Sore ini, Arini sudah ada janji bertemu di mall dengan ketiga sahabatnya. Mereka mau shopping, makan, dan nonton.
Sebenarnya tidak shopping, tapi cuma melihat-lihat saja. Mereka asik melihat-lihat pakaian, ketika tiba-tiba Lisa menunjuk ke suatu arah.
"Eeh, itu Om Abi, itu perempuan yang kemaren bukan ya?" Lisa menatap Abi, dan Anggerk.
Serempak tiga temannya melihat ke arah yang ditunjuk Lisa.
"Om Abi, uuhh ... itukan perempuan yang kemaren," kata Riri.
"Iya benar," sahut Ina.
Hanya Arini yang diam tak bersuara.
"Duuuhhh, enaknya gelendotan di tangan kekarnya Om Abi," kata Riri.
"Apanya ya tuh perempuan, selingkuhannya, atau simpanannya, atau apa ya?" Lisa menatap, seakan tanpa berkedip.
"Aduuhhh kalian ini, sudah jangan dipikirin, yuuk kita nonton saja sekarang!" Ina menarik lengan Lisa, dan Riri. Arini mengikuti saja langkah ketiga sahabatnya.
Baru saja Arini menjatuhkan pantatnya di kursi bioskop.
"Arini," suara yang sangat dikenalnya memanggil namanya.
"Kak Fathan.... " desis Arini.
Arini menatap marah pada sahabat-sahabatnya. Arini yakin pasti mereka sudah mengatur semua ini. Arini langsung ke luar, tidak perduli panggilan ketiga sahabatnya.
"Arini, tunggu! Aku ingin bicara," Fathan menahan lengan Arini saat mereka sudah berada di luar. Beberapa pasang mata memperhatikan mereka.
"Tolong lepaskan, aku ingin pulang!" Arini menarik tangannya dari genggaman tangan Fathan.
"Rin, aku mohon, aku hanya ingin bicara sebentar saja,"mohon Fathan.
"Tolong lepaskan aku, Kak Fathan!" Seru Arini memohon.
"Lepaskan dia!" Suara lantang seseorang yang tiba-tiba muncul disamping Fathan mengejutkan mereka. Pria itu berusaha merenggutkan tangan Fathan dari lengan Arini.
"Om Abi," desis Arini.
"Anda siapa? Jangan ikut campur urusan saya!" Sergah Fathan marah.
"Cepat pulang, sekarang.... "desis Abi marah ke arah Arini.
Arini bergegas menjauh, ke luar dari tempat itu, tidak dihiraukan panggilan ketiga sahabatnya.
Hatinya tengah marah pada mereka.
Fathan masih berhadapan dengan Abi.
"Sebaiknya kamu juga pulang anak muda, belajarlah jangan suka memaksa pada wanita." Abi meninggalkan Fathan yang masih resah, karena penolakan Arini, dan marah karena ikut campurnya Abi.
***
Arini tidak bisa tidur. Kejadian sore tadi masih terbayang di benaknya. Pesan masuk di ponselnya sudah sangat banyak, dari tiga sahabatnya, dan dari Fathan juga. Tapi tak ada satupun yang dibalasnya.
Perut Arini berbunyi. Arini memang belum makan malam.
Ditengoknya jam di dinding kamarnya. Pukil 01.45. Arini turun dari lantai atas. Ia ingin mengambil makanan di dapur.
Dari dapur tercium aroma nasi goreng, yang membuat perutnya makin bernyanyi.
"Bik kok.... " Arini terpaku di depan pintu dapur. Setelah melihat, kalau bukan Bibik yang berdiri dengan celemek menggantung di leher, dan penggorengan berisi nasi goreng di depannya.
"Lapar?" Tanya Abi.
Kriyuk ... kriyuuk
Perut Arini yang menjawab, membuat pipinya merona.
"Duduklah!" Perintah Abi, Arini duduk di kursi dapur.
Abi membagi jadi dua piring, nasi goreng yang dimasaknya.
Kemudian mengambil telur dari dalam kulkas.
"Dadar atau mata sapi?"
"Dadar," jawab Arini singkat.
Arini kagum dengan kelihaian Abi memasak yang sudah layaknya chef restoran saja.
Dua telur dadar sudah diletakan di atas dua piring nasi goreng.
"Mau teh hangat?" Tawar Abi pada Arini. Kepala Arini mengangguk.
"Panas, atau hangat?" Tanya Abi lagi.
"Hangat" jawab Arini.
Satu gelas teh hangat disodorkan Abi beserta satu piring nasi goreng.
"Makanlah," kata Abi pada Arini.
Arini menyuap nasi gorengnya perlahan. Sesekali matanya melirik ke arah Abi.
Harus ia akui, meski Abi sudah tiga puluh lima tahun, tapi masih terlihat muda. Tubuhnya keliatan tegap, dengan kaos putih tipis yang melekat di tubuhnya.
