POV Neni
Aku terus mondar-mandir di dapur, deg-degan rasanya. Perasaanku juga tak bisa tenang. Aku berkali-kali menatap benda pipih di samping gelas teh di meja yang terus berdering nyaring itu, nama Mas Kevin tertera di sana.
"Jangan jadi pengecut. Coba hadapi kenyataan."
Aku menatap jengkel pada Mas Yoga, berpaling saya menyadari ia hanya mengenakan kaus dalam putih dan handuk yang membelit di pinggang. Aku membalikkan badan menyentuh gelas teh lalu meminumnya cepat untuk mengusir gugup.
"Kukira, teh itu untuk pacarmu. Kasihan dia satu jam lebih menunggumu di ruang tamu."
Benar, teh ini memang kubuat untuk Mas Kevin, namun aku ragu untuk menemuinya. Temui, tidak? Temui, tidak? Aku benar-benar risau. Walau tadi sudah bertekad untuk menemuinya lalu membicarakan hubungan kami, namun tiba-tiba saja saat melihat kedatangannya dari lubang kunci, aku merasa ragu. Aku takut ia datang hanya untuk mengakhiri hubungan kami.
"Apa harus kukatakan padanya bahwa kamu jatuh cinta padaku lalu ingin mengakhiri hubungan dengannya?" Mas Yoga sedikit tersenyum.
Astaga, dasar makhluk gila. Dengan jengkel, kulempar sendok ke arahnya. Terdengar kekehan.
"Tidak kena," katanya.
"Please, deh, aku sedang gak ingin bercanda!" Akhirnya aku menatapnya sebal.
"Tuuh, dia, dari tadi menunggumu." Mas Yoga menuding ke pintu tengah. Aku mengikuti arah telunjuknya, tampak Mas Kevin berdiri diam di sana, tatapannya berganti-ganti ke arahku juga Mas Yoga.
"Dia suami temanku, Cinta. Yang sering kuceritakan padamu itu," kataku.
"Bukan itu yang ingin kudengar," sahut Mas Kecil pelan. "Tapi kenapa kamu menghindariku?" Tatapannya lekat ke wajahku.
"Ikut aku," katanya.
Walau ragu, aku akhirnya membuntut di belakangnya, sesekali menoleh ke arah Mas Yoga yang mengacungkan ibu jari ke udara seolah menyemangatiku. Aku benar-benar tak nyaman saat masuk ke mobil Mas Kevin lalu ia mengendarainya pelan.
"Kamu mau mengajakku ke mana, Mas?" Aku menatapnya dengan d**a berdebar. Tubuhku banjir keringat dingin karena begitu tegang. Sudah satu minggu lebih aku menghindarinya. Jangankan bertemu, panggilan telepon juga pesannya pun tak kubalas.
Ia membenarkan kaca matanya, lalu menoleh sekilas. "Kamu ingin kita ke mana?" tanyanya balik.
"Ini udah sore, Mas."
"Kita ke alun-alun saja kalau begitu." Putusnya.
Hening. Kesenyapan yang terus tercipta ini sungguh membuatku tak nyaman. Aku membuka jendela, menghirup udara yang berembus masuk ke mobil. Mas Kevin sesekali menoleh memperhatikanku. Sampai di alun-alun yang ramai oleh muda-mudi, mobil berhenti. Mas Kevin langsung turun, sementara aku berdiam diri di mobil sampai akhirnya Mas Kevin membukanya. Aku turun dengan perlahan, sengaja mengalihkan pandang darinya.
Berjalan beriringan dengan sangat pelan, kami menuju penjual es tebu. Mas Kevin segera memesan es tebu lalu meninggalkanku. Ia kembali lagi dengan dua mangkuk di tangan berisi bulatan-bulatan sedang keabu-abuan. Diberikannya satu mangkuk padaku. Aku menerimanya, lagi-lagi mengalihkan pandang saat secara tak sengaja bertemu tatap dengannya.
"Neni, aku kangen kamu yang dulu. Kamu biasanya selalu ceria."
Aku memandangnya. Dadaku berdesir pelan saat tatapan kami bertemu dan saling mengunci.
"Bukan hanya aku, kamu juga pasti tak ingin hal itu terjadi," katanya.
Kuanggukkan kepala. Aku menunduk lalu tanganku menusukkan sendok ke bakso, mengunyahnya pelan. Sungguh aku tegang juga takut setelah ini, hubungan kami tak sama lagi.
"Nen."
Aku memandangnya. Setelah itu, tatapanku jatuh ke mangkuk baksonya yang tak tersentuh. Hatiku terasa menghangat melihat senyum di bibir Mas Kevin.
"Jangan menghindariku lagi. Aku ingin tetap bersamamu."
"Apa kamu yakin, Mas?" Karena walau aku mencintainya, namun ragu hubungan ini bisa bertahan lebih lama. Aku merasa tak percaya diri.
"Yakin."
Tatapan kami lagi-lagi saling mengunci. Aku menunduk merasakan wajahku yang menghangat.
"Nen."
"Ya?"
Mas Kevin memandangku lama, lalu menggelengkan kepala. Entah kenapa, aku merasa ada yang tak beres dengan sikapnya, seperti ia tengah menyembunyikan sesuatu.
"Mas."
Ia memandangku. Tangannya yang hendak menyuap mie ke mulutnya berhenti di udara. "Ya?"
"Jangan merasa gak enak hati atau merasa bersalah padaku, Mas. Aku gak masalah jika kamu memutuskan mundur." Memang pasti akan pedih terasa, tapi setidaknya, itu lebih baik jika ia mencoba bertahan hanya berlandaskan kasihan.
Mas Kevin menatapku berlama-lama lalu menggeleng pelan. "Kamu juga tidak ingin hal itu terjadi, Nen. Aku tidak mempermasalahkan. Apa artinya, sih, itu. Hanya pada soal, aku yang melepas segelnya atau orang lain!" Ada kemarahan dalam tatapan matanya, namun tak lama. Ia tersenyum memandangku, kemudian menyuap makanannya. Aku terus memperhatikannya dalam diam, mereka-reka apa yang sebenarnya ia rasakan. Sudah jelas ia kecewa, ucapannya tadi jelas menunjukkan kekesalannya.
Usai menjalankan salat magrib di masjid, kami langsung pulang. Tak ada obrolan di antara kami, baik aku dan Mas Kevin sama-sama diam. Hanya saat tak sengaja bertatapan saja kami saling tersenyum.
"Tidur jangan malam-malam," kata Mas Kevin saat aku turun dari mobilnya. Aku mengangguk, melambaikan tangan sampai mobilnya melaju jauh meninggalkanku. Baru saja aku membalikkan badan hendak menuju rumah, tiba-tiba tanganku disambar dari belakang. Aku menepisnya kuat saat tahu ternyata itu Tara. Di jalan, tampak motor besar diparkir.
"Mau apa kamu ke sini?!" Aku menatapnya penuh kebencian. Lelaki berperawakan tinggi tegap di hadapanku bergerak mendekat.
"Aku akan bertanggung jawab." Ia menatapku dengan wajah sungguh-sungguh.
Aku meludah, menatapnya sinis. "Apa kamu sedang bermimpi?! Bahkan jika kamu manusia satu-satunya di bumi, aku lebih baik mati daripada menikah denganmu!"
Wajahnya terlihat syok, namun aku tak peduli. Aku meludah di hadapannya dengan kekesalan menjadi-jadi karena dia telah merampas kehormatanku yang selama ini kujaga dengan baik.
"Apa kamu tidak bisa berkaca, Mas? Coba kamu berkaca kamu itu siapa! Kamu siapa ingin menikahiku? Kamu punya apa?! Setahuku, kamu hanyalah tamatan ES EM PE!" kataku penuh penekanan pada kata SMP. Lalu lanjutku dengan sinis, "Dan kerjamu juga serabutan." Aku menatapnya bergidik.
Aku tahu sikapku ini tak baik. Tak boleh merendahkan orang lain karena di mata Allah semua ciptaannya sama, hanya amal ibadah yang membedakannya. Namun aku kadung kesal, benci, juga jijik padanya. Aku kembali meludah ke hadapannya lalu membalikkan badan, melangkah cepat menuju rumah dengan hati puas. Saat aku menoleh ke belakang, Tara masih berdiri di tempatnya. Kata-kataku yang menyakitkan, tentu tak setimpal dengan apa yang ia lakukan padaku.
Aku mengucap salam sambil mengetuk pintu. Terdengar sahutan waalaikum salam dari dalam. Aku terlonjak kaget saat tiba-tiba tubuhku diangkat dari belakang. Jantungku mengentak kuat saat tatapanku bertubrukan dengan lelaki yang kubenci setengah mati.
"To-long!" Teriakku keras sambil memukuli dadanya berkali-kali. Aku terdiam dengan d**a berdebar keras saat ia menodongkan senjata api ke wajahku.
Aku tak berkata-kata. Tubuhku panas dingin dan aku sangat ketakutan. Ia menggendongku menuju jalanan yang dihiasi lampu temaram. Aku sungguh sangat berharap bertemu seseorang di jalan, tapi hingga ia membawaku ke rumah kosong bekas rumah lama Mas Zain dulu, tak ada siapa pun yang bisa menolongku.
Gelap gulita. Aku sangat takut dan tubuhku rasanya lemas tak bertenaga saat Tara menurunkanku ke lantai penuh debu lalu menghidupkan senter di HP-nya. Tangannya yang membawa pistol terarah ke wajahku. Ia membuka kancing bajunya sendiri lalu dengan penuh kemenangan berjalan santai ke arahku yang terus beringsut menuju dinding kayu yang lapuk.
"Apa kamu tahu kenapa aku waktu itu berbuat nekat?"
Wajahnya tak begitu jelas karena minimnya cahaya, tapi jemari tangan kirinya terasa sakit mencengkeram daguku.
"Karena kamu perempuan sombong yang suka memandang remeh orang lain. Jadi, aku terus memikirkannya berkali-kali, bagaimana kalau aku memberimu pelajaran saja?"
Aku berpaling darinya yang hendak menciumku. Tapi ia memaksa menatapku.
"Agar kamu bisa merasakan rasanya tidak berarti dan merasa rendah, maka aku memberimu pelajaran."
Aku beringsut mundur saat ia kembali mendekat. Aku memejamkan mata saat merasakan moncong senjata api di keningku.
"Coba kamu katakan apa yang kamu katakan tadi." Didongakkannya wajahku. Tanganku mencoba menepis tangannya, namun tangannya terlalu kuat mencengkeram daguku. Terasa begitu menyakitkan.
"Ayo, katakan seperti tadi. Tadi, kamu mengatakannya begitu angkuh dan tanpa keraguan." Cahaya senter dari HP ia arahkan ke wajahku hingga membuatku menyipitkan mata karena begitu silau. Jantungku berdetak amat kencang dan aku amat takut, namun tak ingin terlihat di matanya.
Aku menantang tatapan matanya dengan berani. Saat cengkeramannya pada daguku melonggar, aku menatapnya sinis.
"Memang kamu tidak pantas untukku. Coba kamu berkaca! Bahkan hanya menjadi temanku pun kamu gak pantas!" Kelewat berani, Neni, kataku dalam hati, merasa amat ngeri dengan tatapan tajam Tara yang seolah menembus jantungku. Aku beringsut mundur saat ia melempar senjata api lalu memaksa melepas jilbabku. Aku memberontak sekuat tenaga.
"Coba lawan aku kalau bisa!" Teriaknya penuh kemarahan.
Aku mendorongnya, namun tubuhnya sama sekali tak goyah. Tetap tegap menjulang di hadapanku. "Jangan gila, Mas! Apa yang mau kamu lakukan padaku?!" Ketakutanku menjadi-jadi saat ia melepas bajunya lalu memaksa menciumku. Kudorong tubuhnya kuat, lalu aku berlari menuju pintu.
Brak!
Pintu ditarik hingga menutup sebelum sempat aku keluar. Dibantingnya tubuhku ke lantai, membuatku mengaduh kesakitan saat kepalaku membentur batu bata. Tidak. Aku tidak akan membiarkan ia melakukannya lagi padaku. Lebih baik aku ....
Aku menatap ke arah batu bata di sebelahku, meraihnya cepat dan melemparkan ke arahnya, ia mengaduh saat batu bata itu mengenai dadanya. Aku meringis merasakan kakiku yang berdenyut sakit saat mulai berjalan. Tara terkekeh di belakangku.
"Jadi, kamu ingin menjadi pelayanku malam ini, atau aku membunuhmu?"
Tidak sudi dua-duanya! Tertatih-tatih, aku menuju pintu. Aku mencoba memberontak saat tubuhku dipeluk erat dari belakang.
"Tenang saja Neni, aku akan bertanggung jawab!" Ia menarik paksa jilbabku.
Plak! "Aku benar-benar akan membunuhmu jika kamu terus memberontak!" Plak! Plak!
Rasa panas menyakitkan kembali mendarat di pipiku. Dia menamparku dengan begitu kuat.
Plak!
Plak!
Pipiku berdenyar panas dan sakit sekali. Semakin lama, kepalaku memberat. Tara tiba-tiba menatapku khawatir.
"Neni, kamu tidak apa-apa?"
Pandanganku terasa berputar. Tak lagi terlihat remang, tapi disekelilingku terasa berputar.
"Neni aku akan membawamu ke dokter. Neni, Nen!" Suaranya terdengar begitu panik.