Sepuluh. Surprise, lagi?

1184 Words
                                                                                    ***                                                                      Selamat membaca.                                                                                     ***                                                 Jangan terlalu membangun harapan kepada orang lain, bila kamu tak ingin patah hati.                                                                                     *** Sebagai orang yang sangat menyayangi Shayna, sebagai orang yang sangat mencintai Shayna, Reevin yang baru saja beberapa detik lalu menjadi kekasih Shayna, mengizinkan Shayna pergi dengan Kak Dikta. Awalnya Shayna mengajak Reevin untuk ikut bersama dengan dirinya, Shayna pun tak mau Reevin salah paham kepadanya, ini yang membuat Shayna berpikir ratusan kali untuk menerima seseorang menjadi pacarnya -- bila saja bukan Reevin si masa teman kecilnya, si cinta pertamanya, Shayna pasti akan menolak pernyataan cinta dari laki-laki lain, hingga ia benar-benar merasa siap dengan satu hubungan. Menjadi  sepasang orang yang mencintai, meresmikan hubungan, agar satu sama lain menjadi hak milik, bukan lah perkara memiliki selamanya, tapi menurut pandang Shayna bila ia menerima cinta dari Reevin atau laki-laki lain, maka Shayna mesti menjaga keutuhan hati dari pasangannya, tak boleh menyakitinya terlebih membuat pasangannya kecewa. Dan dari dulu, Shayna berpikir, ia saja sering menyakiti hatinya sendiri, sering membuat dirinya menangis, lalu, bisa kah Shayna menjaga perasaan Reevin yang sekarang menjadi pacarnya? Shayna meletakan telapak tangannya ke bahu Kak Dikta, laki-laki itu tak menangis, tak mengeluarkan banyak suara, kini hanya ia, Dikta dan ke dua orangtua Dikta di depan makan Nenek, para tamu sudah bergilir untuk pulang setelah proses pemakamanan Nenek Dikta selesai dilakukan. Entah kenapa, melihat Kak Dikta seperti ini membuat Shayna tak mau mengikis jarak antara mereka, Shayna ingin selalu berada di samping Kak Dikta, menemaninya, menenangkannya. "Ayo, Kakak antar pulang," akhirnya, setelah beberapa menit sentuhan di bahu Dikta dari tangan Shayna, membuat Dikta tahu ... Shayna masih ada untuknya, masih ada di sampingnya, menemaninya, tak membiarkannya sendiri, tak meninggalkannya. Shayna langsung merespon dengan gelengan di kepalanya. "Enggak, aku pulang sendiri aja Kak," jawab Shayna dengan senyuman. Sama dengan respon yang diberikan Shayna tadi, Dikta juga menggeleng pelan setelah mendengar jawaban Shayna, Dikta yang mengajaknya, dan rasanya tak sopan jika Dikta tak mengantarkan Shayna pulang. Orangtua Dikta juga membantu meyakinkan Shayna agar Dikta bisa mengantarnya, dengan berat hati, karena terlalu dipaksa akhirnya Shayna mengiyakan permintaan Dikta. Sepanjang perjalanan menuju rumah Shayna mobil Dikta sepi dari suara, bahkan Shayna saja takut bergerak ia takut gerakannya akan membuat suara dan menggangu Dikta. "Shayna, makasih sudah nemenin seharian ya," Kata Dikta saat ia sudah memberhentikan mobilnya di halaman rumah Shayna. Shayna mengangguk dan membalas ucapan terima kasih Dikta, setelah keluar dan membiarkan mobil itu menghilang barulah Shayna masuk ke dalam rumahnya. Hari ini, hari yang cukup berat bagi shayna, Kak Dikta laki-laki yang baik, ia baru saja kehilangan neneknya, ia menangis di bahu Shayna, ia menatap Neneknya dalam-dalam, lalu ... Kak Dikta juga memeluknya, mengatakan ia tak ingin kehilangan orang yang ia sayangi, lagi. Sama …, Shayna pun tak ingin kehilangan orang yang ia sayang, apalagi ditinggalkan dan beda alam, kemauan Kak Dikta tak muluk-muluk menurut Shayna, itu kemauan semua orang, walau sebenarnya kita sendiri paham bahwa kemauan Kak Dikta sama sekali tidak akan bisa terwujud, bagaimana pun, kita akan kehilangan orang sekitar kita, entah dengan cara kita yang meninggalkan atau kita yang akan ditinggalkan, kita sama-sama akan pergi, sama-sama akan hidup sendiri. Rumah besar Shayna terlihat sepi, padahal setiap hari memang begitu, ia duduk sebentar di sofa, melepas sepatu juga jaketnya, lalu pergi ke dapur mencari asisten rumah tangganya agar disiapkan makan. Mungkin ayah dan ibunya benar-benar sibuk hingga di hari ulang tahun Shayna pun mereka tetap tidak di rumah, tak apa juga, sudah biasa. Akhirnya, Shayna memilih masuk ke dalam kamarnya, ia perlu air hangat untuk mandi, perlu kasur dan bantal untuk istirahat, menetralkan pikirannya juga, aura yang Shayna bawa sungguh negative, ia sedih, ia lelah, dan istirahat adalah jalan terbaik untuk memulihkan tenaganya. Shayna menatap kamarnya yang gelap, tadi pagi ia memang lupa membuka gorden kamarnya, Shayna juga manusia hemat listrik, ia selalu mematikan listrik yang tak terpakai. "Suprise lagi!!!" "Selamat, ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahu Shayna Prawira!" Dua kali, di hari yang sama Shayna mendapatkan kejutan, kali ini yang memberikannya kejutan tidak sebanyak orang yang ada di kelasnya, di sini hanya ada ke dua orangtuanya, Banjar, Reevin, Sadira, juga Argi dan Kevin. Shayna tersenyum hangat, ia menghapus air matanya yang mulai jatuh, entah air mata apa, air mata karena ia senang mendapatkan kejutan lagi, air mata senang karena di umurnya yang ketujuh belas ini ia mendapatkan pacar, bertemu teman lamanya, atau air mata kesedihan karena ia merasa bersalah karena memeluk Dikta ... kalau saja Reevin tahu, ia akan sakit hati kan? Di depan kue ulang tahunya kali ini, Shayna memejamkan mata, ia meminta kebahagiaan dan kasih sayang yang tak putus kepadanya, lalu ia meniup lilin dan mendapatkan ucapan selamat dari teman-temannya juga orangtuanya. Setelahnya, Shayna membiarkan orang-orang itu pergi, agar ia bisa ganti baju dan turun ke ruang makan untuk makan bersama. "Memang nanti, acara Shayna bakal di hotel berbintang, Om?" Tanya Argi, saat melihat Shayna sudah di anak tangga dari kamarnya menuju ke lantai dasar rumahnya. Kali ini entah kenapa Aldino lebih ramah dengan teman-temana Shayna, awalnya dia memang terlihat tidak suka. Tapi hari ini, demi anak sematawayangnya, Aldino mencoba lebih baik, ia juga ingin dekat dengan teman anaknya. "Enggak, di kuburuan," sahut Shayna jutek yang hanya ditanggapi Argi dengan pandangan sinisnya. Argi adalah orang yang tidak terlalu berada, ia terlihat cakep, pakaian pun bagus-bagus, tapi lebih dari itu, ia hanya seorang anak dari ibu yang pekerjaanya hanya asisten rumah tangga, ayahnya hanya pekerja buruh biasa, ia merasa tak mampu untuk membeli pakaian mahal bila acara Shayna berada di hotel berbintang, setidaknya orang-orang di sana pasti akan datang dengan pakaian jas yang bagus juga bernilai mahal. "Ya, namanya hotel tentu berbintang Argi," jawab Aldino apa adanya, yang hanya dibalas Argi dengan cengiran, benar juga. Shayna menatap Argi, lalu berucap, "awas aja lo enggak datang, gue cincang, entar ada yang jemput lo, sama Kevin juga," jawab Shayna dengan wajah ganas. Bukan karena ini, Argi menjadi teman baik Shayna juga Banjar, bukan karena mereka orang kaya raya, bukan karena mereka sering memberikan sesuatu kepada Argi, tapi berteman dengan mereka benar-benar dengan perasaan yang tulus, Shayna maupun Banjar tidak memandang rendah Argi yang notabennya orang tak punya, yang notabennya tidak seperti mereka, tidak sederajat dengan mereka. "Enggak ya Shayna," balas Argi sambil menatap shayna, “gue pergi sendiri aja,” katanya lagi. Argi awalnya merasa tersinggung, tapi mengingat bagaimana selama ini kebaikan Shayna dan Banjar, perlahan ia mengerti, hidup mereka memang begitu, mereka tidak menunjukan kemewahannya hanya saja memang itu yang melekat di tubuh mereka. Shayna hanya menjulurkan lidahnya kearah Argi, ia tak berniat sombong, ia hanya ingin Argi datang keacara ulang tahunnya dengan selamat, tanpa kesusahan sedikit pun, karena bagaimana pun, Argi adalah temannya, bagaimana pun keadaan Argi, Argi tetap menjadi salah satu teman terbaiknya di masa sekolahnya. Shayna merasa -- mecoba tak pernah sekali pun memandang teman-temannya dengan rendah, Shayna hanya memandang kebaikan orang lain -- karena Shayna mempunyai prinsip yang selalu ia pegang teguh sejak dulu -- sejak ia melihat bagaimana kehidupan orangtuanya. Ia tak kan memandang orang rendah, takkan pernah, kecuali orang itu pernah berbuat kesalahan hingga Shayna tak ingin kenal lagi dengannya, dan menggangap orang itu sudah mati.                                                                                                     ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD