Chapter 10

1441 Words
Ruby masih tidak percaya setelah acara makan siang sebelumnya. Dia tidak pernah merasa seperti ini mengingat keluarga Wellington tidaklah penuh rahasia seperti keluarga Constantine. Menyaksikan kelima putra Fred bersama tiga serangkai bermain basket di lapangan basket khusus mansion Michael, menambah rasa penasarannya akan sosok Desmond. Para orangtua sibuk menikmati suguhan kue kering dan chamomile tea. Lizzy yang berada di depannya terduduk memberi semangat kepada kakak-kakaknya. “Sudah berapa lama kau bekerja sebagai pengawal, Ruby?” tanya Lizzy sembari melirik dari balik punggungnya. “Sudah hampir enam tahun, Nona Lizzy,” jawab Ruby pelan. “Enam tahun? Jadi berapa umurmu sekarang?” “Saya berumur dua puluh tujuh tahun, Nona Lizzy.” Lizzy memutar tubuhnya ke belakang dengan wajah terkejut seolah tidak percaya mendengar umur Ruby sudah sematang itu namun wajahnya belum terlihat tua. “Kau masih terlihat muda walau umurmu sudah cukup dewasa. Kenapa belum menikah, Ruby? Atau, kau menundanya? Pasti ada banyak lelaki yang mengantri saat memandangi wajah cantik itu.” Lizzy kembali bertanya. Dia semakin penasaran. Ruby terdiam beberapa saat. Dia berusaha menyembunyikan wajah sedihnya namun, Lizzy sudah menangkap lebih dulu dari sorot matanya. “Sepertinya aku salah bertanya. Lupakan saja. Kau tidak perlu menjawabnya, Ruby.” Ruby merasa tidak enak. Dia akhirnya memberanikan diri menjawab, “Tadinya saya sudah berencana menikah Nona, tapi gagal.” Hal itu menyebabkan Lizzy yang sudah melihat lurus ke depan harus kembali memiringkan tubuhnya sedikit menghadap Ruby. “Kenapa? Dia tidak mencintaimu?” “Bukan karena itu, tapi ada masalah di antara kami.” Lizzy kemudian mengamit tangan Ruby lalu menggenggamnya lembut. “Kau tidak perlu bersedih, karena cinta yang tulus akan datang di saat yang tepat. Seperti halnya aku bersama Caleb. Duduklah di sampingku. Aku akan menceritakan mengenai suamiku.” “Apa tidak masalah kalau saya duduk di samping Anda, Nona?” Lizzy mengangguk lalu menarik-narik tangan Ruby bermaksud memintanya duduk di sebelahnya. Setelah Ruby sudah duduk, barulah Lizzy mulai menatap kembali semua kakaknya yang sedang asyik bertanding basket. “Caleb bukan berasal dari keluarga berada. Sejak SMA sampai kuliah, dia mendapatkan beasiswa. Aku sering berkencan sewaktu SMA dengan lelaki yang memiliki segalanya. Sampai akhirnya aku jatuh cinta dengan Caleb. Aku menikmati hidupku bersama Caleb. Dia mengajarkanku banyak hal termasuk hidup sederhana yang penuh dengan kebahagiaan.” Lizzy menarik senyum saat bercerita. Membayangkan betapa sempurnanya sang suami di mata dia membuatnya bahagia. Lizzy kemudian melihat Ruby, masih mempertahankan senyumnya. “Cinta memang rumit dan berat namun, jika kau jatuh cinta dengan orang yang tepat maka semua akan terasa mudah.” Ruby terdiam dan memaksakan senyumnya. Perempuan itu mengusap punggung tangannya. “Kau pasti akan mendapatkan kebahagiaanmu kelak. Jangan khawatir, karena ada banyak jalan menuju tujuan yang kau inginkan,” kata Lizzy. Kemudian dia melepas tangannya saat melihat suaminya tiba. “Itu dia suamiku. Kau harus berkenalan dengannya.” Caleb tersenyum saat menghampiri sang istri. Lizzy berdiri kemudian mencium bibir suaminya. Pemandangan itu meninggalkan rasa iri Ruby akan hubungan indah yang berakhir bahagia. “Ruby, dia adalah suamiku, Caleb Dean Carter. Aku adalah Mrs. Carter sekarang,” kata Lizzy memperkenalkan. Dia kemudian melanjutkan, “Sayang, dia Ruby. Dia pengawal baru keluargaku.” “Salam kenal, Ruby. Senang berkenalan denganmu.” Ruby dapat melihat betapa cocoknya kedua orang yang sudah menikah selama lima tahun itu. Perlu diakui wajah Caleb tidak kalah tampan dari kelima kakak Lizzy. Dengan wajah setampan itu, tidaklah heran kenapa Lizzy jatuh cinta selain karena kebaikannya. “Kalau begitu aku bergabung dengan kakak-kakakmu sebentar. Mereka mengajakku bergabung,” pamit Caleb sambil mencium kening Lizzy sebelum akhirnya pergi meninggalkan istrinya. Ruby dapat melihat kebahagiaan yang menyelimuti Lizzy sebab, perempuan itu terus tersenyum sejak kedatangan suaminya. Baru kali ini dia menemukan seorang perempuan kaya bersedia hidup dengan lelaki biasa. Apalagi Lizzy tidak meminta bantuan finansial dari ayahnya, dan selalu yakin akan suaminya yang mampu membiayai kehidupannya. Dia salut dengan Lizzy. “Jika kau ingin menikah, maka pilihlah lelaki yang membuatmu merasa kalau kau perempuan paling beruntung sedunia karena berhasil meluluhkan hatinya,” ucap Lizzy tiba-tiba saat memperhatikan suaminya. Ya, benar apa yang Lizzy katakan padanya. * * * * * “Benar kau kembali karena tidak ingin Mom sedih?” tanya Landon saat duduk bersampingan dengan Desmond di kursi penonton. Dia sedang beristirahat bersama Desmond dari permainan basket yang melelahkan. “Tentu saja. Mom sering menangis, aku tidak tega mendengarnya dari Dad,” jawab Desmond. Dia meneguk air putihnya namun pandangannya mengarah ke depan, memandangi Ruby yang sedang berbincang dengan Lizzy. Landon menyadari hal itu. Kebetulan tempat duduk mereka berseberangan dengan tempat duduk yang ditempati Lizzy dan Ruby. Tanpa basa-basi, Landon menerka, “Kau tertarik padanya? Maksudku Ruby.” “Jangan berasumsi yang tidak-tidak. Memandangi bukan berarti tertarik, dan diam tidak memandangi bukan berarti tidak tertarik. Kau selalu melihat dari satu sisi saja,” elak Desmond dengan kekehannya. Landon memutar bola matanya malas. Desmond adiknya tetaplah Desmond yang bijak, meskipun mereka jarang bertemu. Ya, seperti inilah obrolan yang terdengar lebih bermanfaat dibandingan perbincangannya dengan Roger atau kakaknya yang lain. “Baiklah, lupakan. Aku sampai lupa menanyakan kabar Carrie. Bagaimana tunanganmu itu? Apakah dia baik-baik saja?” tanya Landon mencoba mengalihkan pembicaraan lain. “Dia baik dan menitipkan salam untuk kalian semua,” jawab Desmond. “Pekan depan dia akan datang ke rumah. Katanya ingin bertemu kalian semua.” “Kau jadi menikah dengannya? Kapan pernikahan itu akan dilangsungkan?” tanya Landon lagi. Mengingat hanya Desmond yang sudah memantapkan hati untuk menikah, dia perlu mempertanyakan hal ini. Ada helaan napas yang keluar dari mulutnya. Landon bisa menangkap maksud helaan itu sebelum percakapan mereka diinterupsi oleh orang lain. “Jadi kau benar-benar akan menikahi Carrie? Kali ini sungguhan?” sela Edward penasaran yang baru saja duduk di samping Landon. Dia memilih beristirahat karena sudah lelah. Membiarkan Mark, dan Roger bertahan melawan para pengawal. “Mungkin tidak. Entahlah… aku dan Carrie terlalu sibuk memikirkan kapan pernikahan itu akan dilangsungkan. Kalian sendiri tahu dia sibuk mengurus beberapa kasus yang ditanganinya,” jawab Desmond akhirnya. Edward ikut mendesah kasar. “Kenapa percintaanmu rumit sekali? Tapi kalau boleh jujur, Carrie kelihatan lebih senang sendiri. Perempuan itu mandiri, tangguh, dan hebat. Dia mampu bertahan sendiri, mungkin kau hanya sebagai selingan sesaat di saat penat.” Landon menyikut Edward dengan mata melotot. Dia tahu Edward baik, tapi tidak perlu sejujur itu di depan Desmond. Apalagi Desmond baru kembali dan tiba-tiba dikomentari seputar kehidupan percintaannya yang tidak jelas. Terlalu awal mendoktrin Desmond walaupun dia tahu, seberapa banyak yang memberikan komentar mengenai tunangannya, Desmond tetap memilih perempuan itu tanpa memikirkan kembali bagaimana perasaannya yang kerap kali terluka. “Kenapa Carrie bisa peduli dengan urusan orang lain seperti kasus yang ditanganinya, tetapi dia tidak bisa peduli padamu? Aneh sekali,” komentar Edward memanasi. Landon kembali menyikut perut kakaknya. “Shut your mouth, Ed!” Desmond tertawa kecil. Benar apa yang Edward katakan. Tapi tidak adil menyamakan dirinya dengan kasus orang lain. Dua hal yang berbeda. Dia adalah kekasihnya, dan kasus adalah pekerjaannya. Perlu dia akui kalau Carrie lebih berdedikasi pada pekerjaannya dibandingkan hubungan mereka. “Kau benar, Ed. Mungkin kalau kita berpisah, Carrie tidak akan memikirkan alasan kita memilih jalan yang berbeda.” “Kau menginginkan pernikahan secepatnya, dan Carrie menginginkan pernikahan itu ditunda selama mungkin,” ujar Edward. Setelah kalimat Edward, suasana mendadak hening. Desmond memikirkan ucapan kakak tertuanya. Menyadari perubahan ekspresi Desmond, membuat Landon kembali bersuara membahas hal lain. “Oh ya, bagaimana tanggapanmu tentang Ruby, Desmond?” “Dia kelihatan baik. Kurasa dia bisa menandingi Roger,” jawab Desmond. Pupil mata Landon melebar, mulutnya terbuka menggumamkan kalimat ‘wow’ saat mendengar komentar adiknya. “Bagaimana kau tahu? Dia sering sekali bertengkar dengan Roger. Beberapa waktu yang lalu Roger menginjak gaunnya sampai Ruby jatuh dan terkilir, lantas mendorongnya ke danau, dan hampir memukulnya saat berdebat. Adikmu itu benar-benar di luar batas. Akal sehatnya sudah hilang,” cerita Landon. “Seandainya kau jatuh cinta dengan Ruby, apa yang akan kau lakukan?” tanyanya tiba-tiba. “Itu pertanyaan? Sungguh, kau menanyakan pertanyaan seperti itu kepada Desmond? Perasaannya saja sedang tidak karuan,” sahut Edward. “Berikan pertanyaan yang lebih menenangkan hatinya!” Desmond tertawa selama beberapa saat sebelum akhirnya memberi jawaban. “Seandainya aku jatuh cinta padanya, maka aku akan menjadikannya milikku. Ini jawaban ketika aku sudah tidak bersama Carrie. Kalau masih bersama Carrie, aku akan mengabaikan perasaan itu dan tetap memilih Carrie.” “Kalau Landon yang disuruh menjawab, jawabannya pasti dia akan mengencani Ruby, dan Vika bersamaan,” ledek Edward. “Sialan!” Desmond dan Edward tertawa keras meledek Landon yang terlihat tidak suka akan ledekan itu. Tapi ya mereka mengenal Landon—si playboy yang tidak rela kalau harus memilih antara Vika atau para selingkuhannya. * * * * *  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD