10. Jealous

1747 Words
“Ya.” Guntur muncul di belokan koridor. Wajahnya panik juga terlihat tergesa. Ada beberapa buliran keringat yang muncul di kening. Mungkin Guntur baru saja berlari-larian hanya untuk mencari keberadaan Kanaya. “Eh, eh mau apa lo?” sesar Dhia. Langsung menghadang Guntur. Berperan sebagai bodyguard untuk Kanaya. Sementara itu Allura dan Virgi langsung mengapit Kanaya. Hanya untuk berjaga-jaga. Siapa tahu mereka kembali diserang. “Dhi, gue mau ngomong sama Kanaya,” ucap Guntur. Terlihat memohon. Membuat Dhia memincangkan matanya curiga. Guntur adalah bagian dari Abimanyu cs. Walaupun beberapa hari ini lelaki berkulit hitam itu tidak nampak, tapi tidak menutup kemungkinan kalau Guntur termasuk yang tahu mengenai rumor Kanaya dan Abimanyu yang sedang beredar. Menjadi perbincangan di semua penjuru gedung fakultas. Dhia hanya tidak mau mudah dibujuk. Siapa tahu, Abimanyu sengaja mengirim Guntur untuk mendekati Kanaya dan membawanya pergi. Karena Guntur ini memang yang paling dekat dengan Kanaya cs. Tidak semenyebalkan tiga lainnya. Tapi tetap saja, berasal dari kandang yang sama. “Nggak ada, enak aja!” “Dhi, tolong ini penting,” pinta Guntur. Lebih memohon. Guntur bahkan memasang wajah memelasnya, berharap Dhia mau mengiyakan. Padahal seorang Sheryl Dhianara tidak semudah itu luluh hanya karena permohonan murahan semacam ini. Apalagi permohonannya berasal dari Guntur. Satu bagian dari Abimanyu cs yang saat ini menempati posisi perkumpulan manusia yang harus dihindari. Setidaknya sampai keempatnya bisa menemukan cara yang lebih efektif untuk membersihkan nama Kanaya yang sedang jelek-jeleknya. “Lo disuruh sama si kanvas berjalan, ‘kan?” tuduh Dhia. Guntur menggeleng tegas. “Nggak. Beneran.” “Halah basi. Gue udah bisa mendeteksi mulut buaya lo yang suka nipu itu.” “Seriusan, Dhi. Gue juga baru tahu soal rumor itu. Dan kedatangan gue ke sini buat bahas hal lain sama Kanaya.” “Heh kecap! Lo jelas-jelas tahu Kanaya lagi banyak pikiran malah diajak bahas hal lain,” umpat Dhia. Tiba-tiba saja merasa kesal dengan sikap Guntur yang seenaknya. Sudah jelas Kanaya sedang menjadi bahan pembicaraan di fakultas. Dan hal itu membuat Kanaya kepikiran setengah mati. Tentu saja tidak ada porsi untuk memikirkan hal lain. Kalau saja yang menjadi bahan pembicaraan adalah Allura atau Dhia, akan lain ceritanya. Keduanya akan memilih menumpas habis para mulut-mulut kasar yang seenaknya menyebarkan gosip. Tidak seperti Kanaya yang hanya bisa diam sembari memikirkan banyak hal. Beruntungnya, dua manusia aneh nan menyebalkan seperti Allura dan Dhia, bisa diandalkan dalam keadaan seperti ini. “Justru itu, supaya perhatian Kanaya beralih ke hal lain. Dan nggak harus mikirin omongan orang, Dhi,” jelas Guntur. Dhia yang sebelumnya memasang wajah garang dengan tatapan menelisik yang tajam. Kini mulai meredup. “Bener juga. Tumben lo bisa kasih solusi masuk akal,” komentar Dhia yang membuat Guntur tersenyum lega. Sebelumnya, Guntur sudah menduga jika tiga sahabat Kanaya akan ekstra menjaga Kanaya setelah rumor tidak jelas ini menyebar. Guntur saja sampai tidak percaya diri untuk mendekati Kanaya lagi. Allura akan langsung marah-marah dengan kalimat panjang lebar dan suara cemprengnya itu. Tapi untungnya, Dhia yang menghadangnya sudah mulai melunak. “Yuk, Ya,” ucap Guntur seraya mengulurkan tangannya. Tapi belum juga Kanaya meraih uluran tangan itu, Dhia sudah terlebih dahulu memukul tangan Guntur. Membuat lelaki itu memekik sakit. Dhia memang kasar dan sama menyebalkannya seperti tiga lainnya. Dan bodohnya, Guntur pernah menyukai satu di antaranya. Lantaran Allura yang menikah dengan lelaki yang lebih segalanya membuatnya patah hati. Tidak pernah mengira jika Kanaya yang akan menjadi pelarian hatinya. Dibandingkan yang lain Kanaya ini yang lebih baik. Kanaya tidak bar-bar seperti Dhia. Kanaya juga bukan seorang kutu buku yang lebih suka berpacaran dengan buku-buku di perpustakaan seperti Virgi. Dan yang pasti, Kanaya belum memiliki pawang seperti Allura. Tidak akan menjadi masalah jika Guntur terang-terangan mendekati Kanaya. Walaupun Kanaya termasuk bagian antik dari kehidupan. Makhluk langka yang sudah sangat jarang ditemukan. Cenderung aneh untuk sebagian besar orang. Tapi bagi Guntur hal itu yang menjadi daya tarik seorang Kanaya. “Lo nggak usah kepedean begitu. Main bawa-bawa aja. Kami bertiga juga harus ikut,” ucap Dhia yang diangguki oleh Allura dan Virgi. Guntur hanya bisa menghela napas malas. Kalau membawa keempatnya, Guntur tidak akan memiliki banyak waktu untuk mengobrol dengan Kanaya. “Dhi, gue cuma mau bahas soal proker sama Kanaya.” “Proker apaan?” Dhia kembali ke mode menyebalkan. Melipat kedua tangannya di depan d**a dengan pandangan menelisik. Membuat Guntur lagi-lagi harus berperan seperti seorang laki-laki yang akan menjemput pacarnya. Tapi malah bertemu dengan orang tuanya yang galak. “Anak-anak mau ngadain kegiatan sosial. Dan Kanaya punya rekomendasi panti asuhan yang akan jadi tempat acara nanti. Gue perlu bahas ini sama Kanaya.” Dhia mengangguk-angguk paham. “Jadi Yaya udah bisa gue bawa?” tanya Guntur. Memasang senyuman lebar. Mengira kalau ia bisa lepas dari tiga manusia menyebalkan ini. Tapi respon Dhia jauh lebih menyebalkan dibandingkan sebelumnya. “Enak aja!” “Dhi, gue cuma diskusi sama Yaya nggak untuk hal lain.” Dhia mengangguk-angguk. “Justru itu. Karena cuma bahas soal proker, bukan hal yang bersifat pribadi. Nggak ada salahnya gue dan yang lainnya ikut.” Guntur melirik Allura meminta bantuan. Tapi Allura dan Virgi malah mengangguk bersamaan. Tanda menyetujui kalimat Dhia. Guntur menghela napas untuk kesekian kali. Memang, tidak mudah berurusan dengan perkumpulan perempuan ini. Satu hal yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan. Karena mendekati Kanaya justru akan lebih menyulitkan. Karena Guntur tidak hanya menghadapi si bar-bar, si kutu buku, atau yang sudah memiliki pawang. Justru Guntur harus menghadapi ketiganya dengan porsi lengkap. Benar-benar cinta membutuhkan pengorbanan. *** Guntur sudah mengira jika keberadaan Allura, Dhia, dan Virgi hanya akan merecokinya saja. Seharusnya Guntur dan Kanaya sudah membahas proker sejak awal. Tapi tiga teman Kanaya justru memerintah Guntur untuk membelikan cappucino cincau di kantin fakultas. Dan camilan lainnya yang didominasi oleh keinginan Allura. Sudah jelas, sangat beragam. Lebih menyebalkannya lagi, Guntur sendiri yang harus membayar keinginan tiga perempuan itu. “Lo ‘kan cowok, masa mau minta duit sama kami. Nggak malu apa? Om Elang aja selalu traktir gue kalau makan bareng.” Kalimat Allura yang membuat Guntur menghela napas panjang. “Elang suami lo b**o!” “Heh, lo ngumpatin gue. Gue bilangin Om Elang nih istrinya diumpatin.” Ancaman Allura yang membuat Guntur langsung mengiyakan. Bukan karena takut. Guntur hanya lelah meladeni mulut cerewet Allura yang tidak ada habisnya dalam membahas sesuatu. Entahlah, kenapa dulu Guntur pernah jatuh hati pada Allura. Saat itu, dalam pandangan Guntur, ekspresi Allura yang marah dan berbicara panjang lebar adalah pemandangan yang menyenangkan. Suara cemprengnya juga tidak menjadi masalah. Tapi saat ini, begitu Guntur merasakan apa itu sakit hati. Semua kekagumannya pada Allura luntur begitu saja. Pandangan mengenai Allura yang menggemaskan, lucu, dan enak dipandang sudah luntur. Berubah menjadi, Allura hanya sosok mungil yang bermulut menyebalkan. Sudah itu saja. Berakhirlah Guntur di sini. Duduk sendirian di kursi kantin, sembari memainkan ponselnya untuk mengurangi rasa bosan. Karena menunggu pesanannya jadi. Kanaya cs benar-benar menyebalkan dengan segala paket komplitnya. Bahkan Guntur yang masuk dalam perkumpulan laki-laki paling dikagumi, bersama Abimanyu, Yonathan, dan Dicky, seketika itu menjadi suruhan untuk tiga perempuan itu. Tapi karena Guntur sedang membutuhkan restu ketiganya untuk mendekati Kanaya. Guntur mau-mau saja menjadi suruhan seperti sekarang. “Woi, tem. Baru nongol lo.” Dicky hadir. Bersama dua lainnya. Menepuk bahu Guntur dan mengambil duduk di kursi yang tersisa. “Ke mana aja lo, tem? Perasaan nggak mendung kok nggak kelihatan?” Yonathan turut bertanya. Seperti biasa. Nada meledek itu tidak pernah hilang dari Yonathan. “Ada kok. Ngurusin proker,” jawabnya santai. Menyandarkan punggungnya di kepala kursi. Menatap tiga temannya yang tidak memiliki kegiatan lain. Hanya berangkat kuliah untuk tebar pesona. “Wes anak organisasi beda emang. Nggak ngerti yang namanya gabut lo ya,” komentar Dicky seraya terkekeh. “Lo pengertian banget ya, tem.” Dicky kembali bersuara saat ibu kantin membawa empat cup cappucino cincau dan satu kresek berukuran sedang berisi jajanan ringan. “Bukan buat lo,” ucap Guntur. Menepuk tangan Dicky yang akan meraih satu cup. Guntur langsung membayar pesanannya dan membawa pesanan itu pergi dari sana. Membuat tiga temannya terheran-heran. “Gue duluan,” pamitnya setelah agak menjauh. “Woi ke mana?” “Selasar lantai dua,” jawab Guntur sembari berteriak. Tiga sisanya saling melirik. Menyadari satu hal yang mengisi kepala masing-masing. “Ada Yaya sama dayangnya ‘kan tadi?” tanya Yonathan memastikan. Ketiganya memang baru saja selesai kelas. Saat turun dari lift di lantai dua tadi, sempat melihat Kanaya cs yang sedang berbincang sembari tertawa ria. Dicky sempat akan maju untuk menggoda keempatnya. Tapi Abimanyu melarang. “Kasih waktu buat napas. Kasihan.” Begitu kata Abimanyu tadi. Sehingga ketiganya memilih kantin sebagai tempat nongkrong di sela kelas siang ini. “Guntur nggak di kubu kita?” tanya Dicky curiga. Bukan bermaksud mengompori. Hanya saja merasa aneh dengan keberadaan Guntur yang justru di sekitar Kanaya cs. Tidak mungkin tidak mendengar kebisingan yang sedang beredar. “Udah jelas sih. Dia naksir Yaya. Kesempatan emas buat bikin Yaya kesengsem dengan cara nolongin di saat Yaya susah,” lanjut Yonathan yang langsung mendapat pelototan tajam dari Dicky. Yonathan yang tidak mengerti hanya mengerutkan keningnya. Tapi begitu Dicky melirik ke arah Abimanyu, Yonathan baru menyadari kalimatnya. Abimanyu tidak mengucapkan apa-apa sejak tadi. Hanya diam, tatapan tajam, wajah datar, dan rahangnya yang mengeras. Sudah jelas, jika Guntur dalam keadaan bahaya setelah ini. Apalagi Abimanyu melihat sendiri keberadaan Kanaya cs. Dan juga tujuan Guntur dengan jajanannya itu. “Eh tapi setahu gue bakalan ada acara sosial gitu. Guntur mau bahas proker mungkin,” ucap Dicky. Mencoba mencairkan kebekuan di hati Abimanyu. Bagaimanapun juga Abimanyu dan Guntur sama-sama sahabatnya. Tidak peduli jika keduanya menyukai perempuan yang sama. Dalam posisinya, Dicky hanya ingin semuanya baik-baik saja. Tidak sampai membuat persahabatan mereka hancur. “Oh iya, Virgi sama Allura juga ikut jadi panitia,” lanjut Yonathan yang lagi-lagi mendapat pelototan dari Dicky. “Lah gue salah lagi? Bener kok Allura ikut jadi panitia,” ucapnya dengan raut polos seperti anak kecil. “Itu acara garage sale b**o!” umpat Dicky yang sudah terlanjur kesal karena Yonathan tidak bisa diajak bekerja sama. Justru memperkeruh suasana. Seharusnya sejak awal Dicky tahu, kalau Yonathan terlampau bodoh dalam hal semacam ini. “Acaranya udah dari bulan-bulan lalu.” Tanpa memedulikan Dicky dan Yonathan, Abimanyu beranjak sembari mengepalkan tangannya. Raut wajahnya nampak sangat kesal. “Gue cabut.” Kalimat itu berhasil membuat Dicky dan Yonathan yang sedang berdebat menjadi panik tidak karuan. Langsung beranjak dan mengejar langkah cepat Abimanyu. Menghentikan aksi Abimanyu yang mungkin akan melepas amarahnya di selasar lantai dua. Tempat di mana Guntur dan Kanaya cs berada. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD