Usai berolah raga, Arini, dan Abi duduk di bawah pohon, dengan masing-masing menghadapi satu mangkok bubur ayam di hadapannya.
"Sudah lama dekat sama dia?" Tanya Abi tiba-tiba.
"Dia, siapa?" Arini balik bertanya karena bingung.
"Pacarmu, siapa namanya, Om lupa."
"Ooh Fathan, Fathan Effendi."
"Ya Fathan, sudah lama dekat?" Tanya Abi lagi.
"Dari mulai masuk kuliah," jawab Arini, tanpa berusaha meralat, saat Abi menyebut Fathan sebagai pacarnya.
"Hmmm ... Om cuma ingin mengingatkan, agar kamu bisa menjaga dirimu, dan kehormatanmu sebagai wanita. k Kamu boleh pacaran dengan lelaki manapun yang kamu suka, Om tidak akan melarang, tapi ingat pesan Om itu ya. Karena, Om berhutang janji untuk menjagamu pada Airin, Mamahmu." Abi bicara pelan, tatapannya jauh ke depan.
Arini tidak dapat menahan diri, untuk tidak menatap Abi saat mendengar getaran disuara Abi, saat Abi menyebut nama mamahnya.
'Apakah om Abi begitu mencintai mamah, sampai ia tidak bisa mencintai wanita lain.'
"Kenapa?" Tanya Abi yang merasa Arini menatapnya tak berkedip. Arini tergeragap, lalu menggeleng.
"Nikmati saja hidupmu sebagaimana gadis seusiamu Arini, kamu tidak perlu merasa terbebani dengan statusmu sebagai istriku. Aku akan tetap memegang janjiku, kamu boleh memilih lelaki mana yang ingin kamu nikahi nanti. Bila saat itu tiba, aku akan melepaskan ikatan kita." Ucap Abi pelan, nyaris berbisik.
Arini ingin menangis, tapi tidak tahu kenapa.
"Om akan menjagamu sampai waktu itu tiba," kata Abi lagi.
Wajah Arini menunduk dalam.
"Mungkin saat ini terlalu dini jika kita simpulkan, Fathan orangnya kan?" Pertanyaan Abi menyelidik. Matanya menatap kepala Arini yang menunduk sambil pura-pura menyuap buburnya. Arini hanya mengangguk.
"Iya," jawabnya singkat.
"Habiskan buburnya sebelum kita pulang." Abi menyuap buburnya pelan.
***
Selesai makan siang, dan sholat dzuhur. Abi duduk di sofa ruang tengah dengan tabloid olahraga di tangannya. Arini duduk di lantai yang tertutup karpet, dekat kaki Abi, dengan bantal dalam pelukannya. Matanya tertuju kelayar televisi yang memutar drama Korea dari dvd yang baru dibelinya. Abi menurunkan tabloid dari tangannya, saat mendengar isakan tertahan dari mulut Arini. Abi turun dari sofa, iq duduk di sebelah Arini yang sibuk menghapus airmata yang jatuh dipipinya.
"Kamu kenapa, ingat Mamahmu?" Abi menatap Arini.
Kepala Arini menggeleng, tangannya menunjuk ke arah layar televisi. Ada adegan laki-laki, dan perempuan berpelukan dalam baju pengantin.
Sang lelaki menghilang pelan-pelan, seperti embun yang menguap kena sinar matahari.
Seperti debu yang hilang terhembus angin.
Tangis Arini pecah, tubuhnya bergoncang kuat. Jujur Abi sebenarnya ingin tertawa tapi ditahannya sekuat tenaga. Diraih kepala Arini, ia dekap dengan erat kedadanya. Arini meletakan bantal yang ia peluk ke lantai.
Tanpa sadar tangan Arini melingkari tubuh Abi, mencengkram kuat punggung Abi. Tubuh mereka menempel rapat. Arini bisa mendengar detak jantung Abi yang tak beraturan, sama persis dengan detak jantungnya sendiri saat ini.
"Itu hanya drama televisi Arini, tidak perlu ditangisi berlebihan begini," gumam Abi.
Arini melepaskan pelukannya.
"Sedih tahu!" .
"Iya, aku tahuu sedih, tapi tidak harus, pake menangis meraung segala."
"Om tidak tahu sih ceritanya," jawab Arini sengit.
"Hhhh, terserah kamu saja, Om ingin ke kamar. Nanti sore, Om ingin berenang di kolam renang komplek, kamu mau ikut tidak?"
"Mau, tapi aku tidak punya pakaian renang."
"Gampang, nanti kita beli di toko perlengkapan renang yang ada di sana."
"Iya, iya, aku ingin ikut, Om."
"Kalau Om tertidur, nanti bangunkan, kalau mau ashar ya, habis ashar kita berenang."
"Siap, Om!" jawab Arini bersemangat.
***
Sesuai janji, usai ashar, Arini, dan Abi pergi ke kolam renang komplek.
"Naik motormu saja ya, di dekat sini saja."
Arini menganggukan kepala, ia mengambil kunci motor di dalam kamarnya.
"Ayo naik!"
Arini naik di boncengan.
"Pegangan dong, ntar dikira orang Om tukang ojek"pinta Abi.
Dengan malu-malu, Arini melingkarkan kedua tangannya di perut Abi.
"Sudah?"tanya Abi.
"Iya,"Arini mengangguk.
Hidungnya membaui wanginya tubuh Abi. Ada yang berdesir di dalam hati, saat tangannya menempel ketat di perut Abi.
Begitu tiba di arena kolam renang, Abi membelikan Arini baju renang.
"Tante Alini, Om Abi!" Terdengar suara anak kecil berteriak, yang berlari ke arah mereka.
"Hallo Tania," sapa Abi, seraya mengangkat Tania ke dalam gendongannya.
"Hallo semua," sapa Abi pada warga komplek yang duduk di tepi kolam.
"Waaahh, lama tidak kelihatan, Bi, ke mana saja?" dr.Angga ayah Tania mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Abi.
"Sibuk bekerja, Mas. Maklum sudah punya istri, jadi harus lebih giat meski harus pergi pagi, pulang pagi." Abi tertawa pelan.
"Kasian Arini dong, ditinggal terus," goda Talia, ibu Tania istri dr.Angga.
"Dia mengerti kok, iyakan, Sayang?" Abi menowel dagu Arini dengan ujung jari telunjuknya.
Wajah Arini memerah.
"Mah, ntal kalo udah becal, Tania mau dong kaya tante Alini," kata Tania polos.
"Eeh ... apanya yang mau kaya tante Arini?" Tanya mamahnya.
"Mo, puna cuami ganteng kaya Om Abi. Om Abi ganteng, Papah kalah ganteng," cerocosnya polos.
"Oh my God! Anakku sudah tahu pria ganteng ... ckckckck.... "
dr.Angga geleng-geleng kepala membuat semua jadi tertawa.
Abi menurunkan Tania dari gendongannya.
"Om, sama tante mau ganti pakaian renang dulu ya, nanti kita berenang sama-sama," kata Abi kepada Tania. Kepala Tania mengangguk.
"Mari semua, kita ke kamar ganti dulu ya," pamit Abi, sembari menggamit lengan Arini yang sedari tadi diam saja.
Mereka berganti pakaian.
Melihat Abi hanya dengan celana renangnya, membuat mata Arini susah mengalihkan pandangannya. Dan, sepertinya hal itu juga terjadi pada mata wanita-wanita lainnya.
Arini berenang ke sana kemari, sambil bercengkrama dengan penghuni komplek yang asik berenang juga. Arini berenang ke tepi setelah merasa lelah, tapi sebelum sampai ke tepi kakinya terasa keram, seperti ada yang membebani kakinya, sehingga ia tertarik ke dasar kolam. Arini berteriak sekuat tenaga.
Diambang hilang kesadarannya dirasakannya sepasang tangan kokoh menariknya.
Arini memuntahkan air dari mulut. Ditatap orang-orang yang mengelilinginya. Wajah-wajah cemas yang kini berganti lega.
"Syukurlah kamu tidak apa-apa Rin, untung mas Abi cepat menarikmu, cepat juga memberikan napas buatan ke mulutmu," kata Talia lega.
"Apa, nafas buatan?" Arini meraba bibirnya.
Talia tertawa.
"Ya ampun Rin, ekspresimu persis orang yang belum pernah dicium saja. Jangan-jangan karena terlalu sibuk bekerja, Mas Abi jadi lupa untuk mencium istri," goda Talia, membuat semuanya tertawa, dan sukses membuat pipi Arini merona.
***
Pulang dari kolam renang Arini mandi. Sambil menunggu saat maghrib, Arini berdiri di depan cermin, meraba bibirnya pelan.
'Kenapa first kissku harus dengan cara seperti itu?. Jauh sekali dari angan-angan, dan bayanganku.'
Arini menjilat bibirnya, seakan ingin merasakan bekas bibir Abi yang menempel dibibirnya.
Arini duduk di tepi ranjang.
'Apa memberi nafas buatan bisa disebut first kiss ya?.
Aaahhh ... entahlah, tapi ada yang terasa berbeda dibibirku, hhhh ... mungkin cuma perasaanku saja barangkali,' gumam hati Arini.
Tok ... tok ... tok....
"Arini," Suara Abi memanggil.
Arini berdiri di depan cermin mematut diri sebelum membuka pintu, entah kenapa ia melakukannya, Arini juga tidak tahu alasannya.
"Ya, Om," Arini membuka pintu.
"Mau sholat maghrib sama-sama ?" Tawar Abi yang sudah siap dengan peci di kepala, baju koko, dan sarung membungkus tubuhnya.
'Masya Allah, begitu sempurna ciptaanmu, ya Allah.'
Arini tak berkedip melihat Abi, meski ini bukan yang pertama kalinya ia melihat Abi berpakaian seperti ini, tapi entah mengapa ada yang terasa berbeda dalam pandangannya kali ini.
"Arini!" Abi menggoyangkan tangannya tepat di depan mata Arini yang tak berkedip memandangnya. Abi bukannya tidak tahu, kalau Arini tengah mengaguminya. Tapi Abi sudah terbiasa menerima pandangan seperti itu dari lawan jenisnya. Andai dia mau pasti sudah puluhan gadis jatuh ke dalam pelukannya. Tapi Abi tidak punya waktu untuk main-main dengan perempuan, pekerjaannya terlalu menyita perhatian juga waktunya.
"Oh ... eh ... iya, apa..tadi, Om?" Tanya Arini tergeragap.
"Kamu kenapa?"
"Enggak apa-apa Om, Om tadi bilang apa?"
"Mau sholat maghrib sama-sama?" Tanya Abi lagi.
Kepala Arini mengangguk.
***
Selesai sholat maghrib, mereka makan malam bersama, lalu sholat isya sama-sama juga.
"Aku ke kamarku ya, selamat tidur Arini," kata Abi.
Arini menganggukan kepalanya.
"Selamat tidur juga, Om" jawabnya. Abi masuk ke dalam kamarnya, di raih ponselnya, ia mencari sebuah nama.
"Hallo Alvin, bisa tolong selidiki seorang mahasiswa fakultas ekonomi di Universitas.... " Abi menyebut nama tempat Arini kuliah.
".... "
"Ya, namanya Fathan Effendi, selidiki secara detail ya Vin, trima kasih ya." Abi meletakan ponselnya.
Alvin, adalah detektif swasta, dia adalah sahabat Abi, saat kuliah di luar negeri dulu.
'Aku harus tahu, lelaki macam apa yang mendekati Arini, karena ini menyangkut amanah Airin, agar aku menjaga Arini dengan baik.'
BERSAMBUNG
50 komen