Wajah tampannya terlihat ramah, meski matanya terlihat dingin.
"Kenapa?" Abi tiba-tiba bertanya, saat memergoki Arini yang tengah lekat menatapnya.
"Saya ingin mendengar cerita tentang orang tua saya dari Om," jawab Arini berdusta.
"Hhh ... saya kira, sekarang belum saatnya," sahut Abi.
"Kenapa?" Kali ini Arini yang bertanya.
"Saya sedang tidak ingin membahasnya, maaf.... " Abi berdiri dari duduknya, ia menumpuk piring bekas nasi goreng mereka.
"Biar saya yang cuci," Arini merebut piring dari tangan Abi.
Abi menunduk, untuk menatap wajah Arini yang tingginya hanya sampai di dadanya.
Tangannya terangkat, untuk menyentuh sudut bibir Arini.
"Ada nasinya," Abi memperlihatkan remah nasi di jarinya yang tadi menyentuh sudut bibir Arini.
Wajah Arini memerah seketika.
Sentuhan jari Abi membuat hatinya berdesir.
"Saya duluan ke kamar ya, berani sendirian di dapur'kan?" Abi menatap wajah Arini.
"Iya," kepala Arini mengangguk.
Abi melangkah ke luar dari dapur, tapi berhenti di ambang pintu dapur.
"Oh ya, maaf ya kalau tadi aku kasar dengan pacarmu, siapa namanya?"
"Fathan!" jawab Arini asal keceplosan.
"Hmmm Fathan, nama yang bagus, Fathan apa?" Tanya Abi.
"Fathan Effendi!"
"Teman kuliah?"
"Kakak kelas."
"Hmm, sampaikan maafku padanya ya, tapi ingat jangan bertengkar di tempat umum, tidak baik dilihat orang."
"Iya," Arini mengangguk dengan hati gamang.
"Selamat malam Arini, selamat tidur."
"Ya Om, Om juga selamat tidur," balas Arini.
Arini membereskan dapur dengan hati tidak menentu.
Rasanya ingin menangis, tapi tidak tahu apa alasannya.
***
Hari minggu, usai subuh Arini bersiap untuk jogging di taman komplek. Saat ingin keluar rumah, bibik mengatakan, kalau Abi juga tadi jogging ke taman komplek. Di perempatan jalan, Arini bertemu dengan Pak RT, dan istrinya.
"Kok sendirian, Mas Abinya mana, kok tidak pernah keliatan jogging, sejak kalian menikah?" Tanya Bu RT.
"Sibuk dengan pekerjaan Buu, tapi hari ini jogging kok, dia Sudah duluan, Bu," jawab Arini.
"Kok tidak bareng?" Tanya Pak RT.
"Saya tidak dia bangunkan, Pak."
Tiba di taman komplek.
Di tepi lapangan basket terlihat Abi tengah dikerumuni gadis-gadis komplek.
"Eeh ... bubar, ini ada istrinya Mas Abi." Bu RT membubarkan gadis-gadis yang asik mendengarkan cerita Abi.
Entah cerita tentang apa, yang pasti gadis-gadis itu tertawa-tawa ceria mendengar ceritanya.
Gadis-gadis itu bubar dengan teriakan 'huuuu' dari mulut mereka. Abi mendekati Arini
"Maaf tadi aku duluan, Sayang." Abi meraih pinggang Arini mesra. Membuat wajah Arini memerah.
"Hmmm, sudah isi belum nih?" Bu RT menatap perut Arini. Arini mendongak menatap Abi bingung, dengan pertanyaan Bu RT.
Abi tersenyum.
"Belum Bu, Arini masih 18 usianya, masih mau menyelesaikan kuliah dulu."
"Kalian ini pasangan serasi, meski beda usia jauh. Dari pada lama-lama pacaran mending nikah ya," kata bu RT lagi.
"Mas, Mas Abi, main yuukk! Kurang orangnya nih!" Seorang pemuda memanggil Abi, ia mengajak Abi, untuk ikut main basket.
"Aku ikut main ya, Sayang." Abi menatap Arini. Lagi -lagi wajah Arini memerah mendengar panggilan Abi.
"Dijawab atuh Neng Arini, iya sayaaang gituh!" Goda Bu RT.
Arini tersipu malu, kepalanya mengangguk. Abi masuk kelapangan diiringi tepukan tangan gadis-gadis, juga ibu-ibu komplek.
"Jaga mas Abinya baik-baik, Neng Arini, di sini banyak loh yang suka sama Mas Abi," kata Bu RT memperingatkan Arini.
Arini menatap Abi yang mulai asik bermain.
'Gagah, tampan, kaya, pekerja keras, apa kurangnya, Om Abi. Tidak ada.
Tapi, sayangnya. Dia hanya menganggapku sebagai anak dari wanita yang ia cintai. Bukan menganggapku, sebagai wanita yang pantas untuk mendapatkan cintanya.'
BERSAMBUNG