Arini masuk ke dalam mobil, ia duduk diam menunggu Abi yang memutari mobil, Abi masuk ke dalam mobil. Abi menunggu Arini memasang safety beltnya, tapi Arini diam saja. Abi terpaksa mencondongkan badan, untuk memasangkan safety belt Arini.
Arini terjengkit kaget sesaat, kemudian diam dengan pandangan ke luar jendela.
"Apa yang sebenarnya terjadi di dalam tadi, Arini?" Abi bertanya, sesaat setelah mobil ia bawa ke luar dari parkiran cafe. Arini menatap Abi sesaat.
"Ada yang mabuk, lalu berkelahi, aku tidak tahu apa yang mereka ributkan," jawab Arini pelan.
"Kenapa kamu sampai jatuh di lantai?"
"Karena mereka berkelahi tepat di dekatku, jadi aku berusaha melerai, tapi aku malah terdorong jatuh, karena mereka saling pukul."
Abi menarik nafas dalam.
"Hhhh ... sebaiknya, jangan pernah lagi datang ke acara seperti itu, Arini."
Arini menganggukan kepala.
"Ya, Om," sahut Arini.
"Satu lagi, jauhi Fathan!" Suara Abi terdengar tajam.
Arini menatap Abi.
"Dia yang pasti akan menjauhiku, Om, bukan cuma dia, mungkin semua laki-laki di kampus tidak ada lagi yang berani mendekatiku. Karena Om dengan jelas sudah mengatakan kalau Om itu, suamiku.... " kata Arini pelan. Abi terdiam mendengar ucapan Arini.
"Maafkan Om, Arini, kamu masih boleh memilih lelaki mana saja untuk kamu cintai, tapi jangan Fathan."
Mendengar kata-kata Abi, justru membuat Arini jadi penasaran.
"Bagaimana jika Fathan, lelaki pilihanku?" Tanya Arini menantang. Tanpa diduga, Abi menghentikan mobilnya di tepi jalan.
"Tolong jangan bantah aku, Arini, ini demi kebaikanmu." Abi menatap Arini tajam.
"Om sendiri yang bilang aku bo ...."
"Tapi jangan Fathan, Arini, jauhi dia!" Potong Abi cepat, sebelum Arini menyelesaikan kalimatnya.
"Bagaimana kalau aku sudah jatuh cinta padanya, Om?" Tanya Arini dengan suara nyaring.
"Buang cinta itu, cabut sampai keakarnya, Arini!" Abi nyaris berteriak.
"Om, tanya diri Om sendiri, apa begitu mudahnya membuang rasa cinta?"
"Apa maksudmu?" kening Abi berkerut, ditatap Arini dengan sorot tanya di matanya.
"Om saja, sampai sekarang masih mencintai Mamahku, iyakan! Itu artinya, membuang rasa cinta tidak semudah membalikan telapak tangan, Om!" seru Arini.
Abi mencengkram setir dengan kuat. Tanpa bicara dinyalakan mesin mobil, lalu ia jalankan lagi mobilnya. Arini melirik ke arah wajah Abi. Dingin tanpa ekspresi.
Tapi, dari otot lengannya yang bermunculan karena kuatnya ia mencengkram setir mobil, jelas kelihatan kalau dia tengah marah sekarang.
'Apa dia cemburu, itu sangat tidak mungkin, karena dengan sangat jelas dia mengatakan, aku boleh mencintai lelaki lain asal jangan Fathan.'
"Kita ke mana?" Tanya Arini saat menyadari, ini bukan jalan ke rumah.
"Om, kita ke mana?" Tanya Arini lagi, karena Abi tidak menjawab pertanyaannya. Abi tetap diam, ia tidak menjawab pertanyaan Arini. Arini diam, pandangannya dilemparkan ke luar jendela.
Sekuat tenaga, ia menahan tangisnya.
'Kalau tidak ada lagi lelaki yang mendekatiku karena pengakuan om Abi tadi, apa dia mau bertanggung jawab? Bertanggung jawab untuk menjadikan aku sebagai istri yang sesungguhnya. Hhhh ... itu tidak mungkin, cintanya pada Mamah begitu besar.
ya Tuhan ....
Kenapa aku harus bertemu dia?' batin Arini.
Mobil berhenti.
"Turunlah!" Perintah Abi. Arini ke luar dari dalam mobil, lalu mengikuti langkah Abi.
"Masuklah," Abi membuka lebar sebuah pintu. Arini masuk ke dalam. Tatapan Arini menyapu ruangan di hadapannya. Sebuah ruang tamu, dengan satu set sofa, dan meja di tengah ruangan.
Sama seperti di rumah, semua benda yang ada benar-benar sesuai fungsinya, tidak ada hiasan, dan barang berlebihan.
Abi membuka satu pintu.
Ada ranjang besar di tengah ruangan. Ada lemari besar empat pintu yang bersandar rapat ke dinding, juga ada cermin besar menggantung di dinding dengan meja kecil di bawahnya.
Di kiri, dan kanan cermin ada rak kecil menggantung juga yang berisi aneka farfum, dan entah apa lagi.
Abi mengambil handuk, dan kaos oblong warna biri tua dari dalam lemari.
"Sebaiknya kamu mandi, tubuhmu, rambutmu, semuanya bau asap rokok." Abi menyerahkam handuk, dan kaos di tangannya kepada Arini.
Arini mengambil handuk, dan kaos sembari mengangguk.
"Om tunggu di meja makan, kamu pasti belum makan malam kan?"
Arini mengangguk lagi.
"Ya, Om," jawabnya singkat.
Entah ke mana menguap rasa kesal yang tadi sempat dirasakannya.
Arini masuk ke dalam kamar mandi, Abi ke luar kamar menuju dapur.
Selesai mandi, Arini menyisir rambutnya di depan cermin.
Arini terpaksa memakai lagi dalaman yang tadi dipakainya, karena tidak ada gantinya.
Kaos yang diberikan Abi panjang sampai ke lututnya, hanya saja dibagian leher agak terbuka, memperlihatkan dengan jelas pundaknya yang putih, meski berusaha ditutupi dengan rambutnya.
Arini keluar kamar, aroma ayam goreng menggoda penciumannya.
"Duduklah," kata Abi saat melihatnya. Abi menyendokan nasi ke piring Arini.
"Cukup?" Tanyanya.
"Heuehm," Arini mengangguk. Ia menerima uluran piring berisi nasi dari tangan Abi. Mata Abi sekilas menatap Arini, tapi yang terlihat justru wajah Airin saat berada diambang ajalnya.
'Arini benar, tidak mudah membuang rasa cinta. Tapi, Arini harus dipisahkan dari Fathan apapun caranya. Dekat dengan Fathan, artinya masuk ke dalam lingkaran keluarganya, itu sangat berbahaya bagi Arini.
Arini harus dijauhkan dari Fathan, apapun caranya,' batin Abi.
"Om pintar masak," puji Arini sambil mengunyah makanannya.
Ayam goreng, dan tumis buncis campur wortel yang jadi lauk makan mereka malam ini. Abi hanya tersenyum mendengar pujian Arini.
"Aku ingin mencari suami yang pinter masak seperti, Om," ucap Arini disela kunyahannya.
Lagi-lagi Abi hanya tersenyum.
Abi sudah selesai makan, saat ponselnya berbunyi.
Abi meraih ponselnya.
"Ya, Sayang.... "
"..."
"Iya, iya, lusa ya ...." suara Abi terdengar membujuk orang yang menelponnya.
"..."
"Iya, Sayang, Om janji."
"..."
"Bye, i love you too, Honey."
Abi meletakan ponselnya. Tepat saat Arini meletakan sendoknya, lalu meneguk minumannya.
'Bagaimana aku bisa berharap dia jadi suamiku sesungguhnya.
Kalau dengan enteng, dia berbicara mesra dengan perempuan lain di hadapanku, meski cuma lewat telpon,' batin Arini.
Arini berdiri, tanpa bersuara ia membereskan bekas makan mereka. Abi menatap wajah Arini yang manyun.
"Kenapa wajahmu ditekuk begitu, Arini?"
"Tidak apa-apa," jawab Arini, sambil mencuci perabot bekas makan mereka.
"Kamu masih marah, karena Om melarangmu dekat dengan Fathan?"
"Om tidak berhak melarang aku dekat dengan Fa.... "
"Jangan bantah Om, Arini! Tolonglah, ini demi kebaikanmu, demi keselamatanmu, biarkan Om melaksanakan amanah Mamahmu, untuk menjagamu, sampai waktu di mana kamu memilih pendamping hidupmu, yang tentunya bukan Fathan orangnya," kata Abi pelan.
'Jadi ... ya Tuhan, kenapa aku berpikir dia melakukannya karena cemburu. Semua demi amanah Mamah, pesan Mamah, demi Mamah, untuk Mamah.
Astaga ... apa aku cemburu pada almarhumah Mamahku sendiri.'
"Arini!" Panggil Abi, karena Arini diam saja.
Arini menyusut airmatanya.
"Aku capek, ingin tidur, Om" sahut Arini tanpa menatap ke arah Abi.
"Tidurlah."
Abi melangkah menuju sofa, sementara Arini masuk ke dalam kamar. Arini menutup pintu kamar tanpa menguncinya.
Ia berpikir, mungkin nanti Abi akan mengambil bantal, atau selimut.
Abi merebahkan tubuh besarnya di sofa, dengan bantalan sofa jadi bantal kepalanya. Tidak terasa nyaman memang, tapi mau bagaimana lagi. Abi tidak ingin Arini merasa tidak nyaman jika dia ikut tidur di atas ranjang yang sebenarnya cukup besar untuk mereka tiduri berdua tanpa bersentuhan.
BERSAMBUNG