Chapter 5

2197 Words
Ruby melangkah terpincang-pincang akibat ulah Roger yang mengesalkan. Untuk melangkah saja rasanya sakit bagaimana berlari jika sewaktu-waktu para pangeran Constantine kabur seperti Edward kemarin? Kalau dipikir kembali, hal ini tidak luput dari kesalahan Edward. Lelaki itu yang membuatnya harus mengenakan sepatu berhak berlancip runcing yang dia benci. Tapi di balik semua musibah yang melanda, setidaknya ada satu yang berbaik hati padanya, Mark. Sejak kemarin mengantarnya ke kamar, lelaki itu memijat kakinya yang terkilir—seperti halnya sekarang.  “Ruby, apa kakimu sudah baikan, Sayang?” tanya Anna yang saat ini berada di kamar mansion keluarga Fred yang ada di London. “Sudah membaik, Nyonya. Saya baik-baik saja,” jawab Ruby berbohong. Mark sedang berlutut sambil memeriksa kaki Ruby yang terlihat membiru. Dia yakin Ruby berbohong sehingga dia sengaja menekan titik sakit yang diakibatkan oleh kejadian kemarin. Meskipun Ruby tidak meringis namun, ekspresinya menunjukkan rasa sakitnya. “Kakinya masih sakit, Mom. Dia tidak perlu ikut dengan kita. Biarkan dia beristirahat,” kata Mark. “Kalau begitu kau menetap di sini saja ya, Ruby. Aku tidak ingin memperburuk kondisi kakimu. Istirahat sebentar, semoga besok dapat pulih kembali.” Anna mengusap kepala Ruby seolah gadis itu anaknya. Kalau boleh jujur, dia merindukan putri kecilnya. “Tapi maaf Tuan dan Nyonya, saya akan tetap menemani dan menjaga kalian. Saya tidak bisa menjadikan sakit ini sebagai alasan. Saya baik-baik saja,” ucap Ruby merasa yakin. Mark memijat lembut pergelangan kaki Ruby. Sesekali dia memandangi Ruby yang bersikeras akan keinginannya. “Kau yakin? Untuk berjalan sepertinya akan sakit. Kakimu akan semakin membengkak,” kata Mark mengingatkan. Menyadari Ruby akan menjawab, dia melanjutkan, “Coba kau berjalan dari tempatmu menuju tempatku. Kuyakin kakimu sakit.” Mark berdiri lalu mundur lima langkah dari tempat Ruby berada. Dia menatap serius seakan menantang Ruby yang masih keras kepala. Anna terlihat was-was sendiri ketika putranya meminta Ruby melakukan itu. Ruby sedikit ragu. Tapi, jangan panggil dirinya Ruby King jika terlihat lemah walau sebenarnya terkilir itu sangat menyakitkan. Pelan-pelan Ruby mencoba jalan walau terpincang-pincang sambil berusaha menahan sakit supaya ekspresinya tidak menunjukkannya. “Saya baik-baik saja, Tuan. Saya masih mampu menjalankan tugas saya sebagai pengawal,” ucap Ruby setelah berdiri menghadap Mark sambil memaksakan wajah tegasnya. “Terserah kau saja. Jika memaksa, kakimu akan biru. Kalau sudah biru, kau akan lebih sulit melakukan apa pun, Rubborn,” ucap Mark. Adanya kernyitan dari dahi Ruby soal panggilan terakhir membuat Mark mendekati telinga Ruby lalu berbisik, “Ruby stubborn. Rubborn.” Aroma wangi tubuh Mark dan suara lembutnya terasa menggelitik bulu kuduknya sampai berdiri. Panggilan Rubborn mengingatkan dirinya akan ketiga putra Fred yang sudah memiliki panggilan masing-masing untuknya kecuali Landon. “Ruby, benar kata Mark, kau perlu istirahat. Jangan terlalu memaksakan dirimu. Semua orang pasti pernah sakit. Diam di mansion saja karena malam ini kami akan pergi ke pesta jadi kalau kau ikut akan kerepotan. Kakimu perlu istirahat,” ucap Anna merasa khawatir. Ruby tetaplah Ruby. Dia berdedikasi tinggi dengan pekerjaannya sehingga sakit yang tidak terlalu parah selama dia masih mampu berjalan, melihat, dan bicara, maka dia akan tetap melakukan tugasnya. “Maaf Nyonya, saya akan tetap menjalankan perintah seperti biasa. Saya baik-baik saja.” Mark menatap ibunya seolah memintanya untuk membujuk Ruby menghilangkan keras kepalanya. Anna tidak bisa membantu Mark karena ucapan Ruby sudah meyakinkannya kalau perempuan itu tidak akan mengubah tekadnya, sehingga dia mengangkat bahu tanda menyerah. “Baiklah, kau boleh ikut tapi bukan menjaga kami. Roger yang menyebabkan kakimu luka jadi sebagai permintaan maaf, kau harus duduk di sana. Biarkan pengawal lain yang mengurus anak-anakku. Setuju?” Anna menangkup kedua pipi Ruby sambil menarik senyum lebar. Ruby tidak punya pilihan. Dia tidak ingin disebut pembangkang oleh majikannya karena menolak permintaan untuk beristirahat. Beberapa menit terdiam akhirnya Ruby mengangguk setuju.  “Istirahat saja dulu sekarang. Semua putraku sudah ada yang menemani. Kau tunggu di sini dan nanti malam kita akan pergi.” Anna mengusap kepala Ruby lalu menepuk pundak Mark bermaksud pamit keluar kamar. Mark yang ditinggal sendirian oleh ibunya langsung menatap Ruby. “Seandainya kakimu semakin biru, jangan bersikeras untuk tetap mengawal. Kau bukan robot, Rubborn.” Kemudian dia pergi meninggalkan Ruby. Ruby bersyukur keluarga Constantine sangat baik padanya terutama Anna dan Fred. Jangan lupakan Mark yang selalu perhatian padanya. Ya, dia harus berterima kasih kepada lelaki itu setelah bersedia merawat kakinya kemarin. “Semoga saja kaki ini tidak menyusahkan. Cepatlah sembuh!” Ruby berdialog sendiri sambil mengacak rambutnya kesal. Tanpa Ruby sadari, dari luar pintu kamarnya yang belum tertutup rapat, ada sosok yang mengintip dan memperhatikannya. Sebelum ketahuan, sosok itu sudah pergi lebih dulu. * * * * * Ruby menyesali keputusannya mengatakan setuju akan kalimat Anna sebelumnya karena Anna meminta hairstylist dan make up artist ternama merias dirinya. Ruby mengenakan backless dress warna hitam dan kakinya dibiarkan memakai sandal. Bukan sembarang sandal karena harganya ratusan ribu dollar. Saat ini dirinya duduk di kursi yang disediakan khusus oleh penyelenggara pesta untuk keluarga Constantine. Anna baru saja duduk di sampingnya setelah mengambilkannya minuman. “Bagaimana menurutmu pesta yang terlihat membosankan ini?” Anna bertanya sambil meneguk champagne yang berada di tangannya. Belum sempat Ruby jawab, dia sudah menambahkan, “Kau cantik seperti putriku. Aku semakin merindukannya.” Ruby memandangi Anna yang duduk di sampingnya. Ingin rasanya bertanya alasan Lizzy atau akrab disapa Liz menetap di Paris ketimbang tinggal di mansion mewah keluarganya. “Liz memutuskan menikah saat berumur tujuh belas tahun. Dia anak yang mandiri dan berkomitmen dengan hidupnya. Apa yang dia ambil, maka itu yang dia jalani dan tekuni. Seperti kehidupannya sekarang, menikmati menjadi desainer yang merambat dari nol dan menikahi lelaki yang dia cintai. Dia tidak manja, bahkan dengan semua kakaknya pun tidak, sehingga rasanya sangat sulit memanjakan Liz yang terlalu dewasa,” cerita Anna lirih. Dirinya merindukan putrinya. Lima tahun telah berlalu sejak putrinya memutuskan ikut suaminya dan belum pernah pulang ke Manhattan. Ruby terkejut mendengar Lizzy sudah menikah dan berani mengambil keputusan menikah di usia belia. Dia memang sempat membaca berita mengenai Lizzy, tapi tidak menemukan artikel perihal pernikahannya. Entah mungkin dirinya kurang teliti atau dia hanya sekadar membaca biodata singkat Lizzy. Anna menghela napas sebelum akhirnya kembali bicara. “Seharusnya aku tidak mengizinkannya menikah. Rumah terasa sepi sekali tanpanya.” “Beruntung Liz menikah, Mom. Jika tidak dia akan menjadi sosok yang pemilih seperti Edward,” sela Mark yang baru datang sambil tersenyum melihat ibunya. “Edward sudah membujuknya pulang, Mom. Jangan bersedih lagi.” Ruby memandangi wajah tampan Mark yang menawarkan kesempurnaan yang lelaki itu miliki. Senyum yang jarang ditunjukkan, terukir walau sangat tipis. “Kau memang pengertian. Aku bersyukur kau sudah kembali ke rumah.” Anna memeluk Mark setelah mendengar penuturan itu. Berulang kali dia mengecup pipi putranya karena senang. “Kalau begitu aku akan menghampiri ayahmu dulu.” Selepas kepergian Anna, Mark memangkas jarak antara dirinya dengan Ruby. Dia mengulurkan tangannya pada perempuan itu. “Kau tidak bosan hanya duduk dan melihat sekitar? Berdansalah denganku.” Ruby tidak diberi kesempatan menolak karena Mark sudah lebih dulu mengamit tangannya. Suka atau tidak suka, dia mengikuti Mark yang menuntunnya menuju lantai dansa. “Maaf Tuan, tapi seharusnya saya duduk saja,” ucap Ruby merasa tidak enak sesaat menyadari tatapan sinis beberapa perempuan padanya. Sungguh, tatapan itu menakutkan, bahkan lebih menakutkan dari tatapan seorang penjahat. “Tidak apa-apa, aku sengaja. Aku tidak ingin berdansa dengan siapapun tapi mereka memaksa. Maaf aku menggunakanmu supaya mereka berhenti memaksa.” Mark menjelaskan maksudnya. Ruby langsung mengerti. Ternyata ini alasan Mark mengajaknya berdansa. Di seberang sana, matanya menangkap Landon berdansa mesra dengan seorang perempuan. Playboy sekelas Landon sepertinya tidak tahan untuk tidak menggoda perempuan cantik.  Sementara Edward dan Roger tidak terlihat di ruang ballroom yang mewah ini, entah ke mana perginya dua lelaki itu. “Kita pelan-pelan saja karena kakimu sakit.” Setelah tangan mereka berdua saling bertautan, Mark mulai menuntun Ruby supaya mengikuti langkahnya. Dengan susah payah Ruby mengikuti langkah Mark, bukan masalah kakinya sakit tapi dia tidak pernah berdansa. Beruntung Mark seolah mengerti jika ini adalah pertama kalinya untuknya. Ruby memandangi iris hijau Mark dari jarak yang sangat dekat. Tangan dingin Ruby mendadak hangat berkat genggaman lelaki itu. Ada senyum tipis yang terukir di wajah tampannya. “Matamu indah.” Mark memuji jujur. Dia tidak berhenti menatap iris hijau Ruby yang berwarna sama seperti miliknya. Gadis itu tampak biasa saja saat dia memujinya. Tidak seperti kebanyakan perempuan yang langsung tersipu malu. “Terima kasih, Tuan Mark.” Mark menarik senyum lebih lebar sebelum menyampirkan sehelai rambut yang berantakan. “You are welcome, Rubborn.” Di tengah dansa yang masih berlangsung, saat kedua mata masih tetap menatap satu sama lain, ada suara lain yang mengganggu kegiatan mereka. Kalimatnya cukup mengganggu telinga. “Kalian tidak perlu bertatapan selama itu. Ini bukan syuting film romansa. Aku ingin bicara dengan si tengkorak hidup.” Tanpa melihat wajahnya, Ruby sudah mengetahui manusia bermulut menyebalkan itu adalah Roger. Ya Tuhan… ia ingin memukul kepala lelaki itu! “Kau ingin menyakitinya lagi?” Roger memutar bola matanya malas. “Kalau ingin menyakitinya lagi, sudah aku pukul kepalanya dengan gelas berkaki yang kupegang sejak tadi. Aku ingin bicara penting. Kau tidak perlu tahu urusanku dengan si tengkorak,” jawab Roger sambil meneguk champagne miliknya. Mark menghentikan dansa mereka. Dia menatap serius adiknya. “Aku percaya padamu. Jangan sampai kau membuat kesalahan yang sama.” Ruby hendak melayangkan protes kepada Mark karena menyetujui permintaan adiknya. Sialnya lelaki itu sudah pergi meninggalkannya berdua dengan si mulut besar. Gezz! Lebih baik dia menunggu di kursi walau membosankan daripada bicara dengan Roger. “Aku tidak ingin bicara di sini karena terlalu ramai. Kita bicara di luar,” ajak Roger yang sudah melangkah lebih dulu. Ruby segera mengikuti namun dengan langkah lambat. “Apakah sesakit itu? Kau lemah sekali,” kata Roger mengejek. Ruby menahan diri untuk tidak mengeluarkan ilmu beladirinya. Anggap saja dia mendapat cobaan yang cukup menyita kesabaran. “Siput saja mungkin lebih cepat darimu,” ejek Roger lagi. “Maaf Tuan, saya akan mempercepat langkahnya,” kata Ruby mencoba sabar. Ruby mempercepat sedikit langkahnya namun, gagal. Rasa sakit di kakinya cukup menyiksa. Tapi setelah dia perhatikan lagi, Roger tidak meninggalkannya. Lelaki itu ikut memperlambat langkahnya bermaksud menunggunya. Dia pikir Roger setega itu, ternyata masih punya hati. “Aku tidak akan berbasa-basi. Aku minta maaf sudah membuat kakimu sakit. Sebenarnya aku sengaja, aku tidak akan memberi alasan jika aku tidak sengaja. Hanya saja tindakanku meresahkan semua keluarga makanya aku minta maaf. Ya, aku melakukan ini atas permintaan salah satu kakakku juga.” Ruby mengerutkan dahinya terheran-heran. Jadi Roger tidak merasa bersalah dan meminta maaf atas permintaan salah satu kakaknya? Dia tarik kembali pujiannya soal Roger masih memiliki hati. Tidak sama sekali! “Jadi kau tidak berniat minta maaf?” Kalimat tidak formal itu spontan keluar dari mulut Ruby yang sudah kesal. “Kau berani bicara padaku tanpa menggunakan panggilan yang sopan? Ini yang aku maksud, aku tidak perlu minta maaf kepadamu. Buang waktu,” jawab Roger ikut marah. Ruby mencoba sabar. Dia menahan tangannya yang sudah gatal ingin meninju wajah tengil Roger. Melihat Ruby mulai kesal, Roger tertawa keras. Roger hanya ingin menggoda Ruby yang dia yakini sejak kemarin sudah marah padanya. Gadis itu menunjukkan tatapan heran bercampur bingung kepadanya. “Aku hanya bercanda. Aku memang berniat minta maaf padamu. Kuharap kau memaafkanku,” ungkap Roger. Belum ada kesempatan menjawab, Roger sudah kembali melanjutkan, “Kau bersedia memaafkanku bukan, Tengkorak?” Ruby tidak marah, tapi sempat kesal karena tindakan Roger mengakibatkan dirinya sulit untuk melakukan apa pun dengan cepat. Tapi dia tidak boleh menyimpan dendam dan akhirnya menganggukkan kepala. “Iya Tuan, saya memaafkan Anda.” “Kalau begitu aku akan masuk ke dalam. Tapi sebelum itu…” Roger menjeda kalimatnya lalu melepas jas hitam miliknya. “… jangan terlalu lama di sini. Udaranya dingin.” Dia menutupi bagian pundak Ruby yang terekspos dengan jas miliknya. Ruby terkejut mendengar hal itu. Dia pikir Roger akan bersikap menyebalkan, ternyata tidak. Lelaki itu melangkah pergi. Belum seberapa jauh, lelaki itu menoleh ke belakang padanya. “Kau benar soal Delilah. Dia yang menggoda lelaki itu lebih dulu. Aku sudah melihat rekaman CCTV-nya,” ucap Roger. “Terima kasih sudah memberitahuku soal hal itu.” Ruby berteriak gembira. Dia tidak salah dan asal menuduh. Berhubung dia penasaran, dia memberanikan diri bertanya. “Sudah sepantasnya saya memberitahu Anda soal hal itu, Tuan Roger. Maaf mungkin pertanyaannya terdengar lancang, tapi apakah Anda masih akan tetap mempercayainya?” Roger menarik senyum miring. Dia mengangguk lalu menjawab, “Tentu saja. Aku akan tetap mempercayai perempuan yang sudah bersamaku selama tiga tahun.” Setelah kalimat itu, Roger benar-benar pergi meninggalkan Ruby sendirian. Melalui jawaban Roger sebelumnya, Ruby menjadi penasaran akan semua informasi mengenai putra Fred yang memiliki sifat sulit ditebak. Dia mengetikkan nama Mark dan Roger. Dia penasaran bagaimana kisah cinta dua lelaki itu yang nampaknya amat misterius. Dan… Ruby dibuat tercengang. Dia tidak menyangka jika seorang Roger yang tengil dan menyebalkan itu jarang berganti kekasih. Jangka waktu paling sebentar dalam menjalin hubungan sekitar dua tahun, sementara paling lama tiga tahun yang mana bersama kekasihnya sekarang. Berbeda dengan Mark, sosok yang dia pikir setia justru dikenal mudah bosan sehingga berganti kekasih sudah seperti makanan sehari-hari. Ternyata semua sifat mereka memang perlu digali lebih dalam lagi, tidak boleh ditebak-tebak. * * * * *  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD