***
Selamat membaca.
***
Entah sejak kapan, tapi aku membenci orang-orang yang berbuat salah kepadaku, dan entah kenapa aku juga tak ingin kenal mereka lagi.
***
Dikta tidak tahu tanggal lahir Shayna jadi tak mungkin hari ini Dikta memberikan ucapan kepada Shayna. Banjar, hubungannya dengan Banjar juga masih tidak baik laki-laki itu sama sekali tidak menegurnya padahal Banjar sangat tahu dan sangat paham bahwa ia adalah teman paling dekatnya Shayna, dan Shayna juga tahu sekali bahwa Banjar pasti paham hari ulang tahu Shayna adalah hari yang paling ditunggu Shayna, tapi melihat hubungannya yang sama sekali tidak bisa dikatakan baik dengan laki-laki itu, Banjar mungkin tidak memberikan ucapan kepada Shayna, sedangkan, Reevin? Shayna ragu apa Reevin tahu atau tidak, tanggal lahirnya.
Sebenarnya Reevin pasti akan tahu, karena hari ini Shayna akan membagikan undangan pesta ulang tahunnya yang ke tujuh belas yang akan dilaksanakan akhir pekan nantin -- empat hari lagi, tapi Shayna hanya ingin mereka -- teman-temannya mengingat sendiri, bukan Shayna yang mengingatkan tentang tanggal lahirnya itu.
"Kenapa anak papah malah murung sih?" Hari ini, karena Shayna berulang tahun, yang kata orang diumur spesial, Aldino dan Sylena berniat menyempatkan diri untuk menggantar Shayna ke sekolah, hal yang jarang sekali mereka lakukan, mereka hanya ingin membuat Shayna merasakan hari spesialnya dengan berbahagia.
Ulang tahun, hari ulang tahun sebenarnya hari yang masuk ke dalam hal yang tak disukai, tapi kadang disukai Shayna, sebagai anak tunggal, Shayna hanya menerima ucapan dari ke dua orangtuanya, juga dari Banjar, beberapa tahun belakangan ini teman-temannya, jarang sekali ada yang ingat dengan hari ulang tahun Shayna, mereka hanya ingat saat Shayna memberikan undangan pesta ulang tahunnya. Tapi hal baik yang disukai oleh Shayna adalah saat dirinya berulang tahun adalah ia merasa bahwa ia semakin dewasa, bersyukur karena diberikan umur panjang hingga detik ini.
Shayna tak menjawab, harapan mood baik Shayna kini hanya kepada Dikta, iya, sejak hari minggu itu, Kak Dikta selalu mengabarinya melalui pesan singkat, mengucapkan selamat malam, siang dan pagi kepada Shayna, tak lupa juga perhatiannya kepada Shayna.
Tak berbeda sebenarnya dengan Reevin, semenjak pengakuan Reevin bahwa ia adalah teman masa kecil Shayna, laki-laki itu juga gencar memberikan perhatian yang mestinya Shayna bisa terima sejak tujuh tahun lalu, Reevin masih sama, tetap Reevin si manis yang perhatian dan jahil, tapi terkadang Shayna jadi benci saat tak sengaja mendengar suara Sadira di ponselnya saat ia tengah berbincang via ponsel dengan Reevin, atau saat Reevin mengatakan ia tengah makan dengan Sadira.
Sadira Adiatma, Shayna jadi bingung sendiri, kenapa Shayna begitu tak suka dengannya, Shayna hanya menutupinya, ia ... ia tidak benci, tapi ia tak suka bila Sadira dekat-dekat dengan Banjar, ya itu lah yang Shayna rasakan.
Shayna merogoh ponselnya, tak sengaja ia mendapati pesan singkat dari Dikta saat ia dan ke dua orangtuanya dalam perjalanan ke sekolah.
Kak Dikta; Pagi Shay. Sudah sarapan?
kalau belum, mau ke kantin sebelum bel enggak?
Tanpa tunggu lama, Shayna pun membalas pesan itu, dengan senyum yang tiba-tiba merekah.
Shayna; Pagi Kak. Belum, oke deh nanti aku ke kantin habis naruh tas, kakak sudah di sekolah?
Tanpa tunggu lama, pesan singkat itu mendapatkan balasan bahwa Dikta baru saja sampai di sekolah, karena nenek Dikta drop, dan Dikta tadi malam tidur di rumah sakit, setelah pesan itu diterima Shayna, pesan itu hanya dibaca saja, toh menurut Shayna ia juga sudah hampir sampai ke sekolah. Setelah itu tak berapa lama, masuk lagi, pesan dari Dikta yang membuat Shayna tercengang, terdiam kaku, benar-benar tidak bisa mengatakan apa pun.
Kak Dikta; Shay, nenek ... meninggal.
Rasanya, kaki Shayna mendadak lemas, syukurnya kelas Shayna hampir saja sampai, hanya berjarak tiga sampai dua meter lagi, Shayna menarik napas dalam-dalam, ia sempat menjenguk neneknya Dikta kemarin karena diajak Dikta, neneknya memang terkesan lebih parah dari Oma Nia, tapi, namanya unur siapa yang tahu, Shayna pikir bahkan dia yang segar bugar saja bisa saja mendadak meninggal, dengan kestrum gitu, contohnya?
Shayna masih kalut, bahkan pesan yang dikirimkan Dikta masih belum dibalas Shayna, Shayna tak tahu harus membalas apa, menyuruh Dikta sabar? Memang kalau dirinya dalam kondisi seperti Dikta, ia bisa sabar dan tidak menangis, gitu? Tidak mungkin kan? Shayna benar-benar bingung apa yang harus ia lakukan untuk Dikta, untuk laki-laki itu.
Sewaktu Dikta kemarin membawa Shayna menjenguk neneknya juga Dikta menceritakan begitu dekatnya ia dan neneknya karena ke dua orangtuanya sibuk bekerja, Dikta ... Shayna mesti apa agar Dikta kuat?
Pintu kelas XI IPA didorong Shayna agar ia bisa masuk ke dalam kelas, tapi semua mendadak menjadi putih tak terlihat.
"Suprise!!!" teriakan itu menggema di kelas XI IPA.
Shayna mendapatkan hadiah pembuka di pagi hari, yaitu ember yang berisi tepung jatuh di atas kepalanya, setelahnya Shayna mendengar nyanyian lagu selamat ulang tahun dari semua manusia yang ada di kelasnya, juga dengan kue ulangtahun yang terlihat cantaik.
Ia tak menyangka teman-teman sekelasnya mengingat hari ulang tahunnya, Shayna mencoba memberisihkan wajahnya, syukurnya tepung itu tak bercampur dengan air, jadi Shayna bisa saja membersihkan wajahnya dengan mudah, tapi ..., seluruh badan -- rambut, tas, pakaian Shayna berwarna putih. Shayna hanya tersenyum sekilas kepada teman-temannya, lalu meniup lilin di atas kue tar itu, tanpa make a wish.
"Yah! Kenapa enggak ngucap make a wish?" Sadira -- dia ikut juga memberikan suprise, dan bertanya hal itu, membuat beberapa teman Shayna ikut mengangguk, membenarkan perkataan perempuan itu.
Menurut sebagian orang do'a dan harapan sebelum tiup lilin memang penting, tapi kali ini tidak dengan Shayna, ia merasa kacau dan tak bahagia hari ini. Shayna tak berniat menjawab pertanyaan yang dilemparkan Sadira, baru saja Reevin menyodorkan pisau juga piring, gawai Shayna yang ada di tangannya bergetar panjang, menandakan ada telpon masuk. Shayna sama sekali tidak memotong kue ulang tahunya, Shayna langsung menjawab panggilan Dikta.
"Iya Kak, boleh, Shayna ikut ya, iya, ketemu di parkiran, iya kak ini aku ke sana," setelah itu Shayna menutup panggilan telponnya. Shayna menatap sekitar, juga tubuhnya yang sudah berwarna putih akibat tepung.
"Guys, makasih ya kejutan kalian hari ini, tapi ma’af banget, gue mesti pergi." Shayna menatap teman-temannya. "Reev, izinin gue ya, gue pulang dulu," katanya sambil meletakan pisau ke piring yang ia pegang dan menyerahkan kepada Reevin.
Setelah keluar dari kelas Shayna ke kamar mandi lebih dahulu, untungnya Shayna membawa seragam olahraga dikarenakan hari ini ia ada jadwal olahraga, Shayna pun menganti pakaian abu-abunya menjadi pakaian olahraga. Setelah selesai dengan pakaiannya, Shayna bergegas keluar dari toilet, yang langsung disambut Reevin, Banjar juga Sadira.
"Lo sebenarnya mau kemana sih Shay, gue anter aja ya," kata Reevin sambil mencekal tangan shayna agar Shayna benar-benar menatapnya, dan tidak sibuk sendiri dengan pekerjaanya.
"Gue ...." Shayna menyahut dengan terbata-bata, ia dapat melihat raut wajah khuwatir sekaligus kecewa di wajah Reevin. Ia tak bisa membohongi Reevin juga hatinya, sejak dulu, dulu sekali Shayna jatuh hati kepada Reevin, tapi sepertinya akhir-akhir ini Shayna melukai hati Reevin, Shayna rasanya telah melakukan hal yang salah kepada laki-laki itu. "Kalau aku ... gue pergi, lo bakal marah Reev?" Tanya Shayna memastikan, ya, ini lah Shayna, kadang Shayna tidak bisa egois, ia ingin melakukan apa yang ia mau, tapi ia juga tidak mau menyakiti hati orang sekitarnya.
Reevin mengangguk, jelas, ia akan marah kepada kepada Shayna karena Shayna akan pergi dengan tergesa-gesa dan tidak jelas seperti ini, apalagi sebentar lagu bel masuk akan berbunyi, tapi tangannya yang menggenggam Shayna malah melembut. "Kalau gue enggak tahu kenapa alasannya, gue bakal marah, plise Shayna, gue khuwatir, jadi apa pun yang melukai lo, membuat lo khuwatir, sama saja dengan membuat gue di sini khuwatir." Reevin menjelaskan apa yang ia rasakanya, sungguh, ia benar-benar khuwatir dengan keadaan perempuan itu.
Di sana, di umur Shayna yang tepat ke tujuh belas tahun, di depan Banjar dan Sadira, Reevin mengucapkan apa yang ia pendam selama ini. Reevin yang akhirnya menemukan Shayna lagi tak mau menbiarkan ini sia-sia, Reevin suka Shayna, Reevin mencintai Shayna.
"Reev ...."
"Aku enggak mau kehilangan kamu lagi, Shayna," potong Reevin cepat, bahkan cara memanggil Reevin kini sudah mulai beruabah kepada perempuan itu, dari yang sebelumnya memakai kata elo-gue, sekarang jadi aku-kamu.
Shayna tahu, cepat atau lambat Reevin akan mengungkapkan semua ini, terlebih dari omongannya di mall kemarin. "Reev, ck ... kapan sih gue bisa kehilangan lo, juga? gue enggak mau juga kehilangan lo lagi," jawab Shayna dengan senyuman, Shayna juga mencintai Reevin, sepertinya ....
Reevin tersenyum saat mendengar jawaban dari perempuan itu, ia sungguh bahagia, akhrinya Shayna tidak akan lepas lagi darinya.
Saat ini Shayna jadi bingung, dia harus mengatakan apa kepada Reevin untuk pergi dengan Kak Dikta? Shayna tak mau menyakiti hati laki-laki itu sekarang.
“Shay, jadi pacar aku ya?” ucap Reevin tanpa basa basi, to the point, di depan kamar mandi, ia takut ia terlambat kalau tidak mengucapkannya sekarang, ia takut sama sekali tidak punya kesempatan lagi untuk mengatakan kalimat ini kepada Shayna, ia takut Shayna akan pergi lagi dari dirinya.
Shayna tidak mungkin menggeleng setelah mendapatkan pertanyaan seperti itu dari orang yang benar-benar ia sayangi. "Reev, jangan pergi lagi ya?" Pinta Shayna tulus, yang tentu akan ditepati oleh Reevin.
***