7. Cantik

1233 Words
Cantik  "Kamu pilih apa pun yang kamu suka, biar aku yang bayarin," ucap Kevin, selalu saja tidak bosan memperlihatkan kesongongannya. Dia dan Laiqa sedang berada di toko perhiasan. Memilih cincin, dan juga perhiasan apa pun yang Laiqa sukai. Laiqa mendesis pelan, melirik ke dalam toko yang memperlihatkan wajah-wajah penuh senyuman dari para pegawai. "Aku boleh beli apa aja. Abis itu aku jual lagi." "Kenapa dijual lagi?" Kevin yang baru saja menggenggam ponsel segera menoleh ke arah Laiqa. "Biar dapat uang lah. Apa lagi. Aku nikah sama kamu juga biar dapat uang." Sejujurnya, Laiqa sebal mengungkap hal itu. Sayangnya, itulah kebenaran yang terjadi padanya saat ini. Menikah dengan seseorang hanya demi uang. Dia mendapat satu milyar untuk satu tahun pernikahan. Nominal yang amat menggiurkan. Bagi ia yang kini menyandang sebagai perempuan murahan. Mungkin kalau Laiqa minta lebih dari itu, Kevin pun akan memenuhi. Tapi, dengan harga segitu pun, sudah lebih dari cukup untuk Laiqa. Bahkan terlalu banyak. Dia bisa membiayai adik-adiknya sekolah juga memperbaiki rumah biar tidak bocor lagi. Dan yang terpenting, membayar hutang sang ayah, juga membiayai pengobatan ayahnya. Hanya saja, yang masih sangat ia pusingkan adalah bagaimana ia menjelaskan kondisinya akan akan menikah pada keluarga. Sebelumnya, ia tidak pernah bercerita tentang laki-laki pada orang rumah. "Uang yang kita sepakati belum cukup buatmu?" Kevin menaikan sebelah alis. "Jangan dijual. Tiap bulan setelah menikah, aku juga akan kasih uang bulanan, jadi kamu nggak perlu jual perhiasan segala. Kamu bisa mengambil uang sisaan bulanan itu, untukmu sendiri." "Kamu bakal nafkahi aku juga?" tanya Laiqa polos. Sebelumnya, setelah mendapat harga kesepakatan, Laiqa yakin, tidak ada uang ekstra untuknya. Dia justru berencana mencari kerja saat sudah menikah. Demi menyambung hidupnya tentu saja. "Iyalah. Kalau kamu jadi istri aku, sudah kewajibanku sebagai suami untuk menafkahimu." Laiqa tahu, yang Kevin ucapkan semata hanya formalitas saja, atas hubungan mereka yang akan terjalin. Namun, mengapa ada desir menyenangkan di dadanya. Dan wajahnya yang tiba-tiba terasa memanas. "Ah, kalau begitu, aku akan sangat bersyukur. Jadi nggak perlu jual perhiasan." Namun, yang keluar dari bibir Laiqa justru sebuah pertahanan diri untuk tidak menunjukan perasaannya yang sesungguhnya. "Ya udah sana, pilih yang kamu suka." Kevin mendorong tubuh Laiqa. Akhirnya ikut masuk ke toko perhiasan. "Mama ngasih aku perintah buat beliin banyak perhiasan, khusus buat calon mantu." Laiqa mencebikkan bibirnya. Namun. Sedetik berikutnya mengulas senyuman. Senang rasanya saat Wirda bersikap begitu baik padanya. Laiqa pikir, Wirda akan menilai dirinya atas bawah, lalu menolak mentah-mentah karena tidak sederajat. Namun, nyatanya perempuan cantik dan elegan itu tidak berpikiran kolot. Seperti permintaan Kevin, Laiqa memindai deretan perhiasan yang tersimpan manis di dalam etalase juga beberapa di manekin. Kesemuanya tampak amat menarik dan begitu indah. Di dalam pikirannya, tidak pernah terlintas sedikit pun memiliki satu set berlian. Punya sepasang anting dengan kadar karat rendah saja sudah amat membuatnya senang. "Kamu suka yang mana? Kata mama, di sini modelnya bagus-bagus. Udah langganan juga." Kevin ikut menilik berbagai jenis perhiasan di sana. "Sekalian nyari cincin kawin juga buat kita." Laiqa menoleh ke sisi kanannya. Menemukan Kevin yang tampak takzim memindai satu persatu perhiasan di sana. "Aku suka semuanya. Mereka cantik-cantik." Sedetik berikutnya, Kevin menoleh dengan bibir ternganga. "Tapi nggak beli satu toko juga, La. Aku nggak bisa nutup kekurangannya nanti. Kamu cukup pilih salah satu yang kamu suka, atau salah dua deh." "Ish. Nggak satu toko juga, Kev." Kevin melirik pegawai perempuan di depannya yang tampak menahan senyuman geli karena mendengar ceplosannya tadi. "Ya, kamu bilangnya suka semua. Kupikir itu kode buat beli sama tokonya sekalian." Laiqa ingin mendecap keras-keras. Namun lewat sudut matanya, ia menemukan pegawai perempuan yang menunduk dan menutup mulut. Kevin memang paling jago bersikap menyebalkan. Dan ia yang jadi korban keisengan itu. Akhirnya, Laiqa menunjuk sebuah anting bermata merah muda dengan bentuk sederhana namun amat memikat matanya. "Kamu suka itu?" Kevin menilai saat anting pilihan Laiqa dikeluarkan dari etalase. Laiqa mengangguk. "Suka. Ini cantik banget." "Tapi berliannya kekecilan." "Memang kenapa?" "Jadi nggak keliatan." Kevin meringis. "Nggak harus yang glamour kok, buatku. Bersyukurlah aku masih sadar diri jadi nggak nguras dompet kamu." Laiqa menyentuh anting itu dan tersenyum. "Nggak nguras dompet gimana? Tadi kamu minta buat beli setoko." Kevin membalas sengit. Hanya senang menggoda Laiqa sejujurnya. Laiqa menoleh dengan mata menyorot tajam. "Aku nggak minta gitu. Kamu yang salah tangkap." "Oh ya?" Kevin berpura-pura mengingat. Dia kemudian menoleh ke arah pegawai perempuan di depannya yang masih mengulas senyuman. "Tadi, Mba denger sendiri, kan, kalau calon istri saya suka semuanya." Pegawai perempuan itu mengangguk lemah. Dan berhasil membuat Laiqa mendecap lalu geleng-geleng kepala. Dia jadi malu karena beberapa orang di sana akhirnya menoleh padanya. Terlebih suara Kevin yang menyebutnya calon istri dengan amat yakin. "Udah, ah. Aku mau coba." Laiqa melepas anting yang dipakainya, tidak ingin meladeni celotehan Kevin. Memasang anting baru dengan melalui kaca bundar yang pegawai toko itu sodorkan dan senyumnya mengembang senang. Seperti perkiraannya anting itu memang cocok di telinganya. "Cantik," puji Kevin melirik Laiqa yang mengulas senyuman senang. Laiqa mengangguk. "Memang, aku kan udah bilang kalau perhiasan di sini cantik-cantik." Dia menyimpan helaian rambutnya di belakang telinga. Lalu bergerak kanan kiri memindai anting cantik di telinganya. "Bukan," "Hah?" Kevin tersenyum. "Kamu yang cantik." Laiqa yakin, detak jantungnya sempat berhenti beberapa detik. Dia harus berkedip beberapa kali dan meloloskan napas pelan setelahnya. Lalu menunduk menyembunyikan wajahnya yang memanas. "Perempuan memang cantik, Kev. Kalau laki baru ganteng." Kevin mengedikan bahu. "Kalau kamu cantik banget," ucapnya yakin. "Jadi, aku ganteng atau ganteng banget?" kali ini ia mencodongkan wajah ke arah Laiqa. Meminta penilaian Laiqa tentang wajahnya. Setelah diingat-ingat Laiqa tidak pernah memujinya. "Gimana Mba, laki-laki disamping saya, ganteng, nggak?" Laiqa bertanya pada pegawai di depannya yang masih bertahan meladeni mereka. "Ck, kamu aku butuh penilaian kamu, bukan yang lain." Kevin mencebikan bibir. "Eh, jangan dilepas antingnya, pakai aja." Dia mencegah gerakan Laiqa yang ingin melepas anting. Jarinya kemudian bergerak diluar kendali, mengusap anting Laiqa. "Ini cocok banget dipakai sama kamu, beneran." Laiqa mengibaskan tangan Kevin. Dengan tak lupa memberi pelototan. "Apaan sih, Kev." Kevin mengangkat tangan, nyengir. "Ya udah, nggak usah dilepas. Tapi sini, ponsel kamu, aku fotoin, biar kamu yakin kalau anting itu cocok banget buat kamu." "Nggak usah foto-foto." Laiqa menolak tegas. "Ponsel aku udah penuh sama foto kamu, La. Udah nggak muat lagi." Laiqa ingin mengumpat keras-keras. Penuh fotonya bagaimana. Kevin pandai sekali membual. Demi membungkam bibir Kevin agar tidak semakin banyak berceloteh yang tidak-tidak, Laiqa akhirnya mengeluarkan ponselnya dari tas dan memberikannya pada Kevin. Kevin tersenyum bangga. Dia segera membuka layar ponsel Laiqa dan mengarahkan kamera untuk memotret Laiqa. "Senyum, ya. Miring kanan coba," Laiqa memutar bola mata. Namun mengikuti ucapan Kevin. Tidak ingin lelaki itu semakin banyak berulah. "Pintar. Satu ... dua ... ti--" Kevin terpaku. Terpesona pada senyuman Laiqa yang terulas amat tulus. Baru kali ini ia melihat dengan jelas senyuman tulus Laiqa. "Kev," Laiqa memanggil saat Kevin tak juga selesai memotret. "Ya." Kevin berkedip. Tersadar. Baru saja, Kevin akan menekan tombol memotret, ponsel Laiqa bergetar dan menampilan sebuah panggilan dengan username Ayah. Kevin segera mengangkat panggilan itu dan tersenyum manis, juga mengedipkan sebelah mata pada Laiqa yang menampilkan wajah bertanya. Perempuan itu pasti tersadar jika ada panggilan telepon. "Siapa, Kev. Kasih ke aku cepet." Laiqa mendekati Kevin, meminta ponselnya. Tidak menuruti, Kevin justru bergerak menjauh, sembari meloloskan satu kalimat teramat ringan yang membuat Laiqa berhasil menghentikan langkah dan termangu. Lalu menggeram dan memejamkan mata detik berikutnya. "Halo, Ayah. Selamat siang. Laiqa sedang sibuk. Ini Kevin Hadiyaksa, Ayah. Calon menantu, Ayah." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD