih untuk menjadi pengecut selamanya.
“Maafkan aku atas kekasaranku di dapur tadi.” Zara tiba-tiba saja berucap, suaranya tidak lagi terdengar parau.
Zayn menoleh dan menunduk menatapnya, mendapati sepasang mata cokelat itu menatap padanya dengan tatapan yang sama yang selalu ia lihat setiap kali dirinya bercermin. Dingin… dan benar-benar tidak menyiratkan apapun.
Zayn mengalihkan tatapannya lagi, dan memilih untuk tidak menjawab permintaan maaf Zara.
“Aku tahu,” kata perempuan itu lagi, terdengar menghela napas berat. “Seharusnya aku tidak bersikap bodoh dengan bertanya padamu.” Dia tersenyum pahit. “Kau sudah menjelaskannya dengan cara yang paling jelas. Sepuluh tahun… memang apa yang aku harapkan?” Zara tertawa lagi, lalu mengambil langkah mundur.
Dia tidak tersenyum setelahnya. Air matanya tidak lagi menggenangi pelupuk mata atau membuatnya menangis. Zara tidak ingin tampak lemah di hadapan seseorang seperti Zayn.
Lantas, dia pun tersenyum. “Aku senang kau akhirnya pulang. Selamat datang kalau begitu.” Kemudian Zara mendekat sehingga jarak di antara mereka menipis. Dia berjinjit dan mendaratkan bibirnya di pipi Zayn, mengecupnya singkat, lalu berbisik pelan;
“Sebagai istri, seharusnya aku mengucapkan salam yang benar. Assalamu’alaikum, Suami.”
Dan setelah itu, seolah apa yang dilakukannya bukanlah apa-apa, Zara kembali menjauh, lalu berbalik dan pergi dari kamar itu.
Meninggalkan sosok pria yang masih berdiri di sana, tampak terkesiap dengan apa yang baru saja terjadi.
Zayn menjadi sulit berpikir. Dia susah mencerna apa yang baru saja Zara lakukan. Atau apa yang baru saja perempuan itu katakan. Dia memejamkan mata sejenak, lalu menunduk menatap lantai.
Suara kekehan sumbangnya menggema di suasana malam yang sunyi itu, diikuti dengan u*****n penuh penekanan, dengan amarah yang begitu menggebu-gebu, “Sialan!”