6. Rencana pagi-pagi

1270 Words
Rencana pagi-pagi Laiqa mengusap wajahnya kasar. Menatap pantulan dirinya di depan cermin, dia baru selesai berpakaian dan masih teramat malas untuk menyisir rambut apalagi membubuhi bedak ke wajahnya. Bola matanya intens menatap wajahnya sendiri, memindai gurat wajahnya yang sendu dan menemukan lingkar hitam di bawah matanya. Dia kesulitan tidur sejak beberapa hari lalu. Terutama setelah Kevin menciumnya. Mengingat itu, Laiqa menyentuh bibirnya, berkedip beberapa kali dan kelebat pagutan Kevin di sana semakin lekat membayang. Perempuan itu menggeram tertahan lalu mengusap bibirnya kasar. Berharap sisa-sisa ciuman Kevin akan menghilang namun, tetap saja terasa olehnya. Entah sudah berapa kali Laiqa mengumpati Kevin karena tindakan sembrono lelaki itu. Mengambil ciuman pertamanya. Padahal, Laiqa amat berharap, ciuman pertamanya terjadi amat manis. Dengan laki-laki yang ia cintai dan mencintainya. "Bibir kamu manis--" Laiqa menggeleng-gelengkan kepala saat ucapan Kevin menggoda pikirannya. Lelaki itu sukses membuat hari-hari tidak tenang. "Tarik napas, La. Singkirkan Kevin dari kepalamu. Dia tidak cukup penting untuk kamu pikirkan sepanjang waktu." Laiqa menggumam sembari menarik napas panjang dan menghelanya pelan. "Tidak cukup penting memang, tapi, dia calon suamimu." sahut bisikan hatinya yang lain. Dan berhasil membuat Laiqa kembali menggeram. Berkat ciuman Kevin malam itu, yang sudah teramat sukses membuatnya malu, sampai tidak tahu harus menyembunyikan wajah ke mana. Laiqa memang tidak bisa lepas. Semua orang penasaran siapa lelaki itu. Dan dengan amat terpaksa, Laiqa mengakuinya sebagai calon suami. Kalau hanya sekadar teman, atau pacar, ia pasti dianggap sebagai perempuan gampangan. Yah, meski dicium sebelum dinikahi pun, ia pasti dianggap begitu. Hanya sedikit pembelaan yang berkelas. "Calon suami sialan. Mana nggak ada maaf apa pun." Laiqa menggumam lagi, lalu menoleh ke arah ranjangnya, saat mendengar dering ponsel. Secepat kilat ia mendatangi ponselnya, berharap panggilan itu dari salah satu perusahaan yang sudah ia kirimkan CV. Sayangnya, nama Kevin yang tertera di layar. Dengan setengah hati dan bibir cemberut karena deringan itu tak juga berhenti, Laiqa mengangkat panggilan. "Ada apa?" Pada Kevin, Laiqa tidak perlu berbasi-basi, apalagi beramah tamah dengan sapaan manis dan hangat. Satu sisi di dalam dirinya masih berharap Kevin akan ilfiil dengan tingkahnya yang menyebalkan meski rasanya itu adalah hal mustahil. "Galak banget sama calon suami." Sialnya, Kevin adalah satu makhluk menyebalkan yang tidak akan mempedulikan apa pun yang Laiqa katakan. Padahal, mereka baru bertemu beberapa kali, masih hitungan jari, namun, serasa sudah kenal amat lama, seperti seorang kawan. Hingga bebas bertingkah menyebalkan tanpa perlu menjaga image. "Ada apa? Bilang aja. Aku lagi males basa-basi," sahut Laiqa. Masih mempertahankan nada sebalnya. "Emang kapan kamu pernah basa-basi, La." Nah, kan. Cara Kevin memanggil penggalan nama Laiqa pun terdengar amat familiar. Laiqa berdecap. "Kev," Kevin diseberang telepon tertawa pelan. "Buka pintu kamar kosmu, aku udah di bawah." Laiqa tak perlu menilai, yang Kevin katakan adalah sebuah kebenaran atau kebohongan. Karena dari nada suara lelaki itu, Laiqa menemukan kepercayaan diri teramat besar. "Ngapain pagi-pagi ke kosku?" Laiqa menoleh ke arah pintu, berusaha memaku kaki agar tidak berjalan ke arah pintu dan membukanya lebar untuk menemukan Kevin di bawah sana. "Jemput kamu. Turun deh, Mama minta kita jalan." pinta Kevin. Laiqa memejamkan mata. Memundurkan tubuh. Akhirnya ia mendekati pintu dan bersandar di jendela sebelah pintu, sedikit menyingkap horden dan mengintip ke luar. Menemukan mobil Kevin terparkir di pinggir jalan. "Jalan ke mana?" "Makanya, ayo turun. Biar kamu bisa tahu mau jalan ke mana?" "Bisa nggak gaya kamu jangan sok keren--" Laiqa segera membungkam mulutnya. Memejamkan mata dan mengutuk bibirnya yang kelepasan. Kenapa dia justru menyuarakan apa yang ia lihat dari Kevin. "Ah, kamu ngintip aku dari jendela, ya?" Kevin tergelak tawa. Dia mengangkat tangan kanannya dan melambai ke arah lantai dua. Tepat di pintu kamar Laiqa. Karena saat mengantar Laiqa ia tak langsung pulang, melainkan melihat Laiqa masuk kamar lebih dulu. "Aku tunggu di bawah. Nggak pakai lama." Laiqa mendecap. Memutar bola mata dan segera menutup panggilan. Tanpa memberi jawaban apa pun lebih dulu. Dia kembali ke depan kaca, mengambil sisir dan menata rambutnya, diikat dengan gaya sederhana. Juga sedikit menyapukan bedak di wajahnya, dan sedikit blush on agar sedikit berwarna. Tak lupa bibirnya ia poles lipgloss. "Nggak pakai lama, katanya." Laiqa mengedikan bahu. Mengambil kimono warna silver bunga-bunga untuk menutupi kaus polos di dalamnya. Lalu menyambar sling bag dan segera memasukkan ponsel ke dalamnya. Sebelum keluar kamar, ia mengenakan sneakers warna putih untuk melindungi kakinya yang sudah terbalut celana jeans sobek-sobek di atas mata kaki. Terlalu simpel dan sederhana. Tanpa ada perhiasan berlebih yang menempel di tubuh, kecuali sepasang anting bermata putih yang tak pernah lepas dari telinganya. "Mau kencan, ya, La. Pagi banget. Hari kerja pula." Mega bersuara, bertepatan dengan Laiqa yang mengunci kamarnya. Perempuan itu duduk di depan kamar sebelah Laiqa, bersama dengan Erna, tentu saja. Squad yang bekerja di tempat sama dan mendapat sift yang sama pula. Membuat kedua perempuan itu menghabiskan waktu bersama lebih banyak. "Iya lah, Ga. Udah mendekati hari H, pasti sibuk nyari ini itu. Mana, Abang udah nggak sabaran. Nggak tahu tempat main sambar. Pasti lebih baik dipercepat, kan?" Erna menimpali, tersenyum menggoda. Yang Laiqa lakukan hanya menghela napas disusul bibir mencebik sebal. "Masih pagi, nggak usah ngeledek." Laiqa sudah kenyang beberapa hari ini, teman-temannya, bahkan hampir semua penghuni kos, selalu meledek dirinya. Menggodanya. "Aduh duh, calon pengantin emang sensitif banget." Erna terkikik pelan. "Jangan mulai, Na. Ayo, kita biarkan Laiqa buat bersenang-senang menghabiskan hari dengan calon suami." Mega mengerling ke arah Laiqa. Tidak seperti Erna yang sudah tergelak bahagia, Mega hanya senyam-senyum tidak jelas. Laiqa melambaikan tangan. "Udah, ah. Aku pergi dulu. Jangan tungguin aku pulang." "Males banget nungguin orang pacaran pulang." Mega mendecap. Yang hanya dibalas Laiqa oleh gelak tawa pelan. Perempuan itu mengayun langkah menuruni anak tangga dan melewati pelataran rumah kos, menuju Kevin yang menanti di gerbang. Lelaki itu hari ini tampil amat kasual. Yang justru telihat sepantaran dengannya. Padahal, usia Kevin sudah kepala tiga. Celana tiga perempat yang dipadukan dengan kemeja polos warna hijau lumut tanpa dikancingkan, sehingga menampilkan kaus polos dibaliknya dan jangan lupakan kacamata hitam yang membingkai manis di wajah Kevin. "Jangan terpesona gitu, aku emang tampan luar biasa." Kevin melepas kacamatanya dan menaik turunkan alis. Menatap Laiqa dengan tatapan menggoda. Laiqa mendesis. "Jangan mimpi." "Oh, nggak ada mimpi di hari terang benderang begini." Kevin mengangkat tangannya, seolah menunjukan hari yang begitu terang. "Ini namanya kenyataan." "Jadi, kita mau ke mana?" "Udah nggak sabar ya, buat jalan bareng aku." Kevin tersenyum. "Tadi aja, nolak-nolak." "Kalau bukan karena tante Wirda. Aku nggak akan mau." "Ya sudah, masuk deh, Nona. Heran, dimantrai apa sama mama bisa nurut gini." Kevin membuka pintu mobil, mempersilakan Laiqa masuk, baru setelahnya menutupnya. Dia kemudian memutari mobil dan duduk di belakang kemudi. Kevin selalu suka membawa mobil sendiri, tanpa seorang sopir. Lelaki itu melirik Laiqa yang membetulkan duduknya dan kimono yang dipakai, senyumnya mengembang perlahan. Gaya sederhana seperti itu pun tampak begitu apik di tubu Laiqa. Kevin kemudian mencondongkan tubuh ke arah Laiqa dan menemukan perempuan itu membelalak terkejut. Entah kenapa, wajah terkejut Laiqa sangat menyenangkan untuk dilihat. Tatapan Kevin kemudian turun ke arah bibir Laiqa yanh mengkilat, sungguh menggoda dirinya untuk menanamkan kecupan di sana. Laiqa mendorong tubuh Kevin menjauh. "Aku bisa pasang seatbelt sendiri." Di drama-drama yang Laiqa tonton, biasanya pada adegan seperti barusan, yang terjadi antara ia dan Kevin, si lelaki akan menarik tali seatbelt lalu membantu memasangnya. Dan terjadi baku hantam -maksudnya saling tatap. Tatapan dalam dan menghanyutkan. "Siapa yang mau pasangin seatbelt. Mau ambil topi di atas dasbor." Kevin menyimpan kuluman senyum geli sembari mengulurkan tangan dan meraih topi hitam miliknya di atas dasbor. Wajah Laiqa seketika memanas. Perempuan itu menarik tali seatbeltnya dan menguncinya. Baru setelahnya memejamkan mata dan menggigit bibir menahan malu. Sungguh, ia ingin menonjok Kevin. Mengapa Kevin sangat menyebalkan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD