Chapter 11

1711 Words
Malam begitu gelap dan sunyi. Hanya ada rembulan yang menyinari karena bintang tidak menampakkan wujudnya. Ruby terduduk di bangku taman belakang. Akibat pertanyaan Lizzy tadi siang, hatinya tidak tenang. Dia mengingat kembali kenangan bersama mantan kekasihnya. Rasanya terlalu menyakitkan sampai dia menangis terisak-isak. “Kau baik-baik saja, Ruby?” Ruby menarik kedua tangan yang menutupi wajahnya lalu mendongak untuk melihat si pemilik suara. Dalam keadaan air mata yang masih membasahi pipi, dia menangkap kehadiran Desmond di depannya.  “Siapa yang membuatmu menangis?” Desmond menghapus air mata Ruby dengan ibu jarinya. “Tidak seharusnya kau menangis sendirian,” lanjutnya. Ruby tidak bisa memberikan jawaban. Seharusnya dia tahu bukan hanya dirinya yang datang ke taman, melainkan masih ada anak-anak Fred dan para pekerja lainnya. “Bolehkah aku duduk di sini?” tanya Desmond sekali lagi karena tidak mendapat jawaban dari Ruby. Saat melihat anggukan Ruby, dia segera duduk. “Apa yang membuatmu sedih?” “Tidak ada, Tuan. Tadi ada sesuatu yang masuk ke dalam mata saya sampai berair,” jawab Ruby memberi alasan. Dia menggeser posisi duduknya sedikit menjauhi Desmond.  Desmond mengulas senyum lalu melihat Ruby yang juga melihatnya. “Aku tidak suka orang yang senang berbohong. Sejak sepuluh menit lalu kau menangis, aku sudah berada di belakangmu. Kau menangis, bukan karena ada sesuatu yang masuk ke dalam matamu.” Ruby diam membeku. Jika tahu begini, dia menangis di kamar saja, kenapa sampai terbawa suasana menangis di luar? Ini sudah salah karena dia pasti terlihat lemah di depan Desmond yang baru dia temui hari ini. “Kalau kau tidak ingin menceritakannya, tidak masalah. Jangan terlalu sering menangis sendirian. Hatimu pasti merasa sakit jika kau melakukannya sendirian tanpa orang lain di sampingmu,” ujar Desmond yang melihat pemandangan danau buatan yang memantulkan cahaya rembulan di atas airnya. Tidak ada jawaban dari Ruby. Suasana hening dan hanya ada embusan angin yang berhasil merusak tatanan rambut rapi mereka. Sesekali Desmond melihat Ruby yang menunduk. Ada kesedihan yang dapat Desmond tangkap walau pengawalnya tidak mengatakan apa-apa. “Ibuku sering menangis karena aku, Lizzy, dan Mark tidak pernah berada di rumah. Jika Lizzy menikah dan menetap di Paris mengikuti suaminya, maka aku pergi karena pekerjaan, sementara Mark menetap di Moscow karena mengambil gelar masternya. Hal ini membuatku sedih. Aku seringkali mengabaikan keluargaku karena pekerjaan yang padat. Akhirnya aku memutuskan berhenti daripada menambah kesedihan ibuku,” cerita Desmond. Nada bicaranya lebih rendah dan lirih dari sebelumnya. Ruby memandangi Desmond setelah mendengar ceritanya. Bersamaan dengan itu, Desmond menyunggingkan senyumnya saat melakukan hal yang sama. “Apa kau bersedih karena memikirkan keluargamu? Kau merindukan mereka?” tanya Desmond lembut. Kepala Ruby menggeleng dan bibirnya terlihat bergerak seakan siap memberi jawaban.  “Bukan karena memikirkan keluarga. Saya hanya memiliki ayah, tidak tahu ke mana ibu saya pergi karena sejak kecil dia meninggalkan kami berdua,” jawab Ruby. Dia menurunkan pandangannya merasa sedih. Pada awalnya dia bersedih karena memikirkan mantan kekasih, sekarang justru bertambah karena membahas keluarga.  Sejak umur sepuluh tahun, ibunya sudah meninggalkannya berdua dengan sang ayah. Tidak tahu pergi kemana karena ayahnya mengatakan ibunya memiliki kekasih. Tidak ada yang dapat Ruby perbuat selain menjadi sosok yang bertanggung jawab dan menjaga ayahnya dengan baik. Desmond mengusap pundak Ruby sambil terus menunjukkan senyumnya. “Pasti sulit untukmu hidup tanpa kehadiran ibumu. Aku bukan Tuhan, tapi mungkin suatu saat nanti dia akan kembali untuk melihatmu dan ayahmu, Ruby. Tidak ada manusia yang benar-benar melupakan kecuali memang sudah tidak ingin bertemu lagi.” Ruby mengangguk tanpa bersedia menatap Desmond. Beberapa menit kemudian pandangannya tertuju pada Desmond setelah tangan lelaki itu mampir di puncak kepalanya.  “Jangan menangis sendirian. Aku bersedia menemanimu jika kau butuh teman untuk mendengarkan semua isi hatimu. Biar bagaimanapun juga kau manusia, Ruby.” Ruby tertegun sambil menatap mata biru Desmond yang tengah mengusap kepalanya. Dari pancaran matanya, dia dapat merasakan betapa hangatnya lelaki itu dibandingkan yang lainnya. Bahkan Landon yang sudah ramah kalah dengan semua sikap Desmond. “Jadi apakah kau bersedih karena keluargamu?” “Saya pikir Anda sudah melupakan kejadian yang Anda lihat sebelumnya.” Desmond tertawa kecil. Dia mengacak-acak rambut Ruby. “Bagaimana bisa aku melupakannya? Aku sangat penasaran karena aku tidak ingin tiba-tiba pengawalku bunuh diri karena kesedihan yang dia rasakan.” Ruby tertawa kecil. Hal itu membuat Desmond ingin meledeknya. “Kau tertawa sekarang. Aku pikir kau hanya bisa menampilkan wajah tegasmu saja.” Ruby menghentikan tawanya. Dia menggaruk tengkuk lehernya merasa kikuk sambil nyengir seadanya.  Dengan tangan yang terulur sempurna, Desmond berkata, “Mau mencoba mengelilingi danau?” Dia menatap Ruby yang terlihat kaget sekaligus ragu. Oleh karena itu, dia menambahkan, “Tenang saja hanya sebentar, tidak sampai pagi.” “Saya bisa jalan sendiri, Tuan. Silahkan Anda jalan duluan,” ucap Ruby menolak uluran tangannya. “Sekarang bukan waktumu mengawalku. Jalanlah lebih dulu, aku tidak akan membiarkan seorang perempuan jalan di belakangku tengah malam begini.” Desmond membalas sambil mempersilahkan. Ruby bangun dari duduknya lalu menunduk sebentar sebelum akhirnya melangkah lebih dulu yang kemudian disusul oleh Desmond dari belakang. Beberapa kali Ruby melihat ke belakang dan meminta Desmond berjalan bersampingan dengannya namun, lelaki itu menolak. Katanya supaya dirinya dapat menikmati bagaimana rasanya dikawal. “Pelan-pelan supaya kau tidak jatuh.” Desmond mengingatkan saat Ruby menyambut uluran tangannya ketika hendak naik ke atas perahu berukuran kecil yang hanya muat untuk dua orang. “Terima kasih, Tuan Desmond,” balas Ruby setelah duduk di depannya.  Sebelum mendayung, Desmond melepas jaket yang melekat di tubuhnya untuk Ruby. “Jangan dilepas karena udara sangat dingin. Kau bisa sakit.” Ruby mengangguk. Rasanya terlalu aneh berdua dengan Desmond yang baru ditemuinya hari ini. Beberapa saat kemudian Desmond mulai mendayung. Dia tidak membiarkan Ruby melakukannya. Sambil mendayung, matanya melihat langit yang cerah berkat bantuan cahaya rembulan. Suasana sekeliling terasa sunyi namun, masih tetap terang berkat lampu taman yang terpasang sempurna. Ruby ikut memperhatikan langit dan suasana sekitar.  “Kudengar selama hampir lima tahun kau bekerja untuk keluarga Wellington. Kenapa berhenti?” tanya Desmond memulai percakapan bermaksud mengusir keheningan di antara mereka. “Saya dipecat.” “Apa kesalahanmu sampai dipecat? Kudengar keluarga Taron Wellington tidak pernah mengganti pengawal pribadi jika mereka sudah percaya. Berbeda dengan keluargaku. Apa kau membuat putranya terluka?” Wajah Ruby meredup. Dia menjadi sedih karena pertanyaan itu. Hatinya kembali bercampur aduk bersama mata yang berkaca-kaca. Desmond yang menyadari pemandangan tidak biasa di depannya langsung menghentikan kegiatannya. “Saya…” Ruby menggantung kalimatnya. Dia menunduk lalu beberapa menit kemudian melanjutkan, “… dipecat karena menjalin hubungan dengan salah satu keluarga Wellington.” Desmond agak terkejut. Menit berikutnya dia bertanya, “Kau mengencani putranya Taron Wellington?” “Tidak. Taron Wellington memiliki putra bernama Ansel, lalu Ansel memiliki sepupu bernama Brody. Saya mengencani Brody. Memang salah saya. Tidak seharusnya jatuh cinta dengannya.” “Tidak ada yang salah jika kau jatuh cinta dengan sepupunya Ansel. Hanya karena itu keluarga Taron memecatmu?” “Sebenarnya Tuan Taron tidak memecat saya tapi, ayahnya Tuan Taron yang melakukannya. Dia