Tok tok tok
"Ni, aku ingin bicara padamu." Suara Mas Kevin terdengar pelan. Ia sekarang sudah tahu semuanya. Aku mengusap air mata, pedih sekali rasanya hatiku.
"Ni, aku ingin bicara." Suara Mas Kevin kembali terdengar. Aku bergeming di belakang pintu, terus menangis menyesali nasibku yang jelek.
Andai kemarin tak menginap di rumah Mas Zain, tentu tak seperti ini jadinya. Padahal Mas Kevin sudah berencana melamarku karena tak ingin pacaran lama-lama takut hubungan kami terhenti di tengah jalan. Tapi gara-gara petaka yang menimpaku, harapan itu tinggal harapan saja. Lebur sudah semua yang kuimpikan karena petaka sialan itu.
"Ni. Aku ingin bicara."
"Lebih baik, kamu pulang, Mas. Biarkan Neni menenangkan diri dulu." Suara Cinta terdengar jelas, kemudian disusul suara Ibu.
"Nduk."
Aku memilih diam. Jangankan menemui Mas Kevin, menatap wajah sedih ibu aku bahkan tak berani. Aku terlalu pengecut untuk menghadapi musibah yang menimpa dengan tiba-tiba ini. Aku benci pada diri sendiri, merasa jijik juga tak berarti. Seperti sampah yang tinggal menunggu waktu untuk dibuang.
"Dua hari lagi aku ke sini, Ni."
Hening.
Aku menahan isak tangis saat mendengar suara ibu yang meminta Mas Kevin agar memaklumi sikapku yang sedang terguncang. Suara ibu dan Mas Kevin semakin jauh. Kurebahkan badan di pembaringan, terisak-isak membayangkan yang telah terjadi. Begitu jijik juga benci setengah mati saat teringat begundal itu menyumpal mulutku. Dalam keremangan karena lampu dimatikan, aku dapat melihat jelas ia menatap penuh kemenangan. Mengatakan ia akan bertanggung jawab. Menjijikkan! Jangankan menikah dengannya, melihatnya saja aku luar biasa jijik. Muak. Kesal. Begitu benci sampai rasanya ingin membunuhnya.
"Neni, buka pintunya." Suara Cinta terdengar lirih.
"Aku ingin sendiri, Cin."
"Baiklah. Hubungi aku kapan pun kamu membutuhkanku, Nen."
Aku mengangguk, walau tahu jelas Cinta tak melihat karena terhalang pintu. Tak lama, terdengar suaranya pamit pada Ibu.
Tok. Tok. Tok. Pintu diketuk pelan. "Nduk, buka."
Sungguh aku tak ingin melihat wajah sedih ibu, namun aku berusaha tegar. Karena akan sulit untuk menghindar dari ibu. Ibu langsung memelukku begitu pintu terbuka, menciumi kepalaku membuatku tambah terisak dan tersengal, semakin dalam larut dalam kepedihan.
"Sabar, Nduk. Sabar." Ia menunduk mengusap air mataku.
"Aku takut, Bu. Aku takut Mas Kevin meninggalkanku."
Ibu menggeleng. "Walau hanya beberapa kali bertemu, namun ibu yakin bahwa Kevin lelaki yang baik. Jika dia benar-benar mencintaimu, ia pasti akan mencintaimu apa apanya, Nduk."
Aku terisak. Tidak semua orang akan bertahan demi cinta.
"Tabahkan hatimu, Nduk. Allah tidak akan menguji diluar kemampuan hambanya." Ibu memandang wajahku. "Apa kamu minum pil KB, Nduk?"
Kuanggukkan kepala. Ibu mendekapku. Tangannya mengusap lembut kepalaku.
"Jangan menangis." Disekanya air mataku. "Kamu jelek kalau menangis, Nduk."
Aku mengusap air mata, mencoba tersenyum walau hati perih.
"Tadi katanya ibu mau pengajian?"
"Iya. Tapi karena kamu sangat sedih, ibu tak jadi berangkat."
Kupaksa tersenyum pada Ibu. Kasihan ibu jika harus kepikiran, nanti malah berakibat pada penyakitnya.
"Aku udah mencoba ikhlas, Bu. Kalau ibu mau pergi, pergi saja. Ibu kan senang pengajian kumpul sama teman-teman ibu."
Ibu memandangku cukup lama, lalu menggelengkan kepala. "Tidak, Nduk. Ibu temani kamu saja di sini."
Aku menggeleng kuat. "Sikap ibu yang mengasihaniku justru membuatku tambah sedih. Ibu pergi saja."
Diperhatikannya lagi wajahku, akhirnya ibu mengangguk. Diusapnya kepalaku lantas berdiri. Ia menuju pintu dan menutupnya dari luar. Sepeninggalnya, aku kembali tersengal.
Siapa yang tak sedih jika kehilangan sesuatu yang selama ini dijaga dengan baik? Andai aku tak menginap waktu itu, tentu tak seperti ini jadinya.
***
"Bagaimana rasanya tidur denganku? Apa kamu senang? Bagaimana kalau kita mengulanginya lagi?!" katanya sambil mengedipkan sebelah mata. Lalu sambil menyeringai, dia melangkah memutus jarak denganku. Aku mundur ke belakang dengan cepat. Jantungku berdetak cepat sekali.
"Jangan! Jangan mendekat!" Teriakku keras. Namun dia tetap saja kembali mendekat, melangkah semakin dekat lagi. Aku mundur ke belakang dengan tubuh gemetaran.
"To-loong!" Teriakku saat tiba-tiba Tara mengangkatku, menjatuhkanku ke ranjang lalu dia mendekat ke arahku.
"Emmp! Emp! To ...." Mulutku tiba-tiba dibekap kuat. Embusan napas hangat menerpa wajahku. Aku menggelengkan kepala ke kanan dan ke kiri menghindari ciumannya. Dadaku berdebar keras, aku takut sekali. Tanganku bergerak memukul-mukul tubuh Tara dengan kuat, mendorongnya sekuat tenaga lalu aku beranjak bangkit dari ranjang dan berlari ke pintu sambil berteriak,
"To-looong!"
Aku terperanjat bangun dengan cepat, jantungku berdetak kencang sekali, wajahku berkeringat dingin. Aku menoleh ke kanan dan kiri, ternyata ini kamarku. Ternyata aku hanya mimpi, tapi terasa seperti nyata.
Hu-uuh! Hu-uuuh! Hu-uuuh!
Aku mencoba mengontrol napas yang ngos-ngosan. Hanya mimpi, tapi seperti nyata. Sungguh sangat mengerikan.
Ting.
Terdengar notif pesan masuk. Aku menatap jam dinding, pukul setengah 12 malam. Mungkin saja yang mengirimiku pesan adalah Cinta. Jika bukan Cinta pasti Mas Kevin. Kekasihku itu tadi terus mengirimiku pesan, namun hanya k****a, tak kubalas sama sekali.
Aku meraih HP di sebelahku lalu melihat layarnya, ternyata dari nomer asing. Sentuh. Pesan pun terbuka.
Jantungku berdetak kencang sekali saat membacanya.
Neni, ijinkan aku bertanggung jawab. Aku berjanji akan jadi suami yang baik. Tara
HP refleks kulempar saat tiba-tiba saja berdering. Sederet nomer asing tertera di layar. Nomer Tara.
Aku menatap HP yang terus berdering di sebelahku duduk. Aku menggeleng kuat. Tidak! Aku tidak mau menikah dengan Tara. Aku jijik padanya. Aku sangat jijik. Jijik. Jijik pada Tara, jijik pada diriku sendiri. Aku manusia hina sekarang. Aku jadi manusia hina gara-gara Tara. Dia sudah menghancurkan hidupku. Masa depanku suram karena Tara. Mana mungkin aku menikah dengan lelaki yang telah memporak-porandakan hidupku? Pasti dia sedang hilang akal. Kalau tidak hilang akal, tidak mungkin dia ingin menikahiku. Jika dia waras, pasti dia akan berpikir bahwa saat ini aku sangat sangat membencinya. Benci sebenci-bencinya.
Aku bersidekap, terisak-isak keras penuh kengerian saat bayangan wajah Tara yang menyeringai puas setelah merampas kehormatanku membayang begitu jelas di benakku. Aku menggeleng-gekeng. Jijik. Aku sangat jijik. Aku terus menggeleng-geleng menolak bayangan wajah Tara hadir di benakku tapi tetap saja membayang begitu nyata.
Saat dia melakukannya dengan tatapan bahagia yang menurutku sangat memuakkan, dia berkata, "Aku senang karena ternyata aku yang pertama. Mari mengulanginya lagi setelah kamu jadi istriku."
Aku menggeleng-geleng, bergidik jijik membayangkannya. Tidak! Aku tidak akan pernah dan tidak akan Sudi jadi istri si preman pasar itu. Amit-amit jabang bayi aku tidak sudi.
Lagi-lagi bayangan wajah Tara menyeruak ke benakku, aku terisak keras, tanganku semakin erat bersidekap, tubuhku berkeringat dingin juga gemetaran, sungguh aku jijik pada diriku sendiri. Saat melihat pisau di meja yang tadi ibu gunakan untuk mengupas apel, aku segera bangkit lalu menyambar benda itu. Dengan air mata jatuh menetes di pipi, kuangkat benda di tanganku hingga sebatas d**a. Jantungku berdetak sangat cepat, dadaku bergemuruh hebat. Aku takut melakukan perbuatan seperti ini Allah akan murka, tapi aku jijik pada diri sendiri.
Barangsiapa yang bunuh diri dengan besi, maka besi yang tergenggam di tangannya akan selalu ia arahkan untuk menikam perutnya dalam neraka j*****m secara terus-menerus dan ia kekal di dalamnya. (HR Muslim).
Aku terisak-isak membayangkan kehidupan setelah mati, tapi aku tak sanggup menghadapi semua ini. Aku jijik pada diri sendiri, aku seperti sampah. Ibarat bunga, aku sudah layu. Jadi, ini yang terbaik. Ini yang terbaik. Lebih baik aku mati daripada aku jadi hina begini.
Dengan air mata bercucuran dan tangan gemetaran, kuarahkan pisau ke d**a. Tiba-tiba saja pintu terbuka.
"Ada apa Nduk teriak minta to-- Nduk, Nduk istighfar, Nduk. Itu tidak benar, Nduk. Istighfar, Nduk." Dengan wajah panik ibu mendekat ke arahku.
"Ibu, jangan mendekat!" Teriakku. Pisau kudekatkan ke d**a.
"Istighfar, Nduk. Jangan tinggalkan ibu sendiri, Nduuk." Ibu menghentikan langkah, menatapku dengan mata bercucuran.
"Ibu, aku tidak berarti, Bu. Aku seperti sampah sekarang. Bahkan orang yang pernah menikah pun, pasti akan memandangku dengan jijik. Apalagi Mas Ke-viiiin. Apa yang dia pikirkan tentangku saat ini, Bu? Dia pasti jijik padaku," kataku diiringi isak tangis. Hatiku pedih dan sakit. Aku tak berguna. Aku seperti sampah.
"Nduk, istighfar."
"Jangan menghalangiku, Bu!" Air mata lagi-lagi jatuh di pipiku.
"Nduuk, jangan tinggalkan ibu, Nduuk. Jangan tinggalkan i-buuu. Dosa, Nduk. Dosa. Istighfar. Astaghfirullah hal adziiim," ucap ibu dengan wajah sedih sekali.
Pintu kamar didorong membuka. Mas Yoga berdiri di ambang pintu, tatapannya tertuju ke arahku.
"Jangan mendekat!" Teriakku saat Mas Yoga melangkah masuk. Ibu terisak-isak.
"Nen, yang kamu lakukan tidak benar," kata Mas Yoga dengan suara lirih.
Pisau yang tadi kuarahkan ke d**a, kini kuarahkan ke pergelangan tangan. Aku memejamkan mata, lalu menekankan pisau ke pergelangan tangan. Ibu memekik histeris. Aku terisak juga tersengal. Maafkan aku, Bu. Aku sayang sama Ibu. Tapi aku gak bisa terus di sisi ibu. Aku jijik pada diriku sendiri. Sangat sangat jijik. Aku sekarang hanyalah sampah yang gak berguna. Aku gak bisa membahagiakan ibu.
Benda di tanganku tiba-tiba ditarik keras. Sambil tersengal, aku membuka mata. Pisau yang tadi kupegang erat sekarang sudah berpindah ke tangan Mas Yoga. Kulihat darah mengalir di pergelangan tanganku. Aku meringis karena perih. Tapi sakit di tangan, tak ada apa-apanya dengan pedih yang kini kurasakan.
"Kamu gila! Apa kamu tahu bahwa Kevinmu itu tidak akan menerimamu?! Apa dia justru menerimamu?!" Bentak Mas Yoga. Ibu memelukku erat. Ibu tersengal-sengal.
Dengan lunglai aku menjatuhkan tubuh ke bawah, menangkup wajah dengan kedua tangan. Ibu melangkah menjauh. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa betadine.
Mas Yoga mengambil betadine yang disodorkan Ibu, lalu tanpa mengatakan apa pun ia mengobati tanganku. Mas Yoga mengisyaratkan pada ibu agar meninggalkan kami. Ibu terlihat ragu, tapi ia mengangguk.
"Jangan merasa tidak berarti." Suara Mas Yoga terdengar lirih.
Aku tersenyum miris. "Aku memang gak berarti sekarang."
"Jika Kevin tidak bisa menerimamu dengan tulus, belum tentu lelaki lain tidak bisa menerimamu dengan tulus. Aku ...." Mas Yoga tampak ragu mengatakannya. Tapi akhirnya, dia berkata.
"Aku mencintai Cinta dengan tulus. Dia tidak perawan saat menikah denganku dulu."
"Apa?!" Aku menatapnya tak percaya. "Cinta tidak pernah pacaran selain denganmu. Berarti jika dia tidak perawan, kamu yang melakukannya."
Mas Yoga tertawa kecil. "Bukan aku. Tapi pamannya. Aku masih kecil saat menyaksikan pemerkosaan itu." Tuturnya. Cinta tak pernah cerita hal itu padaku.
"Aku membawanya kabur dari rumahnya, Cinta akhirnya tinggal di panti asuhan, bebas dari pamannya yang kejam."
Aku membekap mulut, masih tak percaya pada ucapannya. "Apa yang kamu katakan serius?"
Mas Yoga mengangguk. Wajahnya terlihat serius. "Cinta selalu ceria, kan? Tapi banyak luka yang dia sembunyikan. Dulu, rumahku dan Cinta berdekatan. Setelah orang tua Cinta meninggal, paman dan istrinya datang dan tinggal bersama Cinta. Hingga peristiwa buruk itu terjadi."
Aku terus diam menyimak.
"Cinta selalu ceria, tapi sebenarnya dia menyimpan luka yang ingin dia sembunyikan dari siapa pun. Cinta itu tegar, tidak ingin orang lain tahu kesedihannya. Tapi dibalik sikapnya, dia butuh perlindungan. Dia selalu senang dipeluk dan diperhatikan," imbuh Mas Yoga.
"Aku gak nyangka ternyata kamu baik juga," kataku. Cinta bercerita padaku bahwa Mas Yoga selingkuh, lalu memutuskan menikahi selingkuhannya. Itulah alasan Cinta kabur dari rumah, karena Cinta tidak mau dipoligami. Cinta tinggal di sini cukup lama dan akhirnya memutuskan menikah dengan Mas Zain.
"Yang benar saja, seolah hatiku sangat jahat." Mas Yoga memandangku. Ucapannya membuatku sedikit terhibur, aku jadi tak sesedih tadi walau dadaku masih terasa sesak.
"Jangan mengatakan ini pada Cinta. Terus bersikap padanya seolah kamu tidak tahu apa-apa tentangnya."
Aku mengangguk.
"Tidurlah, sudah malam." Mas Yoga beranjak berdiri lalu melangkah keluar dari kamarku.
Apa benar yang dikatakan Mas Yoga bahwa ada ada lelaki yang benar-benar tulus? Mungkin saja dia memang tulus, tapi lelaki lain ... jaman sekarang, pasti sangat sulit ditemui.