“Gara-gara perempuan sialan gua jadi telat,” gerutu Anjas berlari masuk ke dalam rumah sakit.
Di tengah meeting tadi dapat telepon dari ART di rumah mengatakan Bu Ida sakit. Tanpa menunggu lama Anjas langsung pergi ke rumah sakit, tapi malah tersendat di jalan karena seorang laki-laki pura-pura buta dengan lempeng menyambut kedatangan mobil Anjas. Untung bisa rem mendadak, tapi bisa-bisanya laki-laki pura-pura buta itu jatuh tanpa tersentuh badan mobil.
Awalnya Anjas sempat iba, namun ketika tersingkap kacamata laki-laki itu, Anjas langsung menolak untuk percaya, apalagi malah minta ganti rugi. Dikasih uang sepuluh ribu langsung dibuang dan semakin menguatkan kecurigaan Anjas tentang kebohongan yang dilakukan oleh pria buta itu.
Namun, ketika dia sedang berdebat malah datang seorang perempuan dari antah berantah langsung sok jadi pahlawan dan membuat jam tangan kesayangan Anjas harus terlepas dari lengannya demi menutup mulut comberan Anes. Itu semua dilakukan juga karena tidak ingin berdebat terlalu lama dan banyak menghabiskan waktu di jalan.
Sekarang dia telat hampir 15 menit dari waktu yang diprediksikan saat keluar kantor tadi. Berharap ibunya sudah siuman dan tidak ada masalah serius.
“Mi.” Anjas mendekat, melihat ibunya sudah siuman di ruang IGD. Namun masih memakai infus. “Alhamdulillah, masih hidup.”
“Kamu doain Mami cepat mati?” protes Bu Ida menatap tajam. Suara lemas karena mendadak diare tidak henti-henti karena salah makan. Maklum saja, sudah tua dilarang makan pedas dan asam, tapi malah itu yang diburu.
“Jangan dulu! Papi masih sehat, takutnya malah dibawa istri baru,” canda Anjas agar ibunya tidak fokus pada rasa sakit. Tapi malah telinganya yang sakit karena dijewer sang ayah.
“Dasar kamu ini.” Bu Ida tersenyum, mengusap tangan putranya. “Kapan nikah?”
“Wah, kayanya aku salah server.”
“Server apa lagi yang salah? Sudah mau 29 tahun tapi belum menikah juga,” omel Pak Anwar pada putranya yang keras kepala dan konyol.
“Tunggu kepala tiga, baru aku pikirkan menikah,” jawab Anjas dengan lempeng.
“Mami sudah tua, sudah sakit-sakitan juga. Cepatlah menikah!” ujar Bu Ida, suaranya masih lemas.
“Sakit kaya gini karena salah makan doang. Tinggal makan makanan yang bergizi pasti sembuh lagi.”
“Kamu ini pintar sekali berdalih. Selepas Mami keluar dari rumah sakit, Papi ingin kamu menikah dengan perempuan yang sudah kami jodohkan.” Keputusan Pak Anwar secara dadakan membuat kedua mata Anjas membelalak—syok.
“Apa, Pi?”
“Dijodohkan dengan anak teman Papi.” Pak Anwar malah memperjelas membuat Anjas mengusap d**a. Seperti serangan jantung dadakan.
“Aku gak mau. Laras itu masih kecil, cebok saja belum bersih.” Anjas menolak keras. Baginya, hanya Laras yang jadi kandidat orangtuanya untuk menjodohkan dengan dirinya. Tapi dia lupa, bahwa ada perempuan lain yang berusia dua tahun di atas Laras yang akan dijodohkan dengan Anjas.
“Ada perempuan lain. Papi yakin kamu pasti suka dengan perempuan yang akan Papi jodohkan denganmu.”
“Pi, kita ini bukan hidup di jaman orde lama, ngapain masih jodoh-jodohin anak?” protes Anjas tidak terima dengan perjodohan. Sudah tidak kenal orangnya, kepribadian apalagi, ah rasanya seperti beli kucing dalam karung.
“Karena kamu gak laku, makanya Papi carikan jodoh untukmu.” Jawaban Pak Anwar sontak membuat Anjas bergeming dan meneguk keras salivanya.
Banyak perempuan yang coba didekati tapi malah gugur karena seleranya yang terlalu tinggi. Ingin seperti Alma, tapi lupa dengan kualitas dirinya.
“Pakai cadar gak dia, Pi?”
“Entahlah, Papi juga lama tidak melihat dia. Tapi nanti kamu bisa kenalan langsung sama orangnya.”
“Gak deh, Pi kalau ragu-ragu. Mending mundur.”
“Gak selamanya perjodohan itu buruk, Anjas! Lihatlah Juanda sama Alma, bahagia sampai sekarang.”
“Itu beda cerita, Pi. Om Danu memang sengaja pilih kualitas expensive untuk anaknya. Sedangkan Papi? Meragukan sekali.” Anjas malah mencemooh kualitas pilihan dari ayahnya.
Iya, semalam ini yang dipilih untuk dikenalkan pada Anjas semuanya perempuan yang berprestasi tapi tidak menutup kepalanya. Ribet sekali kalau harus berdakwah pada perempuan, sedangkan dia menginginkan di dakwah.
“Lihat dulu baru berkomentar!”
“Sorry, Pi. Gak tertarik.”
“Sekarang begini saja, Papi kasih waktu kamu satu bulan untuk menemukan calon istri pilihanmu! Kalau tidak dapat, maka kamu harus menikah dengan perempuan pilihan Papi … dulu kamu bebas karena kamu kabur dari rumah, tapi sekarang, jangan harap bisa menghindar lagi!” tegas Pak Anwar tidak ingin tertipu untuk kedua kalinya oleh Anwar.
Wajar, seorang orangtua memang menginginkan anaknya bahagia bersama dengan keluarga yang baru, sedangkan mereka bahagia dengan kehidupan masa tua bersama dengan cucu-cucu mereka.
“Oke. Aku akan bawa pulang calon istri ke rumah.” Anjas setuju dengan permintaan ayahnya.
Namun yang menjadi kendala besar baginya, ke manakah dia harus mencari calon istri? Apakah harus ikut ta’aruf online? Atau take me out? Waduh, Anjas pun diserang penyakit dilema.
*
“Kenapa mukanya gak enak banget dilihat?” tanya Dika menepuk pundak Anjas yang duduk sendiri, menatap lurus dengan tatapan kosong.
“Gua lagi dititik terendah ni.”
“Anying, sok dilema lu.” Dika dan Juanda malah menertawakan sahabatnya itu.
“Gua dapat tantangan dari bokap, dalam sebulan gua harus bawa calon istri pilihan gua di depan mereka atau gua harus terima dijodohkan sama pilihan mereka.” Anjas berdengkus kasar. Pikirannya mulai berserabut hanya karena jodoh.
Dulu dia bisa kabur dari rumah ketika orangtuanya ingin menjodohkannya dengan Laras, selain itu pihak orangtua Laras sendiri tidak setuju sehingga masih bisa di atas angin, namun sekarang sudah ada kandidat baru dan pasti akan lebih merepotkan.
“Coba lu terima dulu pilihan orangtua lu, maybe kaya Alma,” ujar Dika mengusulkan untuk pasrah pada pilihan orangtua.
“Gak mungkin ada kaya Alma,” sela Juanda dengan cepat. Si paling bucin dengan istri, apalagi sudah punya buah hati, makin tidak berpaling pada daun muda, apalagi rumput tetangga.
“Betul. Pilihan orangtua gua gak meyakinkan. Udah pernah dikenalkan. Ya, begitulah.” Anjas menghela napas panjang dan putus asa.
“Nia?”
Anjas menggeleng kepala. “Lost contact.”
“Tata?”
“Masa harus sama sekretaris Juan? Gak lah.”
“Laras?”
“Gak mau punya kakak ipar modelan Juan.”
“Kenapa dengan gua?” tanya Juanda menatap Anjas.
“Meresahkan. Gua tau malam pertama gua gagal gara-gara elu.”
“Anying.”
Ketiga pria itu kompak bergeming mencari solusi untuk Anjas. Begitulah sahabat, jika satu pusing, yang lain juga ikut terlibat memecahkan masalah.
“Jam tangan lu mana?” tanya Juanda malah beralih ke jam tangan yang biasa dipakai Anjas.
Semula Anjas tidak sadar dengan benda kesayangannya yang hilang dari lengannya, kini dia baru teringat dengan kejadian yang menguras emosinya.
“Astaga, jam tangan kesayangan gua malah gua kasih sama cewek sialan itu.”
“Hayo, ada apa ini? Bau-bau jodoh ni kayanya?” celetuk Juanda menyeringai, diikuti Dika.
“Jodoh pala lu. Gua lagi debat sama laki-laki pura-pura buta, eh malah nongol perempuan aneh, sok jadi pahlawan. Malah jam tangan gua melayang lagi,” oceh Anjas kesal.
“Cantik gak?”
“Bodo amat, gak peduli gua.”
Anjas sama sekali tidak peduli dengan perempuan yang tidak sesuai dengan standar perempuan idamannya, namun dia sangat menyayangkan jam tangan kesayangannya harus terlepas dari tangannya begitu saja. Apalagi dia tidak tahu bahwa sekarang orang yang memegang jam tangannya malah datang ke pegadaian.
"Serius mau gadai jam tangan orang?" tanya Nina khawatir.
"Iya. Rencana mau gue jual, tapi kasihan. Gue merasa bersalah, jadi gadai dulu, kalau gue punya uang, entar gue tebus lagi."
Anes melakukan transaksi pegadaian jam tangan mewah milik laki-laki yang tidak dikenalnya. Ini semua dilakukan demi bertahan hidup sebelum dia menemukan pekerjaan. Maklum saja, dia kabur tanpa membawa atm, kartu debit maupun kredit karena takut dilacak keberadaannya oleh orangtua dan malah diseret pulang.
Anes berencana setelah gajian akan menebus jam tangan itu. Namun untuk sementara dia harus bekerja dan syukurlah dia tidak lupa membawa ijazah yang baru saja diambil dari kampus sehingga bisa digunakan untuk cari kerja.
"Jadi setelah ini apa yang akan lo lakukan?" tanya Nina pada Anes yang sudah berhasil mendapatkan uang 10 juta. Tidak berani menawarkan harga tinggi takut tidak bisa bayar.
"Makan bakso dulu lah. Habis itu baru gue pikir mau gimana nasib gue," jawab Anes dengan santai. Dia keluar dari kantor pegadaian, tiba-tiba dari jauh dia malah melihat sosok pemilik jam tangan yang dia gadaikan.
'Gawat, orangnya malah di sini. Gimana caranya gue kabur?' Anes ketar-ketir melihat Anjas keluar dari sebuah cafe yang berseberangan dengan kantor pegadaian. Mata celingukan mencari tempat lalu dengan cepat dia bersembunyi di balik mobil.
Lantas Anjas tidak sengaja melihat Anes, namun hanya sekilas dan mendadak jadi ragu ketika diamati malah hilang.
"Bro, kenapa?" tanya Dika mengagetkan Anjas.
"Kita pulang." Anjas masuk ke dalam mobil. Ketika melihat spion matanya melebar dengan penampakan Anes, buru-buru dia menoleh ke belakang tapi kosong. Tidak ada satu orang pun di depan kantor pegadaian.
'Kenapa gua jadi kebayangan perempuan aneh itu terus? Apa jangan-jangan ... ah, ngapain gua mikirin dia. Lebih baik gua fokus cari istri.'
Anjas fokus memundurkan mobilnya dan lagi-lagi malah kelihatan Anes. Buru-buru dia menggeleng kepala sambil baca ta'awudz.
"Harus yasinan kayaknya. Muncul terus dari tadi. Astaga, dasar demit."