Hampir saja. Dicky dan Yonathan berhasil menghentikan langkah cepat Abimanyu. Bertepatan dengan kehadiran Bu Latri, dosen Ekonomi Mikro yang sepertinya ada perlu dengan Kanaya. Karena dosen muda, berperawakan mungil, dan berkacamata yang menyembunyikan tatapan tajamnya itu sudah sibuk berbincang dengan Kanaya. Bukan hanya Abimanyu yang harus melangkah mundur, Guntur juga sama. Pembicaraan itu harus terhenti saat Bu Latri juga undur diri.
“Thanks, Ya. Nanti kalau anak-anak butuh arahan untuk lokasinya gue hubungi lo,” ucap Guntur yang diangguki oleh Kanaya.
Setelahnya, Guntur pamit dengan langkah tergesa. Mungkin masih ada urusan lain dengan teman-teman organisasinya. Abimanyu cs saja tidak sempat menghentikan Guntur. Lelaki berkulit hitam itu sudah turun ke lantai satu.
“Udah gue bilang, Guntur cuma bahas proker sama Yaya,” ucap Dicky yang masih merangkul Abimanyu. Gerakan refleks untuk menahan langkah cepat itu. Turut merasakan napas memburu, luapan dari amarah yang hadir tanpa diminta.
“Kalau tadi lo ke sana dan marah-marah nggak jelas sama Guntur. Itu sama aja lo mengakui kalau lo cemburu,” lanjutnya. Menjatuhkan tatapannya pada Kanaya cs di depan sana yang nampak tidak terganggu dengan kehadiran ketiganya. Sama seperti apa yang dilakukan Abimanyu dan Yonathan.
Mendengar kalimat itu, Abimanyu langsung melepaskan rangkulan Dicky dengan kasar. Menatapnya nyalang. Tidak terima dengan kalimat terakhir yang Dicky ucapkan tanpa beban.
“Lo salah kalau menilai gue cemburu sama Guntur. Lagi pula Kanaya bukan seseorang yang harus gue perjuangkan di sini. Dia bukan siapa-siapa, dan nggak ada artinya buat gue,” ucapnya tegas. Terdengar sangat jahat. Setelahnya berbalik dan berjalan pergi. Entah ke mana. Dicky dan Yonathan hanya menatap punggung Abimanyu yang semakin menjauh sembari menghela napas panjang. Tidak berniat menghentikan atau mengikuti.
“Apa susahnya ngaku sih?” ucap Dicky.
Miris sendiri jika melihat Abimanyu yang terus berada dalam pertahanannya. Enggan mengakui jika ada perasaan lain pada Kanaya. Yang bahkan sudah tumbuh sejak lama, jauh sebelum Guntur menunjukkan rasa ketertarikannya pada Kanaya. Yang membuatnya mati-matian mengikuti permainan iseng dari Dicky dan Yonathan. Menganggap tantangan itu sebagai satu hal yang memang harus diambil dan diselesaikan.
“Susahlah. Gengsinya ketinggian begitu. Kalau gue yang naksir beda cerita. Mana yang ini belum punya pawang. b**o emang si Abi,” sambung Yonathan panjang lebar.
Tatapan miris itu beralih pada Yonathan.
“Gue tahu lo gamon, Yo. Tapi nggak usah terang-terangan begitulah. Lo yang menjomblo dari zaman Allura nikah aja udah ketahuan ngenesnya,” ujar Dicky.
“Nggak usah dilihatin terus. Bini orang emang lebih cakep,” lanjutnya seraya menepuk bahu Yonathan beberapa kali. Sok prihatin pada kondisi Yonathan yang masih belum bisa melarikan hatinya ke tempat lain. Jika Guntur sudah resmi melupakan Allura dan segala perasaannya, Yonathan tidak demikian. Yonathan membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh dari patah hati.
“Kalau dipikir-pikir, Guntur kasihan ya. Dari dulu targetnya samaan. Dia naksir Lura, gue juga. Sekarang dia naksir Yaya, Abi juga. Apa kita beralih fungsi jadi pendukung Guntur aja?”
Dicky langsung menggeleng tegas. “Nggak usah b**o, anjir. Urusan hati biar jadi urusan mereka masing-masing aja. Kita sebagai sohibnya cuma bisa kasih dukungan dari belakang. Kasih nasihat kalau perlu, kasih arahan kalau mulai belok. Jangan condong ke salah satunya,” nasihat Dicky yang membuat Yonathan terperangah.
“Lo sejak kapan jadi bijak begitu, Dik?” tanya Yonathan tidak percaya. Dicky tidak menanggapi lebih. Memilih pergi, mengabaikan Yonathan dan wajah penuh tanyanya yang nampak menyebalkan.
***
“Ya, lo beberapa hari bakalan sibuk sama Guntur, ‘kan?” tanya Dhia setelah menyeruput es teh yang baru saja dibawakan oleh Tante Elen. Keempatnya sedang berada di rumah Virgi sekarang, tepatnya di kamar Virgi.
Tidak ada lagi tempat aman di kampus. Karena sampai saat ini, rumor Abimanyu dan Kanaya masih menjadi perbincangan panas. Para perempuan yang memang menggilai Abimanyu masih memandang Kanaya sebagai pihak yang bersalah.
Oleh karena itu, keempatnya memilih rumah Virgi karena dirasa paling aman. Tidak mungkin berkumpul di rumah Kanaya karena terlalu ribet. Birokrasinya panjang. Tidak juga di kos Dhia dan Allura karena tidak bisa leluasa. Sehingga rumah Virgi menjadi pilihan akhir yang disepakati.
Keempatnya tidak hanya mendapatkan tempat yang nyaman dan aman untuk berdiskusi. Tapi juga mendapatkan makanan gratis karena Tante Elen sangat suka bereksperimen di dapur. Belum lagi, Tante Elen dan Om Vincen termasuk orang tua yang mengikuti perkembangan zaman. Sangat memaklumi tingkah Allura dan Dhia yang terkadang aneh. Sangat jauh berbeda dengan golongan ningrat seperti keluarga Kanaya.
“Nggak sibuk juga. Cuma nemenin Guntur ke lokasi sekalian ketemu sama pengurusnya kalau mau bikin acara di panti.”
“Tapi Guntur bisa dipercaya nggak sih? Gue takutnya dia cuma pura-pura aja. Di depan baik, eh ternyata di belakang sama aja kaya temen-temennya.”
Allura menggeleng tegas. “Guntur baik kok. Dia nggak akan diem-diem nusuk dari belakang. Apalagi dia suka sama Yaya. Dan udah sejak lama dia minta dicomblangin sama Yaya. Tapi gue tolak dong. Enak aja. Dikira gue biro jodoh kali. Beruntungnya sekarang ada rumor begini, jadi kesempatan banget si Guntur buat beraksi ngelindungin Yaya. Justru yang gue takutin, persahabatan Abimanyu cs bakalan bermasalah,” jelas Allura dengan kalimat supernya.
"Setidaknya Guntur jauh lebih baik dari Abi," lanjutnya sembari memasang wajah meyakinkan.
Kanaya dan Virgi yang memang tidak selalu bersama Allura terperangah. Tidak menyangka, di balik sikap Allura yang tidak jelas, kekanak-kanakkan, menyebalkan, cerewet tidak karuan, menyimpan sejuta pemikiran mendalam.
“Iya tahu yang pernah pdktan sama Guntur,” celetuk Dhia. Allura refleks melirik sinis. Satu hal yang sudah menjadi pemandangan biasa untuk Kanaya dan Virgi. Dua sahabatnya itu memang ceplas-ceplos dan sangat suka saling menyindir. Anehnya, tidak ada yang bawa perasaan sampai marah berlebihan. Benar-benar interaksi Allura dan Dhia yang aneh.
“Pdkt apaan. Guntur deketin gue cuma buat Yaya. Dia tuh memanfaatkan gue, biar bisa dicomblangin. Untung aja gue nggak baper,” lanjut Allura menggebu.
“Kesempatan buat kita juga nggak sih. Kalau Yaya deket sama Guntur, Abimanyu nggak mungkin macem-macem, ‘kan? Ya kali mau macem-macemin cewek yang diincer sahabatnya.”
Allura dan Virgi mengangguk setuju dengan kalimat Dhia.
“Tapi kita jahat banget nggak ya, memanfaatkan rasa yang Guntur punya buat melindungi Yaya. Persahabatan mereka bakalan baik-baik aja, ‘kan?” Allura berujar khawatir.
Persahabatan adalah satu ikatan yang sangat Allura hargai. Allura pernah berada di posisi tersulit dalam hidupnya. Dan saat itu, Adeo tidak pernah luput dari kehidupannya. Bahkan saat Allura memutuskan untuk menjalani perjodohan, Adeo yang memendam perasaan merelakannya dengan begitu baik. Sampai saat ini persahabatan keduanya terjalin dengan baik-baik saja.
Allura tidak pernah bisa merusak persahabatan orang lain, apapun alasannya. Karena menurutnya itu adalah hal yang sangat buruk.
“Ra, kita bukan memanfaatkan keadaan. Tapi membuat keadaan berjalan dengan semestinya. Kita justru baik loh, kasih kesempatan Guntur buat menunjukkan rasa yang dia punya sama Yaya. Dan juga, bukannya sejak awal Abimanyu yang salah. Dia berlaku seenaknya sampai bawa-bawa Yaya yang nggak tahu apa-apa. Apalagi yang dia lakuin udah menerobos pagar yang seharusnya tetap berdiri di tengah-tengah. Apapun alasannya, martabat perempuan harus dilindungi.”
Dhia berujar menggebu. Allura dan Virgi seketika bertepuk tangan heboh. Membuat Kanaya terkekeh geli.
Teman-temannya memang aneh dan berbeda. Allura dan Dhia yang cenderung cuek pada hal-hal yang bersifat umum, bisa sangat care saat sahabatnya mendapat masalah. Begitu juga dengan Virgi yang lebih mencintai buku-buku tebal bisa meluangkan waktu untuk mengurusi masalah Kanaya.
Jika sudah seperti ini, bukankah Kanaya beruntung memiliki sahabat sejenis Allura, Dhia, dan Virgi yang senantiasa berkeliaran di sekitarnya?
“Terus untuk urusan persahabatan mereka biar jadi urusan mereka sendiri. Udah sama-sama dewasa. Seharusnya Guntur udah tahu sejak awal dampak dari dia yang pilih buat melindungi Yaya yang jelas-jelas punya masalah sama Abi,” lanjut Dhia setelah aksi berbangga diri karena tepuk tangan dari Allura dan Virgi.
Virgi mengangguk setuju. “Gue setuju banget sama Dhia.”
“Yaya, gimana? Lo nggak masalah ‘kan deket sama Guntur untuk sementara waktu?” Dhia beralih pada Kanaya yang sejak tadi hanya diam.
Tidak ada alasan untuk menolak. Kanaya mengangguk setuju. Apa yang ketiganya bahas adalah hal baik untuk Kanaya. Untuk melindungi Kanaya dari kabar tidak baik yang sedang beredar. Walaupun mungkin akan membutuhkan waktu lebih untuk membersihkan nama Kanaya. Tapi setidaknya, ada Guntur di sisinya yang akan melindungi Kanaya sebisa mungkin.
“Nggak cuma untuk sementara aja. Siapa tahu, nanti kalian bisa dekat dan punya hubungan lebih jauh. Guntur jauh lebih baik dari tiga lainnya. Jadi kalau nanti berakhir Yaya punya rasa sama Guntur, gue dukung,” sambung Allura.
“Dan kalaupun nggak bisa punya hubungan lebih jauh, aku dan Guntur tetap bisa jadi teman.”
Ketiganya mengangguk setuju dengan kalimat Kanaya.
“Emang tipe yang susah dideketin. Makanya eksis di kalangan cowok-cowok,” bisik Allura pada Dhia.
“Kalau aja gue lebih jual mahal, Om Elang bakalan cinta mati sama gue kali ya, Dhi.”
Dhia melirik sebal. Mau apapun pembicaraannya, ke mana pun arahnya, Allura tetap akan berujung pada Elang.
“Lo nggak jual mahal aja berhasil bikin Om Elang nunggu enam tahun. Apalagi jual mahal, Ra. Nggak kasihan sama suami lo yang bakalan terus menjomblo, mana udah tua lagi,” ucap Dhia sebal.
“Astaga mulutnya.”
***