bilang apa kata orang kalau cucunya Brody menikah dengan seorang pengawal. Itu hanya akan merendahkan keluarga mereka.” Ruby menjawab dengan air mata yang ikut menetes. Setiap mengingat bagaimana dirinya dipecat tidak hormat, hatinya terlalu sakit. Terlebih alasannya karena dia mengencani mantan kekasihnya. Kejadian menyakitkan itu baru saja terjadi tiga bulan lalu. Rasanya begitu menyesakkan dadanya karena dia harus putus dari Brody karena ketidaksetujuan kakek Brody. Padahal Taron, majikannya waktu itu, mendukungnya secara penuh. Tapi tetap saja semua kandas begitu saja. Desmond berdecak tidak percaya. “Ini konyol. Bagaimana bisa seseorang berkata seperti itu? Aku tidak menyukai orang yang terlalu merendahkan orang lain. Sangat keterlaluan.” Lambat laun genangan air mata Ruby berubah menjadi isakan yang keras. Desmond yang berada di depannya langsung mengangkat dagu Ruby supaya wajah yang tengah menunjukkan tangis itu dapat terlihat olehnya. “Tidak ada yang berhak menghakimimu atas apa yang kau lakukan termasuk mencintai seseorang. Kakeknya Brody bukan manusia. Dia hanya mementingkan kastanya, bukan perasaan cucunya atau dirimu. Berhentilah menangis, kau layak mendapatkan lebih dari yang sudah membuatmu terluka, Ruby.” Ruby menghentikan isakannya namun air mata itu terus mengalir tanpa henti. Pelan dan lembut, Desmond menghapus setiap air matanya yang jatuh. Berkat tindakannya, sedikit demi sedikit air mata Ruby berhenti. “Pasti berat bagimu meninggalkan Brody. Cepat atau lambat aku yakin kau akan mendapatkan seseorang yang lebih mampu mendekapmu dalam genggamannya. Semua ada waktunya, Ruby.” Ruby menarik senyum tipis. “Terima kasih, Tuan Desmond.” Desmond mengangguk. “Kau bisa mengencani kakak atau adikku. Setelah dipikir lagi keluarga Wellington tidak begitu kaya. Kenapa tidak mencoba berkencan dengan Roger? Atau mungkin Mark?” Ekspresi Ruby langsung berubah. “Tidak, terima kasih, Tuan. Adik Anda terlalu menyebalkan dan kakak Anda terlalu sering berkencan dengan banyak perempuan.” Kalimat terakhirnya dia pelankan karena merasa tidak enak. Desmond tertawa cukup keras mendengar balasan Ruby. Matanya menangkap Ruby kembali menunduk karena merasa tidak enak. “Kalau begitu berkencan denganku saja.” Ruby tersentak kaget. Dia spontan menyahuti, “Eh?” Detik berikutnya dia buru-buru mengganti kalimatnya. "Anda bisa saja bercandanya, Tuan. Lebih baik saya mengencani seorang pengawal.” Desmond kembali tertawa namun lebih pelan dari sebelumnya. Tangannya mengacak-acak rambut Ruby yang sudah berantakan lebih dulu akibat angin semilir yang menerpa.  “Cintailah seseorang yang dapat memberikanmu tiga hal. Satu: cinta, dua: kesedihan, tiga: luka. Jika kau mencintai seseorang tanpa merasakan dua elemen lainnya, maka cintamu tidak lengkap. Lebih tepatnya akan terasa aneh karena hanya merasakan cinta tanpa ada perasaan lainnya.” Ruby tidak sepenuhnya membenarkan kalimat Desmond tapi perkataannya terdengar masuk akal. Selama mencintai Brody dirinya sudah merasakan tiga hal itu termasuk kesulitan saat mereka harus merahasiakan hubungan yang akhirnya terungkap juga. Pada akhirnya semua berujung tidak seperti harapannya.  Sambil menyunggingkan senyum yang mulai melebar sedikit demi sedikit, Ruby menggerakkan bibirnya lalu berkata, “Terima kasih, Tuan Desmond.” “Tidak masalah, Ruby. Kau berhutang membelikanku kopi besok. Jangan lupa.” Ruby tertawa kecil. Perasaannya mulai membaik sekarang. Dia merasa lega sekaligus malu. Kenapa dirinya harus menceritakan hal yang selama ini ditutupi? Tapi jika terus disembunyikan pasti akan ketahuan juga karena keluarga Wellington mengenal keluarga Constantine. Pada saat yang sama, ketika Ruby dan Desmond sedang bercanda tawa, ada seseorang yang memperhatikan mereka dari jauh. Sosok itu duduk di kursi yang Ruby tempati sebelumnya untuk beberapa saat sebelum akhirnya memilih pergi dari sana. * * * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD