“Lo serius mau lamar kerja?” Nina dikagetkan dengan penampilan Anes pagi ini. Sebagai seorang teman, Nina tentu paham betul bahwa Anes itu paling malas bangun pagi, kecuali kuliah pagi. Liburan dihabiskan di dalam kamar sambil nonton drama Korea dan drama Cina. Tapi pagi ini Anes sudah rapi dengan kemeja putih, rok span hitam se-lutut dan wajahnya yang sudah dipoles dengan sedikit make up, tak lupa juga rambut di kuncir dengan sangat rapi.
“Menurut lo, gue ngapain dandan kaya gini? Ke kondangan?” Anes menatap Nina dari pantulan cermin seraya menyemprot minyak wangi di leher dan di lengannya.
“Gue kira lo cuma bicara omong kosong aja kemarin.”
“Gak lah. Kalau gue gak kerja, mau makan apa coba? Duit dari pegadaian gak cukup.”
“Kenapa gak tarik duit di atm?”
“Gila, sama aja gue kasih petunjuk keberadaan gue sama orangtua. Rugi dong gue kabur … udah ah, gue mau berangkat, takut telat.”
Anes mengambil tas dan berkas lamaran kerjanya lalu pergi. Beruntung dia masih memikirkan untuk membawa ijazah saat kabur, kalau tidak, dia sama sekali tidak bisa lamar kerja di kantor.
Kemarin dia sudah membuka website lowongan kerja, kebetulan ada salah satu perusahaan sekuritas yang membuka lowongan pekerjaan dan menjanjikan gaji yang lumayan besar bagi Anes yang sama sekali tidak memiliki pengalaman bekerja di perusahaan selain ketika magang dan itu pun di perusahaan ayahnya.
Hanya bermodal percaya diri, Anes pergi menuju sebuah perusahaan sekuritas Sultan Invest dengan naik taksi online. Lumayan menguras isi dompet, tapi tidak masalah karena bukan uangnya, melainkan uang dari hasil pegadaian jam tangan milik Anjas.
Anes berdiri di depan kantor yang menjulang tinggi, bagi dia yang dulu kuliah di jurusan ekonomi bisnis, tentu paham dengan cara kerja perusahaan sekuritas. Dia tersenyum lalu melangkah masuk ke dalam, bertemu dengan resepsionis yang langsung diarahkan ke ruang HRD.
Namun, ketika dia hendak masuk malah melihat sosok laki-laki yang sangat akrab diingatannya. Panik, buru-buru Anes kabur—mencari tempat persembunyian.
“Jangan sampai orang itu lihat gue di sini! Duh, bisa gawat.” Anes bersembunyi di balik dinding, sesekali dia menoleh ke belakang, mengintip Anjas keluar dari ruang HRD.
“Apa dia mau kerja di sini juga? Duh, jangan dong! Masa gue satu kantor sama dia sih? Gue belum ada uang buat tebus jam tangan dia.” Anes terus mengeluh dalam hatinya.
Begitu matanya menangkap Anjas menoleh padanya, segera dia menarik wajahnya, bersembunyi dengan baik di belakang dinding.
“Semoga dia gak lihat gue.” Anes memejamkan mata, seraya merapalkan doa agar dia hilang dari permukaan.
Tak!
"Aduh," Anes mengaduh saat kepalanya ada yang menyentil. Mata yang ditutup pun perlahan terbuka.
“Aaaa …” Anes menjerit melihat Anjas di depan matanya.
“Perempuan penipu.” Anjas menatap tajam. Masih kesal dengan Anes yang menuduhnya sebagai orang jahat sampai jam tangannya harus lepas dari lengannya.
“Bu—bukan gue, ta—pi orang itu.” Anes tergagap dan panik.
'Duh, gimana ni kalau dia minta jam tangannya dia balik? Apa gue bohong aja kalau jam tangannya udah diambil sama laki-laki itu, biar gue aman?'
“Di mana jam tangan gua?” tanya Anjas sontak membuat Anes terkejut, menggigit bibir bawahnya.
'Nah, kan tebakan gue benar. Oke, lo gak usah panik, Nes, tetap santai biar kebohongan lo disangka kejujuran. Semangat.' Batin Anes mengatur napasnya lalu mendongak pada laki-laki yang lebih tinggi darinya.
“Jam tangan lo diambillah sama laki-laki itu.”
Anjas mendelik tajam membuat Anes gugup dan mengalihkan pandangan.
“Lu yang ambil, lu yang harus balikin ke gua!”
“Apa?” Anes tersentak, kedua bola mata melebar dan mulutnya menganga menatap sosok laki-laki yang begitu enteng berbicara. Apa dia tidak tahu bahwa Anes sekarang dalam situasi miskin? Andai tidak kabur dari rumah, dia dengan mudah menutup mulut Anjas dengan uang orangtuanya, tapi sekarang? Seribu saja rasanya sangat berharga.
“Kenapa? Gak terima? Bukannya lu dengan sok pahlawan peras gua?”
“Peras apaan? s**u diperas? Gue cuma bela kebenaran kok,” protes Anes tidak terima dengan pernyataan Anjas terhadap dirinya.
“Gua gak ada waktu buat layani lu di sini, sekarang cepat balikin jam tangan gua atau lu gua bawa ke hotel prodeo? Biar lu tidur dengan nyaman di sana,” ancam Anjas dengan santai tapi malah Anes yang ketar-ketir.
“Lo kenapa maksa? Gue gak salah. Kan udah gue bilang kalau jam tangan gue gadai.” Anes keceplosan dan segera membekap mulutnya. “Maksud gue—”
“Dasar tukang tipu. Sini ikut gua!” Anjas menarik tangan Anes membuat sang empunya meronta-ronta.
'Gak bisa. Gue harus pakai jurus maut.'
Dalam hitungan detik Anes langsung menjerit histeris sambil nangis-nangis.
“Pak, jangan sakiti saya! Tolonglah saya! Saya hanya perempuan lemah.” Anes menjilat air ludahnya lalu dioleskan pada bawah mata, seakan-akan dia benaran menangis.
“Diam lu! Gak usah drama di sini,” hardik Anjas malah membuat Anes semakin menjadi-jadi.
“Pak, jangan sakiti saya! Saya mohon!”
Suara jeritan histeris Anes sontak membuat semua orang yang berada di sana menoleh dan berbisik-bisik.
Anjas menyadari itu sehingga dengan cepat dia mengangkat tubuh Anes sepergi mengangkat beras lalu membawanya pergi.
“Laki-laki m***m!” teriak Anes meronta-ronta.
“Diam!” hardik Anjas memukul b****g Anes. Seketika Anes kaget dan berhenti meronta-ronta.
“Astaga, seumur hidup gue gak ada yang pernah pukul b****g gue, kenapa lo berani banget pukul gue, hah?” teriak Anes di telinga Anjas membuat Anjas memukul bokongnya lagi.
“Berani lu berulah, gua pukul b****g lu terus.”
Kali ini Anes diam, hingga detik kemudian dia berbisik. “Turunin gue dong! Pusing ni.”
“Biar lu berulah dan kabur? Enak aja, jam tangan gue belum balik.”
Anes berdengkus kasar. “Habis gajian gue tebus jam tangan lo deh.”
Anjas tidak menjawab, dia terus membawa Anes ke dalam ruang kerjanya, lalu dia lempar tubuh Anes ke atas sofa.
“Ssst … kenapa jadi laki-laki kasar banget sih?” protes Anes memegang bokongnya. “Lo sering KDRT-in perempuan ya?”
“Gak usah banyak ngomong! Lu gadai di mana jam tangan gua?” tanya Anjas dengan serius menatap manik mata Anes tanpa berkedip.
“Di …” Anes mendadak lupa. Iya, dia gampang mengingat nama Oppa Korea, tapi dia mudah melupakan nama jalan dan tempat.
“Di mana?”
“Duh, lupa lagi. Tapi alamatnya ada di rumah. Nanti gue kasih tau lo.”
Anjas mengepal tangannya. Dia sudah sangat kesal dengan perempuan di depannya itu. Dari tadi terus saja berkelit.
“Lu gak usah bohongi gua lagi! Di mana jam tangan gua?” teriak Anjas membuat seorang laki-laki yang ada di depan pintu terkesiap.
“Wah, apa ini?” Itu Juanda. Baru tiba di perusahaan tiba-tiba banyak orang yang menyampaikan bahwa Anjas menggendong seorang perempuan cantik ke dalam ruangannya. Rasa penasaran itu membuat Juanda lari tergopoh-gopoh untuk memastikan dengan matanya sendiri.
“Lagi interogasi si penipu ini,” jawab Anjas dengan santai.
Juanda pun mendekat, memintai perempuan yang dibilang penipu oleh sahabatnya itu.
“Memangnya kasusnya apa?”
“Yang kemarin gua cerita. Perempuan ini peras jam tangan gua, terus digadai.”
“Gue gak tau kalau laki-laki itu pura-pura buta. Kalau gue tau, pasti gue belain lo lah,” seru Anes tidak ingin disalahkan.
“Gak usah berdalih. Lu sama laki-laki itu satu komplotan. Tau gua kaya makanya lu peras gua.”
“Enak aja. Gue habis kabur dari rumah, mana mungkin satu komplotan sama laki-laki itu.” Kembali Anes mengatakan kejujuran dengan menatap tajam Anjas. Dia tidak ingin dipojokkan sehingga langsung berkata jujur.
“Gua gak mau dengar lagi kebohongan lu!”
Mereka terus berdebat membuat Juanda pekak berdiri di tengah mereka sehingga tak lama kemudian Juanda mengambil air lalu memercikkan ke wajah mereka berdua.
“Elu/elo!” pekik mereka kompak.
“Berisik.”
Anes dan Anjas mengatur napas seraya duduk di sofa.
“Daripada kalian terus bertengkar, kenapa gak nikah saja?” usul Juanda dengan santai sontak membuat Anes dan Anjas terperanjat.
“Apa?”
“Nikah.” Juanda mengulang dengan sangat jelas.
“Lu gila suruh gua nikah sama perempuan berisik kaya dia?” protes Anjas melirik Anes dengan tatapan sinis.
“Hei, lo gak sadar kalau lo juga berisik?” sanggah Anes dengan cepat. Jika dengan Anjas, jangankan kalah, seri saja enggak mau. Mulutnya dengan cepat menyela dan ujung-ujungnya berdebat.
“Kalian diam dulu! Biar gua yang bicara,” seru Juanda, seketika mereka tutup mulut untuk tidak lagi berdebat.
“Lu benaran kabur dari rumah?” tanya Juanda menatap Anes yang mengangguk kepala. “Kenapa?”
“Kabur dari perjodohan."
Juanda tersenyum miring mendengar kejujuran Anes. Dia sudah dapat menebak bahwa perempuan di depannya pantang didesak, langsung panik dan jujur.
“Anjas, dia perempuan yang lu cari.”
“What?”