Chapter 6

1412 Words
Ruby duduk memandangi danau buatan sebelum bertugas. Seperti mansion Fred di Manhattan, mansion yang ada di London juga memiliki danau buatan sendiri. Suasana sejuk, dan cuaca cukup cerah. Dalam keheningan yang menenangkan, Ruby mendengar ada suara lain yang mendengung di telinganya saat dia menutup mata dan menghirup udara segarnya. “Bagaimana kakimu? Sudah lebih baik atau semakin buruk?” Ruby membuka kelopak matanya, menoleh ke samping, lalu tersenyum tipis sesaat menyadari keberadaan Mark tepat di sebelahnya. Lelaki itu berjongkok dan memeriksa keadaan kakinya yang bengkak kemarin. “Kakinya sudah membaik, Tuan.” “Kulihat belum membaik sepenuhnya.” Mark berdiri namun matanya tetap memandangi kaki Ruby. “Kurasa kau butuh istirahat karena bengkak di kakimu tambah parah.” “Saya baik-baik saja, Tuan.” Ruby terus mengelak, meyakinkan lelaki itu supaya tidak menyuruhnya beristirahat. “Anda akan pergi sekarang? Hari ini saya yang akan mengawal Anda, Tuan.” Mark tidak mengerti kenapa Ruby sekeras itu menolak beristirahat. Kalau dikatakan ingin bekerja, percuma saja. Jalan lebih cepat saja mungkin tidak akan sanggup. Kalaupun sanggup, itu memaksakan diri dan berakibat lebih buruk lagi. Ruby termasuk pengawalnya yang paling keras kepala, mengingat beberapa pengawalnya yang sakit pasti akan memilih beristirahat dulu. “Aku tidak akan ke mana-mana. Kawal aku naik perahu dan mengelilingi danau,” kata Mark sambil berjalan maju beberapa langkah. “Aku ingin naik perahu, cepatlah,” lanjutnya. Ruby mengikuti pergerakan Mark dari belakang. Dia ikut naik ke atas perahu dengan bantuan Mark yang memegangi tangannya supaya tidak jatuh. Setelah bokongnya berhasil duduk, lelaki itu memintanya mendayung. Katanya ini sebagai kegiatan mengawal yakni, mengarungi danau yang luas. Ruby tidak membantah, dia terus mendayung sementara Mark menikmati pemandangan sekitar. “Indah pemandangannya,” komentar Mark setelah mengedarkan pandangannya melihat sekeliling. Karena sekarang mereka sudah berada di tengah danau. Ruby menghentikan kegiatan mendayung, dan dia menikmati keindahan yang menjadi pusat perhatiannya. “Kudengar sebelumnya kau bekerja untuk keluarga Wellington?” Ruby yang awalnya sibuk menikmati panorama sekitar, tersentak karena pertanyaan tiba-tiba itu. Dia mengangguk pelan sambil mengucapkan kalimat ‘iya’. Dia pikir pertanyaan itu hanya sebatas awal dan akhir dari pembicaraan, ternyata tidak. Ada pertanyaan lain yang ditanyakan oleh Mark padanya. “Untuk siapa kau bekerja? Taron Wellington, atau Dask Wellington?” “Taron Wellington, Tuan.” “Oh.” Tanggapan itu muncul sebagai akhir dari pertanyaan Mark. Dia memilih fokus memandangi sekitar ketimbang mempertanyakan hal-hal yang sebenarnya bukan urusannya. Jika ditanya apakah dia mengenal keluarga Wellington, tentu saja dia mengenal mereka, tapi tidak akrab. “Bagaimana alergi Anda, Tuan? Apakah sudah sembuh?” Ruby memberanikan diri bertanya. Beberapa hari terakhir dia melihat Mark sudah baik-baik saja, tapi dia merasa perlu mempertanyakan itu. “Sudah, kau tidak perlu khawatir. Beruntung kau memakai parfum pemberianku jadi aku tidak perlu menggaruk seluruh tubuhku karena gatal,” balas Mark. Ruby bernapas lega. Ya, dia memang menggunakan parfum pemberian Mark meskipun tidak mengawal lelaki itu. Menjadi kebiasaan terbarunya karena takut sewaktu-waktu berpapasan dengan Mark, dan dia tidak ingin alergi lelaki itu muncul. Bicara soal alergi, pantas semua mansion Fred tidak ditanami bunga-bunga, hanya daun-daun hijau yang dihias secantik mungkin. Perbincangan mereka berhenti begitu saja karena Mark tidak bertanya lagi, dan Ruby memilih diam. Sambil menikmati udara sejuk dan indahnya suasana sekitar, mereka terdiam dalam hening. Ada suara kicauan burung yang mengisi keheningan, serta cipratan air dari batu kerikil yang Mark lempar ke dalam danau. Beberapa menit larut dalam keheningan hingga akhirnya Mark kembali bersuara. “Luruskan kakimu,” perintah Mark. Ruby menatap heran. “Maaf, Tuan?” Mark tidak mengatakan apa-apa tapi langsung menarik pelan kaki Ruby sampai lurus dan bertumpu pada pahanya. Sebelum mendatangi danau, Mark sudah membawa dua benda dalam genggamannya; beberapa batu kerikil dan spidol. Dengan cepat dia menuliskan kalimat pada kaki Ruby yang bengkak. Beruntung pengawalnya tidak berontak dan membiarkannya melakukan apa yang dia inginkan. “Cepat sembuh, Rubborn.” Ruby menurunkan pandangannya pada kaki yang sudah diturunkan dari paha Mark. Dia mendapati tulisan ‘get well soon, Rubborn’ yang dituliskan oleh Mark menggunakan spidol. Entah jejak spidolnya dapat dihapus dari kulit kakinya atau tidak, karena Ruby tidak bertanya lebih jauh. Dia memandangi Mark yang tengah menatap pantulan dirinya di atas air danau yang jernih. Meskipun dirinya mengenal Mark sebagai sosok yang menyebalkan di awal pertemuan mereka, tapi setelah diperhatikan kembali, lelaki itu yang paling baik dan perhatian. Beberapa menit mereka menikmati embusan angin di tengah danau, akhirnya mereka berdua kembali ke daratan. Mark membantu Ruby naik ke atas deck dengan uluran tangannya. Perempuan itu berterima kasih padanya. Mark tersenyum membalas ucapannya namun, senyum itu pudar setelah mendengar kalimat yang tidak terduga. “Kalian berkencan? Mesra sekali sampai mengelilingi danau.” Roger tersenyum meledek menatap kakaknya dan Ruby bergantian. Dia hendak pergi keluar tapi ada pemandangan menarik yang membuatnya datang ke danau. Iya, melihat keseruan kakaknya bersama Ruby mengarungi danau yang luas. “Tutup mulutmu,” sahut Mark. Malas meladeni adiknya, dia memilih pergi berlalu tanpa pamit. Roger tertawa mengejek. “Apakah ini siasatmu untuk merayu kakakku? Kau ingin menjadi bagian dari keluarga Constantine?” “Tidak, Tuan.” Ruby mencoba sabar. Tuduhan tak beralasan itu membuatnya kesal. Kalau memang dia ingin mengencani putra milyuner, kenapa tidak mengencani putranya Taron Wellington? Keluarga Wellington kaya raya. “Apakah Anda membutuhkan sesuatu untuk meredam kecurigaan?” lanjutnya dengan nada sinis. Cukup bagi Ruby hanya diam dan membiarkan Roger menginjaknya. Sikap lelaki itu tidak bisa diprediksi—sebentar baik, sebentar jahat, dan sebentar menyebalkan. Ruby melangkah mundur seiring Roger yang terus maju sambil menatapnya sinis. Setelah beberapa langkah, dia memberanikan diri menatap Roger sekaligus diam di tempat. “Katakan padaku sekali lagi apa yang kau ucapkan sebelumnya?” tanya Roger masih dengan tatapan sinisnya. Ruby mengulang pertanyaannya. “Apakah Anda membutuhkan sesuatu untuk meredam kecurigaan?” “Kau berani bertanya seperti itu padaku?” “Maafkan saya, Tuan. Saya tidak bermaksud.” Roger berdecak kasar. “Tidak bermaksud katamu? Cih! Seperti waktu itu saja, kau mengatakan kalimat yang membuatku dan kekasihku kesal. Kalau kau bilang tidak bermaksud, kenapa tatapanmu sesinis itu padaku? Kau berani menunjukkan tatapan seperti itu pada tuanmu?” Belum berkesempatan membalas, suara Roger terdengar lebih nyaring dengan wajah kesal yang tercetak jelas. “Aku menyesal sudah minta maaf padamu. Sepertinya memang benar, kau harus menerima penderitaan dariku.” Detik itu juga, Roger mendorong tubuh Ruby yang berada di ujung deck sampai tercebur ke dalam danau. Tubuh Ruby masuk ke kedalaman air danau yang tidak terlalu dalam. Dia berusaha berenang naik ke permukaan namun, kakinya keram. Berusaha naik, namun gagal sampai dia terpaksa menaikkan tangannya ke atas bermaksud meminta pertolongan Roger yang menertawakannya di atas sana. “Jangan berpura-pura tenggelam. Aku tahu kau bisa berenang,” kata Roger. “Sudahlah, aku pergi.” Sesaat Roger berbalik badan, dia melihat Mark berlari cepat dan masuk ke dalam danau. Roger refleks memutar kembali badannya, lalu mengintip sedikit Mark yang menolong Ruby. Kakaknya menggendong tubuh Ruby dan mendudukkannya di atas deck. Pengawalnya itu terbatuk-batuk, sementara Mark menatapnya tajam setelah berada di atas deck. “Kau sudah gila?! Tidak cukup kau membuat kakinya terluka?? Apa harus kau melakukan itu kepada pengawalmu? Di mana kau menyimpan otakmu?” Mark memaki Roger dengan nada tegas dan tinggi sambil menunjuk Ruby yang basah kuyup. “Aku tidak…” “Tidak bermaksud mendorongnya? Aku melihat semua kejadian itu. Berhentilah bersikap kekanak-kanakan, Roger!” potong Mark tambah kesal. Mark menggendong Ruby yang kedinginan. Dia menatap adiknya masih dengan tatapan yang sama. Dia tahu Roger sering mencelakai Hans, pengawal mereka dulu, tapi dia tidak menyangka adiknya berani melakukan itu kepada pengawal perempuan mereka. “Jangan mengulang kebodohanmu. Gunakan otakmu untuk memikirkan hal yang lebih baik,” kecam Mark yang kemudian segera membawa pergi Ruby bersamanya. Meskipun Ruby sempat menolak, namun Mark bersikeras menggendong perempuan itu. Pada saat yang sama, Landon datang dan menatap Mark bingung. “Apa yang terjadi? Kenapa kalian basah kuyup?” “Tanyakan pada adikmu yang bodoh itu,” balas Mark. Landon segera mendekati Roger. Dia membiarkan Mark lewat dan membawa Ruby pergi. Tangannya menepuk pundak adiknya dengan mantap. “Pasti ulahmu membuat Ruby seperti itu. Kau mendorongnya ke danau?” Roger tidak menjawab tapi kepalanya mengangguk. “Gezz! Apa yang kau pikirkan?? Kau bersungguh-sungguh ingin Ruby menderita?” Landon berdecak kasar. “C’mon, Roger! Berhentilah. Kau akan membuatnya berhenti kalau sikapmu seperti ini.” Roger menarik senyum miring lalu meninggalkan kakaknya. Sebelum pergi, dia menjawab lebih dulu. “Iya. Aku ingin membuatnya berhenti.” “Kau serius, Roger?? Hey—Roger! Tunggu!” * * * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD