Arini setengah berlari menuruni tangga. Takut Abi menunggunya terlalu lama di meja makan untuk sarapan. Tapi tidak ada siapa-siapa di ruang makan.
Di atas mejapun hanya ada satu piring nasi goreng, dan satu gelas air putih.
"Om Abi mana, Bik?" Tanya Arini.
"Mas Abi tadi malam kembali ke apartemennya, Non," jawab Bibik.
"Ke apartemen, tadi malam? Jam berapa?" Arini menatap bibik dengan rasa kecewa di dalam hatinya.
"Jam dua belasan, Non," jawab bibik.
"Oh.... " Arini ber 'oooh' panjang untuk menutupi rasa kecewanya.
Kecewa karena apa, Arini juga tidak tahu, yang jelas ia jadi tidak selera sarapan.
Arini akhirnya pergi kuliah tanpa menghabiskan sarapannya. Ia memarkir motor maticnya di parkiran kampus.
Tiga sahabatnya berjalan mendekatinya.
"Rin!" Panggil Ina, sedikit ragu, takut Arini tidak perduli lagi pada mereka, karena Arini tidak membalas pesan yang mereka kirimkan.
"Hayy, pagi semua," sapa Arini ceria.
"Kamu tidak marah lagi, Rin?" Ina menatap wajah Arini yang sedang mengukir senyum di bibirnya. Arini menggelengkan kepala, sebagai jawaban atas pertanyaan Ina.
"Kalian sahabat terbaikku, aku percaya dengan kalian," jawab Arini.
"Terima kasih ya Allah, kami sudah takut kamu marah," kata Lisa.
Mereka berempat berpelukan.
"Jangan sampai persahabatan kita putus ya, kita sudah dari satu SMP bersahabat, dan semoga kita konpak selalu, aamiin.... " doa Ina, di aamini tiga sahabatnya.
"Rini!" Suara Fathan terdengar memanggil Arini dari belakang mereka.
"Kak Fathan!" Seru keempatnya.
"Pagi semuanya .... " Fathan tersenyum menyapa pada mereka semua.
"Pagi, Kak," sahut mereka serempak.
"Bisa pinjam Arini sebentar tidak?" Fathan menatap wajah Arini.
"Ooh, iya boleh," jawab Ina.
"Iya, ayoklah kami masuk duluan ya Rin," pamit Lisa sambil mengedipkan sebelah matanya.
Ketiga sahabat Arini masuk terlebih dulu ke dalam kampus mereka.
"Mau bicara apa kak?" Arini mendongakan wajah untuk melihat Fathan.
"Kira cari tempat untuk bicara ya Rin," pinta Fathan.
Kepala Arini mengangguk, ia mengikuti langkah Fathan mencari bangku yang agak terlindung dari pandangan orang.
Arini, dan Fathan duduk bersisian.
"Kakak ingin bicara apa?" Arini menoleh untuk menatap wajah Fathan tepat saat Fathan juga menoleh ke arahnya
"Soal pertanyaanku kemaren Rin," jawab Fathan.
Arini menarik nafas.
'Mungkin aku memang harus membuka hatiku. Seperti yang Om Abi katakan, aku bebas menentukan pilihanku. Tapi, bagaimana jika pilihanku adalah dia, dia Om Abi sendirilah yang dipilih oleh hatiku. Tapi itu tak boleh terjadi. Tak boleh ada cinta dua generasi.'
"Rin?" Suara Fathan menyadarkan Arini.
"Maaf, Kak, di kampus ini banyak gadis yang bisa Kakak pilih, kenapa harus aku? Jujur saja, aku ragu apakah Kakak benar mencintaiku, atau hanya merasa tertantang saja untuk mendapatkan cintaku." Arini menatap Fathan tajam.
Fathan balas menatap Arini, tepat di manik mata Arini.
"Aku tulus mencintaimu Rin ...." jawab Fathan lirih.
"Aku tidak tahu, harus menjawab apa, Kak aku rasa biar waktu yang akan bicara."
"Rin ...." suara Fathan seperti erangan putus asa.
"Tolong jangan berharap, aku tidak berani memberi Kakak harapan," ucap Arini tegas.
"Rin ...."
"Kita berteman saja ya, Kak," pinta Arini. Fathan menghela nafas berat, rasa kecewa menyesakan dadanya.
'Kenapa cinta harus tumbuh untuknya? Utuk orang yang tak bisa menerima cintaku! Sedangkan masih banyak wanita lain yang mengharap cintaku' batin Fathan resah.
"Aku masuk kelas dulu ya, Kak," Arini berdiri dari duduknya.
Ia melangkah pergi meinggalkan Fathan yang masih terdiam sendiri.
'Maaf kak, aku tidak bisa mendustai hatiku. Bukan kamu yang kuharapkan mencintaiku.' batin Arini.
***
Malam minggu ini ada undangan ulang tahun teman kampus Arini di sebuah cafe. Arini, dan sahabatnya berjanji untuk datang ke pesta itu. Arini pergi dengan diantar Pak Marzuki.
Ia bertemu dengan sahabat-sahabatnya di tempat pesta.
Fathan terlihat datang sendiri.
Keempat sahabat itu terlibat obrolan seru dengan Fathan, dan beberapa teman kampus mereka.
Sementara itu Abi baru menerima telpon dari Alvin.
Hasil penyelidikan mengungkap fakta, bahwa Fathan Effendi adalah putra dari Faizal Effendi, seorang lelaki berdarah Turki, dan Inggris, dengan seorang wanita bernama Arnita wicaksana.
Abi menutup ponselnya sesaat kemudian ia nyalakan lagi, ia mencari nomer kontak rumahnya sendiri.
"Bik, Arini ada?" Tanya Abi pada bibik.
"Lah, Non Arini kan kemarin sudah ijin sama Mas Abi, dia malam ini ke pesta ulang tahu temen kampusnya," jawab bibik.
"Pergi sama siapa?"
"Diantar Pak Mar."
"Ya sudah, saya telpon Pak Mar saja," kata Abi.
Abi menelpon Pak Marzuki, ia menanyakan di mana pestanya diadakan. Pak Mar menyebut sebuah tempat. Abi segera bergegas menuju tempat yang disebutkan Pak Mar.
'Arini tidak boleh dekat dengan Fathan, tidak boleh, itu berbahaya bagi keselamatannya.' batin Abi.
Tiba di tempat ulang tahun, Abi mempersilahkan Pak Mar pulang. Tiba-tiba, terdengar keributan dari dalam cafe.
Abi segera berlari masuk ke dalam cafe. Ternyata terjadi perkelahian di dalam cafe. Abi melihat Arini terduduk di lantai.
Sementara beberapa sekuriti sudah mengamankan orang yang mengacau.
Abi, dan Fathan berbarengan meraih bahu Arini, untuk membantu Arini berdiri.
"Lepaskan tangan anda dari tubuh pacar saya, Om, yang terhormat!" Seru Fathan.
Fathan masih ingat, kalau Abi adalah lelaki yang menyuruh Arini pulang saat di depan bioskop.
"Anda yang harus melepaskan tangan anda, Tuan Fathan Effendi!" Sahut Abi.
"Memangnya anda siapa Arini? Omnya, Ayahnya, atau Kakaknya?" Tanya Fathan marah.
Abi menarik nafas dalam.
"Saya ... saya adalah, suami Arini," jawab Abi tegas.
Semua orang yang menyaksikan perdebatan mereka memperebutkan Arini menjadi terkejut.
Arini mendongak. Matanya yang berlinang air mata menatap Abi.
"Kita pulang sekarang, Om," mohon Arini, sambil berusaha melepaskan tangan Fathan di bahu, dan lengannya.
Abi mengangguk, diraihnya bahu Arini ke dalam dekapannya, sembari berjalan ke luar dari cafe, dengan diiringi pandangan semua orang yang mungkin sekarang pikiran, dan perasaan mereka dilanda rasa penasaran, atas hubungan Arini, dan Abi.
Terutama tiga sahabat Arini, dan juga Fathan tentunya.
BERSAMBUNG