"Nduuuk, kenapa kamu menangis terus, Nduk? Ada tamu."
Aku mengusap air mata yang terus merangsek turun. "Siapa, Bu?"
"Ibu tidak kenal."
Lalu, ibu keluar. Aku memakai jilbab, setelah itu melangkah ke ruang tamu. Mataku melebar kaget dan jantungku berdetak sangat kencang saat melihat lelaki yang kubenci setengah mati duduk di dekat sahabatku, Cinta.
"Pergi! Pergi! Mau apa kamu ke sini!" Teriakku histeris. Asbak kulempar ke arah Tara. Tapi benda itu mendarat di bibir meja dan meluncur jatuh ke bawah, menimbulkan bunyi keras di lantai.
"Nduk, ada apa denganmu?" tanya ibu sambil berjalan mendekat ke arahku. Kedua orang tua yang mirip dengan Tara saling pandang.
"Pergi! Pergi kalian semua! Pergii!" Aku berteriak histeris. Aku jijik sekali melihatnya. Cinta mendekat lalu memelukku erat.
"Pergi kamu, pergi!" Aku menuding wajah Tara, sumpah muak sekali rasanya."Mau apa kamu ke sini! Hah?!"
"Aku ke sini berniat melamarmu." Terdengar bergetar suara Tara.
Aku menatapnya penuh ejekan. "Nggak akan sudi aku nikah sama kamu meskipun aku dalam keadaan hamil anakmu sekalipun!"
"Maksudmu apa, Nduk?!" tanya Ibu yang menatapku kaget.
Aku tersengal-sengal. "Dia memperkosaku, Bu! Aku benci padanya!" Aku meraih gelas di meja lalu melemparkan isinya ke wajah Tara. Ibu memelukku yang terisak-isak.
"Lebih baik kalian pulang saja. Kalian dengar sendiri kan ucapan Neni?" Ibu yang tadinya sangat ramah kini sinis tak bersahabat. Tara, kedua orang tua Tara dan Mas Zain pun keluar, hanya Cinta yang masih di sini. Aku tersengal-sengal sampai dadaku sesak.
"Jadi, karena itu kamu menjauhiku?"
Jantungku berdetak kencang sekali saat melihat kekasihku di ambang pintu.
"Jawab. Karena itu kamu menjauhiku?"
Tanpa mengatakan apapun kulepas pelukan Cinta lalu berlari cepat ke kamar.