“Zara, apa kau pikir, aku akan menikah dengan Zayn Altair?”
Perempuan berjilbab hitam yang baru saja menyeruput kopi di dalam cangkir, nyaris memuntahkannya lagi keluar. Dia menatap temannya yang baru saja menanyakan pertanyaan konyol itu padanya.
Zara berdehem. “Jika kalian memang jodoh, bisa saja,” jawabnya, kembali menyeruput kopinya.
“Ya, aku tahu, semoga saja Tuhan memutuskan untuk menjodohkanku dengannya.”
Zara hanya tersenyum menanggapi perkataan Xiena, sahabatnya yang saat ini masih saja mengoceh seputar idolanya tersebut. Sedangkan Zara memilih untuk mendengarkan saja, tanpa benar-benar menyimak.
Namun jauh di dalam, dia benar-benar iri dengan Xiena, perempuan itu padahal sudah tahu bahwa sang idola yang ‘katanya’ dia cintai setengah mati itu sudah memiliki tunangan, bahkan gosip tentang mereka baru keluar pagi ini, dan Xiena baru saja selesai membacanya, namun dia tetap tampak baik-baik saja.
“Aku sangat setuju dengan keputusan Zayn untuk memilih Tiana. Kau tahu? Tiana itu model yang cantik dan perempuan setia. Mereka berteman sudah lama, dan dari yang kulihat di sosial medianya, Tiana selalu mendukung Zayn. Mereka benar-benar pasangan yang serasi.”
Dada kiri tempat jantung Zara berdetak seolah baru saja dibolongi. Dia menggigit bibir, menahan untaian kata yang sudah sampai ujung lidah.
Yah, pantas saja Xiena tampak baik-baik saja, Zara lupa bahwa Xiena selalu mendukung hubungan Zayn dengan kekasihnya yang super cantik itu.
Xiena pernah bilang, bahwa dia memang mencintai Zayn, dan melihat Zayn bahagia walaupun dia tersakiti, juga turut membuatnya bahagia.
Bagi Zara, itu hanya omong kosong!
Kau akan menderita sendiri saat melihat pria yang kau cintai bahagia dengan perempuan lain. Bagaimana mungkin, rasa sakit bisa kau sebut kebahagiaan?
Untuk sesaat, tatapan sendu Zara berubah dingin. Dia menatap cairan hitam di cangkirnya tanpa minat, membiarkan Xiena terus mengoceh seorang diri.
Zara sangat menyayangi Xienna, perempuan dengan rambut diombre hijau menyala itu sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri. Semenjak memasuki SHS, Xiena menjadi satu-satunya teman yang Zara punya. Sekarang dia adalah seorang desainer terkenal yang memiliki butik ternama di Paris, juga beberapa negara lainnya. Akan tetapi, Xiena tidak pernah sombong dan masih mau berteman dengan Zara, disaat tidak seorangpun mau berteman dengannya.
Zara dianggap aneh dan tidak jarang dicerca karena penampilannya.
Dulu.
Ya, itu dulu. Ketika Zara masih menjadi gadis naif yang selalu menganggap dunia ini adalah tempat yang menyenangkan dan aman untuk siapa saja yang berbuat kebaikan. Nyatanya, tidaklah seperti itu.
Ketika lulus dari sekolah, Zara memutuskan untuk belajar beberapa ilmu bela diri dan menembak. Ayahnya yang merupakan seorang pengusaha kaya raya di Arab Saudi tidak tahu akan hal itu. Jika sampai tahu, mungkin Zara tidak akan berada di sini sekarang. Dengan dalih mempelajari bisnis sampai sukses, Zara pun diberi izin tinggal di kota ini tanpa fasilitas berlebihan dari sang Abi. Walaupun dia tahu, alasan kenapa dia diizinkan bukan hanya itu saja.
Kembali lagi kepada Xiena, sesayang apapun Zara padanya, tidak menutup kemungkinan dia tidak pernah jengkel pada perempuan itu. Well, seperti sekarang contohnya. Zara sudah sangat muak mendengar Xiena mengucapkan nama itu berulang-ulang kali.
Zayn… Tiana… Zayn… Tiana… Zayn… Tiana… begitu seterusnya sampai Zara tidak kuat, dan memilih untuk pergi ke toilet.
Xiena mengedikkan bahu, mempersilakannya pergi tanpa menyadari perubahan suasana pada hati Zara.
*
Ketika sedang berada di dalam toilet, ponsel Zara berbunyi tanda telepon masuk, yang membuat Zara langsung mengangkatnya.
Suara seorang pria terdengan memberi salam dari seberang sana yang dibalas Zara dengan, “Wa’alaikumussalam.”
Selama pria itu berbicara, Zara menatap pantulan wajahnya dari cermin bersih di depannya. Perempuan itu tampak lelah dengan sedikit kantung menghitam di bawah matanya yang berhasil ia tutupi sedikit dengan make up tipis.
Zara mengangguk ketika sang lawan bicara berkata sesuatu padanya. “Iya, Rasyid, tanpa kau suruh pun aku pasti akan mengunjungi Papa malam ini.”
“…”
“Ya.”
“…”
“Hm.”
“…”
“Oke. Semoga urusan bisnismu di Jepang berjalan lancar.”
“…”
“Baiklah. Wa’alaikumussalam.”
Setelah sambungan panggilan itu terputus, Zara kembali meletakkan ponselnya ke dalam tas, lalu menatap sekali lagi pantulan dirinya sembari menghela napas berat. Suasana hatinya masih kacau.
Zara mengerjap-kerjapkan matanya, menutup wajah dengan kedua tangan. “Subhanallah…” bisiknya pelan. “Kuharap, Engkau segera menghapus perasaan ini, ya Allah,” doanya, menyingkirkan tangan di wajah dan kembali menatap pantulan dirinya di cermin, lalu tersenyum manis.
***
Pelatuk dilepas, dan suara letusan peluru menembus udara dingin pada sore itu terdengar nyaring. Beberapa kali tembakan, nyaris menembus titik vital pada badan kayu tebal yang menyerupai manusia di depan sana.
21 peluru dia habiskan, lantas menurunkan senjata laras panjang di tangannya. Lalu berdecak kesal. “Aku tidak pernah berhasil melakukan ini,” gumamnya sembari melepas pelindung telinga di kepalanya.
Seorang perempuan, Belsa, yang merupakan pelatih menembak Zara, menghampirinya. Bertepuk tangan singkat dengan raut wajah berseri. “Semakin hari kau melakukannya semakin baik, Zara. Kalau saja kau datang lebih sering, aku yakin kau akan menguasainya dengan cepat.”
Zara tersenyum tipis, menyalami tangan Belsa. “Assalamu’alaikum, Belsa.”
Belsa membalas senyuman Zara. “Wa’alaikumussalam.” Lalu mereka terlibat sedikit obrolan mengenai kemajuan Zara selama satu minggu ini. Zara mendengarkannya dengan seksama.
Belsa adalah seorang muslimah sama sepertinya. Hanya saja, perempuan itu memilih untuk tidak mengenakan hijab seperti Zara. Mereka menjadi teman semenjak Belsa ditunjuk untuk menjadi pelatih menembaknya. Zara datang hanya beberapa kali dalam 1 bulan, hanya ketika perempuan itu butuh sesuatu untuk dikeluarkan atau dilampiaskan, maka berlatih menembak atau berlatih bela diri adalah pilihannya untuk melupakan sejenak masalah yang tengah ia hadapi.
***
Malamnya, seperti yang Zara katakan pada pria bernama Rasyid yang meneleponnya siang tadi, saat ini Zara memang benar menjenguk Papanya. Pria paruh baya yang saat ini tengah terbaring lemah di atas ranjang, keadaannya drop lagi.
“Pa, aku membuatkanmu biskuit yang kau suka, lengkap dengan tehnya.”
Ahmad tersenyum pada kedatangan perempuan itu. “Aku menunggu kedatanganmu sedari tadi, Zara. Rasyid sedang pergi ke Jepang, dan anakku yang lain sibuk sendiri dengan dunianya, sampai tidak peduli bahwa ayahnya jatuh sakit. Dasar, anak durhaka itu.”
Zara setengah meringis, setengah terkekeh mendengarnya. “Mereka sama-sama sedang sibuk, Pa.”
Ahmad mengangguk. “Setidaknya hanya kau yang tidak pernah absen menjengukku. Beruntung aku memiliki mantu sepertimu. Rasyid pasti bersyukur karena ada kau, dia jadi lebih tenang menjalani perjalanan bisnisnya.”
Zara tidak tahu harus menjawab apa selain dengan senyuman yang jelas sekali terlihat dipaksakan. “Papa seharusnya istirahat saja dulu,” kata Zara, yang diberi anggukan oleh Ahmad. Lalu Zara membantunya berbaring dan mengangkat selimutnya sampai leher.
“Tubuhku terasa sangat lelah hari ini. Seharusnya aku memakan biskuit yang kau bawakan dulu.”
Zara menahan pria paruh baya itu untuk bangkit lagi dari posisi berbaringnya. “Tidak apa. Papa bisa memakannya nanti. Akan kusuruh suster membuatkan papa teh baru saat papa bangun.”
Ahmad tersenyum hangat pada perempuan dengan hijab itu. Zara, adalah sosok anak perempuan yang Ahmad tidak pernah miliki. Anaknya hanya laki-laki dan ibu mereka sudah meninggal 11 tahun lalu, membuat kehadiran Zara menjadi lebih berarti di dalam keluarga ini.
“Aku merindukan anakku,” gumam Ahmad tiba-tiba, dengan raut wajah sendu yang sangat kentara.
Zara membalasnya dengan anggukan, sambil memaksakan senyum tipis. “Dia pasti akan pulang, Papa.”
***