Pulang kuliah, Ina mengajak tiga sahabatnya makan siang bersama, dia yang mentraktir mereka makan. Motor Lisa, Arini, dan Riri, ditinggal di parkiran kampus, mereka naik mobil Ina untuk menuju rumah makan. Diperjalanan, tba-tiba, mobil Ina mogok di tempat yang agak sepi. Keempat gadis itu ke luar dari dalam mobil. Ina membuka kap mobilnya.
"Memangnya kamu mengerti soal mesin, Na?" Arini mendekati Ina.
"Enggak" Ina menggeleng.
"Bensinnya barangkali, Na" Lisa juga mendekat.
"Pagi tadi, sudah aku isi full," jawab Ina.
"Telpon bengkel langganan mu, Na," usul Arini.
"Aku nggak tahu Rin. Yang biasa membawa ke bengkel, Abangku." Ina menggaruk kepala karena merasa bingung dengan mobilnya yang tiba-tiba mogok.
"Jadi bagaimana dong?" Tanya Lisa. Belum lagi pertanyaan Lisa terjawab, ketika sebuah mobil berhenti di depan mereka.
Seorang lelaki ke luar dari mobil, dan berjalan mendekati mereka.
Hampir saja terlompat sebuah nama dari bibir Arini saat melihat wajah lelaki itu.
"Ada yang bisa aku bantu?" Mata lelaki itu melirik ke arah Arini sekilas. Ketiga sahabat Arini seperti tak mendengar pertanyaan lelaki itu, mereka seperti tersihir melihat ketampanan lelaki di hadapan mereka. Pria itu tinggi, gagah, dengan wajah tampan bersih. Matanya menyorot lembut, selembut suaranya yang mengajukan pertanyaan.
"Hallo ... hayy ... ada yang bisa aku bantu?" Lelaki itu menggoyangkan telapak tangannya di hadapan ketiga sahabat Arini.
"Ooh, iya ... Om..eeh ... Mas, mobilnya mogok!" Ina yang akhirnya menjawab.
"Coba saya liat dulu ya," lelaki itu menggulung lengan bajunya sampai ke siku, lalu melonggarkan dasi di lehernya, ia menyelipkan ujung dasi ke balik kancing kemejanya. Entah apa saja yang diutak atiknya. Para gadis hanya menatap saja, termasuk Arini juga.
"Coba distarter," katanya setelah beberapa saat.
Ina menstarter mobilnya, dan bisa menyala.
Ina ke luar dari dalam mobil dengan membawa sekotak tissue, sementara lelaki itu menutup kap mobil.
"Bawa ke bengkel secepatnya, kepala akinya longgar, businya juga sudah waktunya diganti," katanya sambil menarik tissue keluar dari kotaknya.
"Ooh terima kasih, Om, eeh, Mas, kenalkan, saya Ina." Ina mengulurkan tangan, tapi lelaki itu mengangkat tangannya yang masih kotor, meski sudah dilap dengan tissue.
"Tangan saya kotor, saya Abi terserah mau memanggil saya Om, atau Mas, boleh saja," jawabnya, sambil menyunggingkan senyum, yang membuat ketiga sahabat Arini terpesona. Sedang Arini, hanya menundukan kepala.
"Ooh iya, ini temen-temen saya, Lisa, Riri, dan Arini." Ina menunjuk satu persatu sahabatnya.
"Ooh ya, hallo.... " Abi mengangkat satu telapak tangannya. Senyum tersungging di bibirnya.
"Om! Om! Cepetan dong!" Panggil seseorang dari dalam mobil Abi.
Orang yang memanggil melongokan kepalanya di jendela mobip, seorang gadis yang masih muda, seumuran mereka.
"Saya permisi dulu ya, selamat siang." Abi mengangguk pada semuanya.
"Makasih Om,"sahut ketiga sahabat Arini.
Jika sahabatnya fokus pada wajah Abi maka Arini fokus pada jari manis Abi, yang masih memakai cincin kawin mereka.
"Duuuhhh gantengnya ya Om Abi, jadi istri mudanya saja aku mau," kata Riri.
"Iih apaan siih kamu, Ri." Lisa mencubit lengan Riri. Riri melotot pada Lisa, sambil mengusap lengannya. Mereka tertawa bersama.
Sementara itu, Arini masih penasaran dengan wanita yang memanggil Abi tadi. Apa istrinya juga seperti dirinya. Apa selingkuhannya.
'Hmmm, apa Om Abi bisa disebut berselingkuh dariku, sedang kami saja menikah tanpa cinta. Tapi tetap aja sudah menikah.
Aku saja tidak punya niat untuk mencari pacar, meski dia mengijinkan. Cincin kawin di jari manis ini seperti selalu mengingatkan kalau aku sudah menikah. Hmmmm, aku jadi penasaran seperti apa sosok Om Abi sesungguhnya. Aku harus cari tau lewat bibik sepertinya.' batin Arini.
***
Malam harinya, Arini benar-benar mengorek tentang Abi dari bibik.
"Bik, ehmm ... sebelum menikah dengan saya, Om Abi sudah pernah nikah ya?"
"Sudah Non, tapi cuma dua tahun saja, lalu bercerai. Sudah tiga tahun ini, Mas Abi menduda."
"Ooh, kok bisa cerai bik?"
"Mereka menikah, karena dijodohkan, mungkin tidak cocok, makanya bercerai."
"Di rumah ini tidak ada foto-foto mantan istrinya sama sekali ya Bik?" Tanya Arini yang penasaran dengan mantan istri Abi.
"Mereka tidak tinggal di sini Non, tapi masih di rumah orang tua Mas Abi waktu itu. Rumah ini baru dua tahun dibeli Mas Abi."
"Ooh ... Om Abi tidak pernah datang ke sini ya Bik, soalnya sudah tiga bulan sejak kami menikah, dia tidak pernah kelihatan ada di sini?"
"Mas Abi tinggal di apartemen dekat kantornya, Mas Abi sering kok kemari, Nonnya saja yang tidak tahu."
"Eeh,masa sih?"
"Iya."
"Kok tidak pernah bertemu aku Bik?"
"Yah, setiap Mas Abi datang, Nonnya sudah tidur. Waktu Non bangun, Mas Abinya sudah kembali ke apartemen."
"Sengaja ya Bik, biar tidak bertemu aku?"
"Hahaha ... tidak Non, "jawab bibik sembari tertawa.
***
Braaakkk
Pintu kantor Abi terbuka dengan bunyi seperti didobrak.
"Anggrek! Pelan sedikit bisakan?" Seru Abi pada keponakannya yang membuka pintu dengan tergesa.
"Aku ingin menagih janji Om!" seru Anggrek, dengan nafas tersengal seperti habis lari.
"Janji apa?" Abi menatap Anggrek sambil mengernyitkan keningnya.
"Om janji, hari ini ingin menemani aku kevmall. Belanja, nonton, makan ... ayo Om, kita berangkat sekarang," rajuk Anggrek manja.
"Om mandi sebentar ya," Abi langsung berdiri dari duduknya, ia menuju kamar mandi di dalam ruangan kantor itu, sambil membawa ransel berisi pakaiannya.
"Cepetan ya, Om! Tidak pakai lama yaa!" Teriak Anggrek.
Anggrek adalah anak Anyelir, kakak tertua dari Abi. Keponakannya ini memang selalu manja dari sejak masih kecil, sampai sudah kuliah sekarang.
BERSAMBUNG