5. Bibir yang manis

1305 Words
Bibir yang manis Laiqa turun dari mobil Kevin setelah mengucapkan terima kasih karena lelaki itu telah mengantarnya pulang. Setelah begitu banyak pertimbangan, terutama tentang masalah ekonomi keluarganya yang kini melilitnya, Laiqa menyetujui kerjasama dengan Kevin Hadiyaksa. Menjadi seorang istri bayaran. Berusaha keras untuk menyingkirkan bisik-bisik hatinya yang mengolok dirinya, karena tingkahnya yang amat murahan. Laiqa hanya berpegang pada janji Kevin yang akan menuruti segala keinginannya dan akan melepaskan dirinya jika suatu saat ia menemukan laki-laki yang ia cintai. Lagipula, statusnya nanti saat menjadi istri Kevin Hadiyaksa berbatas waktu. "Jadi ini rumah kos kamu?" Laiqa yang baru ingin membuka pintu gerbang rumah kosnya segera menoleh ke arah mobil Kevin, dan menemukan lelaki itu bersandar di pintu mobil yang tertutup. Memasang gaya yang mampu membuat sebagian perempuan mendecap kagum. Tapi, Laiqa justru menaikkan sebelah alisnya. "Kamu belum pulang?" tanyanya. Kevin menggeleng. "Nunggu calon istri masuk rumah dulu," Bersamaan dengan kalimat Kevin yang terlontar amat ringan itu, bincang-bincang berisik dari belakang mobil Kevin terdengar. "Aduh, kenapa berhenti diam-diam sih." "Astaga. Kamu mau nikah, La. Kok nggak ngabari aku?" Laiqa segera menoleh ke asal suara, dan meringis mendapati dua teman kosnya berada di sana. Mereka pasti mendengar ucapan ngawur Kevin barusan. "Mereka teman-teman kamu?" "Bukan." Laiqa menjawab singkat. Menoleh sebal ke arah Kevin yang tidak menampilkan rasa bersalah sedikit pun karena kata-katanya yang berhasil mengusik ketenangan Laiqa. Perempuan itu pastikan, malam ini ia tidak akan tidur dengan nyenyak. Dua temannya itu pasti akan merecokinya bahkan mungkin menginap di kamarnya untuk mendengar detail cerita tentang status baru Laiqa sekarang ini. Menjadi calon istri seseorang. Kevin melambaikan tangan ke arah dua perempuan yang berjalan menuju ke arahnya. Tidak mempedulikan tatapan sebal Laiqa yang jelas menyiratkan jika perempuan itu menginginkannya untuk segera pergi. "Kita harus ngasih tahu teman kamu tentang rencana pernikahan kita, kan?" "Kamu bener mau nikah, La?" "Kok tiba-tiba banget." Mega dan Erna -teman Laiqa berucap bersamaan. Dua wajah perempuan itu menunjukkan rasa ketidakpercayaan. Karena memang selama ini Laiqa tidak sekali pun membicarakan soal pernikahan. Bagaimana mau bicara tentang itu, sedangkan ia adalah jomlo akut. Pernikahan yang akan Laiqa jalani dengan Kevin pun terjadi karena di luar nalar. Entah, nasib apa yang membawa Laiqa sampai bisa menyepakati kerjasama aneh dengan Kevin. "Iya. Kami akan menikah." Kevin membalas dengan senyuman ramah yang khas. "Perkenalkan nama saya Kevin." Mega dan Erna berjabat tangan dan memperkenalkan diri secara bergantian. Melirik Laiqa dan Kevin dengan sejuta tanya yang menari di kepala. "Kamu mau nikah kapan, La? Sumpah, mendadak banget." Mega mendekati Laiqa. Menenteng kantong keresek warna putih berisi menu makan malamnya. Soto lamongan. Yang ia beli di pedagang kaki lima tak jauh dari rumah kosnya. "Bulan depan." Kevin kembali menjawab. "Apa? Beneran?" kali ini Erna yang bersuara. Dia berkedip beberapa kali seolah berusaha mencerna apa yang sedang terjadi di depannya. Kevin mengangguk pasti. Dia mengedipkan sebelah mata pada Laiqa yang masih bertahan membungkam bibir dan menyorotnya dengan tatapan sebal. "Memang mendadak banget. Habisnya udah saling nyaman, jadi niat baik nggak boleh ditunda," ucapnya mengutip perkataan Wirda. "Ah, benar. Tapi aku masih nggak nyangka aja, Laiqa bisa sama ...." Erna sengaja menggantung ucapannya. Dia melirik Laiqa yang mengulas senyuman simpul, dan beralih pada Kevin. Menilai penampilan lelaki itu yang amat berkelas ditambah seonggok kendaraan amat mengkilat dibelakang Kevin. "Nanti aku jelasin, deh. Kalian masuk dulu." Laiqa mengambil tindakan, tidak ingin teman-temannya terlibat obrolan lebih banyak dengan Kevin. Biar dia yang akan menjelaskan dengan caranya dan versinya sendiri. Tanpa sedikitpun membuat teman-temannya menaruh curiga. Erna mengulas senyuman menggoda. Dia segera merangkul bahu Mega sembari berucap, "Tinggalin Laiqa, Ga. Dia pasti masih mau lama-lama sama calon suami." Setelah teman-temannya menjauh, dan Laiqa pastikan mereka tidak mampu mendengar suaranya lagi. Laiqa bergerak maju, mendekati Kevin yang kembali bersandar di badan mobil. "Maksudnya apa?" Kevin mengerutkan kening. "Apanya?" "Ngapain bilang ke mereka kalau kita mau nikah." Laiqa mengedikkan dagu. Menunjukkan raut ketidaksukaannya atas tindakan Kevin yang mengumbar-ngumbar kabar itu. Padahal, Laiqa lebih suka jika keputusannya menikah dengan Kevin tidak diketahui siapa pun. Termasuk orang-orang terdekatnya. Laiqa harus benar-benar menyusun kebohongan elegan yang mampu membungkam rasa penasaran dua temannya itu. "Kamu nggak berpikir pernikahan kita akan sembunyi-sembunyi, kan?" "Kita memang akan nikah secara sembunyi-sembunyi." Kevin meloloskan tawa. Dua tangannya yang sebelumnya tersimpan di saku celana kini terulur dan menangkup bahu Laiqa. "Nggak ada sembunyi-sembunyi. Ibuku dan keluargaku, tidak akan membiarkan pernikahanku berlangsung secara diam-diam. Jadi, daripada teman-temanmu tahu setelah kita menikah. Bukankah lebih baik mereka tahu jauh-jauh hari?" Laiqa menelan ludah, menghujam mata Kevin secara intens. Mengapa ia tidak berpikiran sampai ke satu hal itu. Pernikahan mereka jelas tidak akan terjadi secara diam-diam. Lalu, pemikiran untuk kembali mundur, membayang benaknya. "Aku nggak siap kalau kita--" "Apa yang nggak siap? Kamu nggak perlu melakukan apa pun. Biar aku yang mengatasi segalanya." "Lebih baik kamu cari perempuan lain, Kev. Setelah kupikir lagi, semuanya begitu tiba-tiba, aku nggak tahu harus bagaimana menjelaskan situasiku saat itu pada orang-orang terdekatku." Laiqa menghela napas. Bukan hanya pada teman-temannya. Laiqa juga harus menjelaskan keputusannya untuk menikah pada orang tuanya. Entah akan seperti apa orang tuanya menanggapi, terlebih saat kondisi mereka tidak baik-baik saja. Orang tuanya pasti akan sangat terkejut. Kevin mengeratkan cengkeraman tangannya di bahu Laiqa. "Aku yang akan menjelaskan semua hal pada orang tuamu kalau alasanmu belum siap karena hal itu," ucap Kevin. Berusaha menerka kegelisahan di mata Laiqa yang ia temukan. "Kamu nggak bisa memutuskannya secara sepihak, kita sudah sepakat. Memang nggak ada hitam di atas putih, tapi, seseorang yang dipegang adalah ucapannya, kan?" Laiqa berkedip beberapa kali lalu menggeleng pelan. Dia ragu tiba-tiba, padahal siang tadi dia sudah memutuskan untuk setuju dengan segala kesepakatannya dengan Kevin. "Kamu tinggal kasih tahu nomor orang tuamu, biar aku yang menghubungi. Atau sekalian kasih tahu alamat rumah orang tuamu, dan aku langsung datang ke rumahmu. Memintamu secara langsung jadi pengantinku. Itu, kan, yang kamu mau." Napas Laiqa tercekat. Bola matanya membundar dan sedikit berkaca-baca. Tidak menyangka sedikit pun jika Kevin akan meloloskan kalimat itu. Sungguh, ia pasti akan menangis haru penuh bahagia jika ada seorang laki-laki yang mengatakan dengan lantang ingin mengunjungi rumahnya dan meminta ia sebagai pengantin. Apalagi jika laki-laki itu memberinya cinta sedemikian besar. Namun posisinya saat ini tidak seindah itu. Laiqa berada dalam sebuah ikatan atas dasar kesepakatan. "Aku nggak bisa Kev, sungguh. Aku merasa amat mura--" Ucapan Laiqa terhenti saat Kevin memutar tubuhnya, menjadikan dirinya yang kini bersandar di badan mobil. Belum cukup sampai di situ, dengan satu tangan, Kevin mengangkup wajahnya, dan membungkam bibirnya dengan bibir lelaki itu. Laiqa membelalak terkejut. Dua tangannya mencengkeram lengan Kevin. Ingin mendorong namun, Kevin justru semakin melekat pada tubuhnya. Melumat bibirnya tanpa jeda. Saat Laiqa merasa begitu lemas hingga napasnya seolah hampir habis, barulah Kevin melepas pagutan. Bukan kalimat maaf yang disuarakan pertama kali dari bibir Kevin. Lelaki itu justru mengusap bibir Laiqa yang basah, dan berucap lirih, seduktif, "Manis. Dan aku yakin belum pernah ada yang mencicipinya selain aku." Dengan sekuat tenaga yang ia punya, Laiqa mendorong tubuh Kevin, dan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi lalu melayangkan satu tamparan keras di wajah Kevin. "Sialan kamu, Kev." geramnya, menyingkirkan tubuh Kevin dan menjauh. Masuk ke rumah kosnya. "Setelah ini, kamu nggak bisa pergi ke mana-mana lagi, La." Ucapan Kevin yang berhasil tertangkap gendang telinga Laiqa, membuat perempuan itu memejamkan mata dan mengusap bibirnya kasar. Dia tahu, tingkah Kevin barusan pasti dilihat beberapa orang dari rumah kosnya, dan juga tetangga-tetangganya, karena memang masih begitu sore. Dan orang-orang lebih suka berada di depan rumah. Belum lagi dengan cctv rumah kos di pagar depan. Laiqa tidak bisa ke mana-mana lagi. Benar kata Kevin. Lelaki itu sudah mengambil langkah begitu nekat, hanya agar Laiqa tidak memutuskan kesepakatan mereka. "Aku hubungi lagi, besok, La. Kamu siap-siap aja. Selamat malam calon istri." Kevin mengulas seringai saat Laiqa menoleh ke arahnya dan menunjukan kepalan tangan padanya. Dia kemudian menyentuh bibirnya sendiri. Kevin tidak berbohong, bibir Laiqa manis. Dan ia ingin merasakannya lebih banyak lagi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD