4. Bertemu lagi

1402 Words
Bertemu lagi Laiqa melirik jam tangannya, berjalan di trotoar menuju sebuah pusat perbelanjaan. Dia datang tiga puluh menit lebih awal dari jam janjian yang Kevin tentukan. Dan sudah terlewat dua hari sejak terakhir kali mereka bicara di telepon, di malam pertama pertemuan mereka. Bukan malam pertama yang manis-manis ya, tolong. Baru saja Laiqa ingin membelokkan langkah menuju arah sebuah kedai minuman. Karena ia merasa haus tiba-tiba, terik matahari siang ini amat panas. Ditambah ia yang baru turun dari angkutan umum. Dia mendengar namanya dipanggil amat keras. "Laiqa!" Sedetik berikutnya, Laiqa menoleh ke arah suara, dia sedikit memicingkan mata untuk mengenali si pemanggil yang melambaikan tangan dan sedang berjalan ke arahnya. Saat akhirnya ia mengenali sosok itu, Laiqa langsung menghela napas berat. Jujur, ia tidak ingin ada pertemuan kebetulan dengan perempuan cantik yang berjalan amat antusias menuju dirinya. Namun, apalah daya waktu kembali mempertemukan mereka. Atau Kevin yang memberi tahu Wirda, sehingga mereka bisa bertemu di Mall itu. Laiqa mengangguk di dalam hati. Menyetujui pemikirannya. Itu bisa saja terjadi. "Tante seneng banget ketemu kamu di sini. Kebetulan sekali." Wirda memeluk Laiqa, menampilkan wajah amat bahagia. Bukan sebuah kepura-puraan. Binar mata Wirda seolah menunjukkan kedekatan di antara mereka. Meski sejujurnya belum ada obrolan intim apa pun yang terjadi antara ia dan Laiqa. Wirda hanya merasa, Laiqa adalah perempuan yang tepat menjadi istri Kevin, menantu pertamanya. "Ikut Tante, yuk." "Tapi, Tan--" ucapan Laiqa tentu saja tidak dipedulikan Wirda. Tangan Laiqa sudah digandeng perempuan cantik paruh baya itu untuk memasuki sebuah restoran, tidak jauh dari tempat ia berdiri sebelumnya. "Tante lagi janji ketemuan sama temen-temen. Kebetulan sekali ada kamu. Kita kenalan sekalian sama mereka," ucap Wirda sembari terus saja mengulas senyuman dan menggandeng Laiqa. Genggamannya amat erat. Seolah tahu jika Laiqa akan melarikan diri. Laiqa hanya mampu mendesah pasrah. Tidak mampu menolak lebih keras. Apalagi saat menemukan wajah bahagia Wirda. Dia sungguh merasa tak enak hati jika menolak. Lewat sudut mata, ia melirik Wirda dan memang hanya menemukan wajah semringah perempuan itu. "Kebetulan apa lagi ini?" Bisiknya di dalam hati. Dia sudah merasa amat pusing dengan kelakuan Kevin. Memikirkan matang-matang tawaran lelaki itu. Dan meski semenggiurkan apa pun. Apalagi di kondisinya saat ini yang amat tidak baik, Laiqa tetap ingin menolak. "Tante nggak ngerti lagi, deh, La. Seneng banget bisa ketemu kamu hari ini. Dari kemarin minta Kevin buat ajak kamu ke rumah bilangnya kamu lagi sibuk," Wirda menoleh ke arah Laiqa dengan tak melupakan senyumannya. "Mau tante ajakin masak bareng." "Kemarin Laiqa memang rada sibuk, Tan, maaf," ucap Laiqa berdusta. Padahal dia hanya berada di rumah kosnya, menggelar koran, menjelajah web lowongan pekerjaan. Pencariannya cuma beberapa menit, selebihnya rebah dan memandang langit-langit. Memikirkan apa yang sedang terjadi antara ia dan Kevin. Segala hal tiba-tiba yang baru menimpanya, secara kebetulan. Wirda menggoyang tangannya yang menjinjing tas tangan. "Jangan minta maaf, kita masih punya banyak waktu ke depan untuk masak bareng. Apalagi kalau kamu udah jadi istri Kevin, dan tinggal sama kami. Setiap hari bisa masak bareng." Laiqa ingin mengatakan jika hal itu tidak mungkin terjadi. Dia bukan calon istri Kevin yang sesungguhnya. Dan bahkan tujuannya menemui Kevin hari ini, selain menyerahkan jas dan ponsel lelaki itu, Laiqa ingin menegaskan penolakannya. "Temen-temen Tante baik, kok. Beneran," bisik Wirda, setibanya ia di meja yang sudah diisi oleh teman-temannya. Laiqa mengutuk dirinya sendiri. Dia tidak bisa mengatakan penolakan apa pun pada Wirda. Senyuman Wirda dan tatapan penuh kebahagiaan perempuan itu membungkam bibir Laiqa yang ingin melisankan kebenaran. Karena dia tahu pasti, bukan hanya marah, Wirda pasti akan amat kecewa padanya. "Siapa yang datang sama kamu, Da?" Pertanyaan dari perempuan cantik yang menggelung rambutnya dan mengenakan gaun merah hati, menyambut Wirda dan Laiqa yang baru tiba. "Calon istrinya Kevin. Kenalin, namanya Laiqa." Wirda memperkenalkan Laiqa dengan penuh bangga. "Wah, beneran calon istri Kevin. Namanya cantik, seperti orangnya," timpal perempuan lainnya, yang mengenakan blouse broken white. "Iya, dong, calon mantu siapa dulu." Wirda tersenyum bangga. Yang Laiqa lakukan hanya terus mengulas senyuman teramat manis sembari menjabat tangan perempuan-perempuan di meja itu yang berjumlah lima orang. Dia merasa semakin terjebak dan juga bersalah di satu waktu. Kebohongan yang ia dan Kevin lakukan berhasil membuat Wirda amat bahagia dan bangga. "Pantas, selama ini Kevin menolak perjodohan yang kamu rencanakan. Perempuan yang dia sukai ternyata yang penampilan dan kecantikannya amat natural." "Jadi, kapan rencana peresmiannya?" Laiqa duduk dengan tidak tenang disamping Wirda. Hanya mendengar dengan saksama obrolan perempuan-perempuan cantik dihadapannya. Hingga beberapa menit berikutnya, saat Laiqa hanya mampu membalas singkat dan menebar senyuman di tengah-tengah obrolan itu, dia merasakan getar ponsel di sling bag-nya. Dia segera meraih ponsel Kevin, dan meminta izin untuk mengangkat telepon. Namun, belum juga panggilan dari Kevin diangkat oleh Laiqa, Wirda yang paham gerak-gerik dan tatapan mata calon menantunya justru menembak pertanyaan. "Dari Kevin, ya?" Laiqa mengangguk dengan mengulas senyuman begitu hangat. "Iya, Tan." "Kamu ada janji sama dia?" tanya Wirda lagi. Laiqa melirik arlojinya. "Kami janji ketemuan lima belas menit lagi. Tapi sepertinya dia udah sampai lebih dulu." Wirda mendesah sebal. "Mereka mau kencan, Da. Tega kamu gangguin kencan putramu." Perempuan berblouse broken white bersuara. Mendengar obrolan antara Wirda dan Laiqa. "Ya sudah, Laiqa temui Kevin saja dulu. Tapi janji, ya. Besok-besok makan siang bareng tante." Wirda melepaskan Laiqa dengan setengah hati. Setelah pamitan dan mengucapkan terima kasih atas sambutan baik yang teman-teman Wirda berikan. Laiqa undur diri. Dia mengangkat panggilan dari Kevin saat sudah berbelok dari restoran. "Kamu di mana, La? Kenapa baru angkat telepon dariku." Laiqa memutar bola mata sembari mengayun langkah-langkah santai. Seolah bukan hal besar mendapati Kevin yang mengomel dan sedang menunggunya. "Bentar lagi aku sampai." "Lelet banget. Nggak bisa lari sedikit." "Kev, tutup deh." Dan kali ini, Laiqa tidak mempedulikan kata-kata Kevin yang memintanya untuk tak menutup panggilan. Dia menyimpan ponsel Kevin ke dalam tas dan menuju restoran tempatnya dan Kevin janjian. Laiqa menemukan sosok Kevin didekat kaca. Lelaki itu itu tampak menatap layar ponsel dengan sebal. Namun, bukan itu yang menjadi fokus Laiqa. Perempuan itu justru sempat menghentikan langkah dengan bola mata tak berkedip menatap Kevin. Dia baru sadar, betapa tampannya Kevin meski dilihat dari samping. Lelaki itu seperti model-model barat. Dengan tinggi dan tubuh yang proporsional dan amat indah untuk dipandang. Hidungnya yang mancung dan rahangnya yang runcing, tampak amat memukau. Juga lengan yang terlihat berotot karena kemeja yang digulung. Dan Laiqa mendengar bisik-bisik perempuan disampingnya berdiri. Tatapan perempuan-perempuan itu tertuju pada sosok Kevin. Terlihat jelas begitu tertarik. Laiqa mendecap pelan. Menggelengkan kepala. Menyingkirkan kekagumannya, dan segera melanjutkan langkah. Bertepatan dengan Kevin yang menoleh ke arahnya. Bukan saatnya bagi Laiqa untuk membiarkan dirinya menunjukan kekaguman pada seorang Kevin Hadiyaksa. "Duduk," pinta Kevin, sedetik saat Laiqa tiba di meja. Dia memperhatikan Laiqa yang meletakkan paper bag ke atas meja, disusul dengan ponselnya. "Kamu habis ketemuan sama Mama?" Laiqa mengerjap. "Kamu tahu?" Yang Laiqa ingat, pertemuannya tadi dengan Wirda terjadi secara kebetulan. Bahkan Wirda sempat sebal saat tahu Laiqa ada janji dengan Kevin. "Hanya menebak." Kevin mengedikan bahu. "Dan ternyata benar." Padahal, karena ia sempat melihat sopir pribadi Wirda melintas di depan kaca, bersama dua laki-laki lain yang Kevin kenali sebagai sopir pribadi teman-teman ibunya. Saking seringnya ia menemukan sopir pribadi teman-teman ibunya di rumah, membuat Kevin hapal wajah mereka. "Aku nggak sengaja ketemu tante Wirda. Kalau bisa berkelit, aku lebih suka menghindar dan bersembunyi." Kevin terkekeh pelan. "Mama pasti sudah memperkenalkan kamu dengan teman-temannya." Saat Laiqa mengangguk lemah, Kevin menambahi. "Memperkenalkan dengan bangga dan penuh kebahagiaan." Laiqa memijat pelipisnya. "Kenapa kamu tega membuat kebohongan di atas kebahagiaannya." Kevin mengedikan bahu. "Aku nggak punya pilihan." "Lalu aku yang sekarang terjebak di status calon istrimu." "Maka dari itu, aku menawarkan kerja sama amat menguntungkan denganmu." Kevin menumpu dua lengannya di atas meja. Sedikit mencondongkan tubuh ke arah Laiqa. "Aku akan bayar kamu sebanyak yang kamu minta." Laiqa tertawa hambar. "Pernikahan bukan main-main, Kev. Dan aku nggak berminat menikah denganmu." Kevin mengetuk jarinya di meja. "Kenapa? Karena pernikahan yang ada di dalam kepalamu adalah pernikahan yang terjadi atas dasar cinta. Sedangkan di sini aku adalah orang asing." "Aku udah mengembalikan jas dan ponselmu, jadi sekarang aku harus pergi." putus Laiqa. Tidak ingin membahas perihal pernikahan absurd yang Kevin rencanakan. Kevin menyambar lengan Laiqa. Menahan kepergiaan perempuan itu. "Kamu udah lihat sebahagia apa ibuku bertemu denganmu. Dan sudah sangat mendamba memiliki menantu. Aku janji akan penuhi semua keinginanmu kalau kamu setuju menikah denganku." Laiqa memejamkan mata. Menjilat bibir bawahnya. "Hanya satu tahun. Kalau seandainya selama waktu itu kamu menemukan seseorang yang kamu cintai, aku akan melepaskanmu." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD