Chapter 4

2222 Words
Seperti yang sudah direncanakan, keluarga Fred pergi ke London. Semuanya turun dari mobil. Mereka akan menemui keluarga yang menjadi calon tunangan Edward di salah satu restoran yang berada dalam hotel mewah berbintang lima di kota London. Pada saat yang sama, Edward berlari secepat mungkin meninggalkan semuanya. “Edward!!” teriak Fred kaget saat menyadari hal itu. Ruby bersama beberapa pengawal langsung mengejar Edward yang melewati kerumunan pejalan kaki. Lelaki itu seperti anak kecil yang bersikeras menolak pilihan ibunya. Semua pengawal berpencar di setiap penjuru jalan yang ada. Mereka diperintahkan mencari Edward sampai ketemu. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Ruby mengambil rute jalan kecil yang rasanya pasti dilewati oleh Edward, dan baru beberapa langkah ada tangan yang menarik tubuhnya. Tangan besar itu membekap mulutnya yang nyaris berteriak. “Jangan berisik,” bisik Edward. Beruntung saja Ruby tidak menyikutnya, kalau iya, Edward bisa kesakitan. Lelaki itu menyadari beberapa pengawal berlari melewati jalan yang dipilih Ruby untuk mencarinya. Mereka berdua bersembunyi di balik dinding, dan tidak ada yang menyadari akan keberadaan mereka. “Kau harus membantuku kabur dari kota ini. Aku tidak ingin bertunangan,” ucap Edward setelah memastikan keadaan aman lalu melepas Ruby. “Maaf Tuan, Anda seharusnya kembali. Nyonya dan Tuan Constantine akan—” Belum selesai bicara, Edward sudah melangkah pergi meninggalkan Ruby. Dengan cepat Ruby mengejarnya. “Tuan, Anda harus kembali. Jangan mencoba bertindak lebih jauh atau saya akan melakukan hal yang tidak Anda inginkan.” Edward mengabaikan. Dia tidak merespons dan terus melangkah semakin jauh tanpa bersedia menoleh ke belakang meskipun Ruby sudah memanggilnya berulang kali dengan nada yang cukup tinggi. “Tuan Edward Constantine! Saya mohon Anda untuk berhenti dan segera kembali sebelum saya melakukan tindakan yang akan Anda sesali!” tegas Ruby setengah berteriak sambil mengejar langkah Edward. Edward tidak menanggapi. Dia menaikkan tangannya ke udara bermaksud memanggil taksi yang lewat. Setelah taksi berhenti, dengan cekatan dan terpaksa, dia membopong tubuh Ruby masuk ke dalam taksi. Karena tidak ada antisipasi dari perempuan itu, usahanya berhasil. Dia meminta sopir taksi melajukan mobilnya sebelum Ruby keluar. “Tuan Edward, saya tidak bercanda. Lebih baik Anda—” Edward menaruh jari telunjuknya di bibir Ruby yang membuatnya terpaksa berhenti bicara. Dengan posisi yang sedikit miring ke samping menghadapnya, Edward menampilkan wajah dingin tanpa senyum. Sorot matanya terlihat tajam dan dingin. “Lebih baik kau diam dan membantuku berpura-pura menjadi calon istriku daripada terus mengajakku kembali. Aku akan kembali, tapi denganmu sebagai senjata baruku,” ucap Edward. Setelah menarik jari telunjuknya, Ruby kembali menggerakkan bibirnya. “Tapi Tuan, saya tidak mau membantu Anda. Orangtua Anda akan—” “Marah? Seandainya mereka memecatmu maka aku yang akan mempekerjakanmu di rumah. Jangan terlalu takut, kau tidak mungkin dipecat karena membantuku,” sela Edward yang kembali melihat jalanan lurus. “Tapi Tuan Edward, saya tidak ingin—” “Jangan menolak terus. Ikuti saja apa yang aku perintahkan nanti, Rubicorn.” Edward menyela untuk terakhir kalinya sebelum dia benar-benar diam dan larut memainkan ponsel yang baru dia ambil dari saku celana. Tidak ada yang dapat Ruby lakukan. Seharusnya sebelum Edward menghentikan taksi, dia pukul saja kepalanya. Kalaupun pingsan, dia akan mengatakan Edward menabrak tiang atau apalah itu. Sialnya nasi sudah menjadi bubur. Dia terpaksa mengikuti kemauan anak sulung Fred. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya karena dia sudah menduga semua akan berakhir buruk. * * * * * Edward ke hotel lain untuk dirias demi menjalankan rencananya. Dia memandangi Ruby yang tengah dirias oleh make up artist ternama di London. Tidak dia sangka pengawalnya sangat cantik sampai dia baru menyadari kulitnya putih dan bersinar. “Aku sudah memilihkan gaun yang tepat untukmu. Aku tidak menyukai bunga mawar sebesar itu sebagai hiasan kepala. Mark alergi jadi kau perlu menyingkirkannya. Katakan kepada hairstylist-nya untuk menguncir rambutmu saja.” Edward berkata sambil bersandar di ambang pintu. Ruby melirik Edward. Manusia itu seenaknya menyuruh ini dan itu, seperti Mark saja. Apa kebiasaan pangeran-pangeran Constantine adalah menyuruh orang sesuai keinginan mereka? Padahal tugasnya mengawal, bukan menuruti dan mengikuti kemauan mereka sesuka hati. Setelah menunggu cukup lama, Edward berjalan masuk lebih jauh ke dalam kamar hotel untuk menghampiri Ruby yang sudah selesai dengan riasan wajahnya. “Lumayan. Kau sudah siap?” tanya Edward. “Saya harus melakukan apa, Tuan? Saya masih tidak mengerti apa yang akan kita lakukan setelah tiba di sana,” jawab Ruby bingung. Edward belum mengatakan apa pun mengenai rencananya kepadanya. “Setelah tiba di sana, aku akan masuk lebih dulu ke ruangan yang menjadi tempat pertemuan mereka. Aku sudah mengatakan kepada Landon supaya dia memberitahu kalau aku akan datang sebentar lagi. Lalu…” Edward melanjutkan kalimatnya ke telinga Ruby. Dia membisikkan beberapa rencana sesuai keinginannya. Sementara Ruby hanya mengangguk pertanda mengerti. Setelah menarik diri, Edward berpindah ke belakang tubuh Ruby. Dia memakaikan kalung yang membuat Ruby melihat bandulannya. Inisial huruf E sebagai liontin yang menghiasi lehernya yang kosong. Tidak tahu kapan lelaki itu membelinya tapi Edward seniat itu menggagalkan pertunangannya. “Supaya calon tunanganku percaya kau adalah milikku.” Edward tersenyum tipis lalu bergegas meninggalkan Ruby. “Cepat pergi sebelum mereka mencariku karena terlalu lama.” Ruby mengikuti dari belakang. Sialnya dia tidak pernah menggunakan sepatu berhak tinggi sepanjang hidupnya karena terbiasa memakai sepatu kets. Dirinya hampir saja jatuh kalau tidak bertumpu pada dinding. Edward yang kebetulan menyadari hal itu langsung menggenggam tangannya. “Kau menyusahkan.” Menit berikutnya dia menuntun Ruby pergi dari sana dengan langkah hati-hati. Tidak ada perbincangan selama dua puluh menit dalam perjalanan menuju titik pertemuan awal yang direncanakan Fred. Selain Edward memilih memejamkan mata, dia tidak tertarik membahas yang tidak penting. “Ingat, jangan lupa untuk menunjukkan senyum menawan. Aku akan masuk lebih dulu, Rubicorn.” Edward mengingatkan kembali sambil mengerlingkan satu matanya kepada Ruby setelah tiba di depan pintu. Ruby membiarkan Edward memulai aktingnya setelah masuk ke dalam ruangan. Para pengawal yang melihat Ruby berdandan secantik itu langsung bertanya-tanya melalui isyarat bibir mereka. Demi menjaga rencana Edward, dia tidak menjawab apa-apa. Cukup diam dan menunggu. “Maaf aku terlambat. Tadi aku membelikan bunga lebih dulu untuk calon tunanganku.” Edward duduk di samping ibunya yang berseberangan dengan keluarga calon tunangannya. Kedua orangtuanya menatap nyalak sejak dirinya masuk begitu saja. “Kau baik sekali, Edward. Sepertinya tidak perlu basa-basi karena tadi kami sudah menunggu cukup lama.” Seorang pria paruh baya di seberang sana menyentuh pundak putrinya. “Dia adalah putriku, Penelope Rynder.” Dalam sekali lihat saja Edward tidak tertarik. Dari segi apa pun dia merasa Penelope bukan tipenya walau mata biru terang dan wajah cantiknya begitu memesona. Tubuhnya tinggi dan langsing. Dapat dikatakan Penelope adalah tipe kesukaan Landon. “Salam kenal, Penelope. Sebentar, aku akan memberikan ini untukmu.” Edward bangun dari tempat duduknya lalu memberikan sebuket bunga mawar mewah kepada gadis itu. Setelahnya, Edward mundur beberapa langkah. Roger dan Landon saling melempar pandang. Mereka mencium rencana licik yang Edward persiapkan karena kakak mereka bukan tipe yang akan membelikan bunga untuk orang asing, terkecuali sudah kenal. Sedangkan Mark tampak tidak peduli akan acara ini. “Kalian cocok sekali,” ucap Anna saat melihat putranya yang masih berdiri. Gadis di depannya tidak berkomentar apa-apa, hanya tersenyum manis. “Tunggu sebentar. Aku akan mengambil sesuatu yang lain untukmu, Penelope,” pamit Edward yang kemudian segera melangkah keluar. Beberapa menit kemudian, Edward masuk sambil menggenggam tangan Ruby. Kalau saja Edward tidak menahan lengannya mungkin Ruby sudah jatuh dan mempermalukan dirinya di depan semua orang. Akibat kecerobohannya itu, Edward beralih memeluk pinggang rampingnya. Semua orang yang berada di sana terlihat bingung sekaligus kaget. Sementara itu, ketiga putra Fred yang lain terpaku memandangi kecantikan Ruby yang luar biasa. Wajah cantik, tubuh tinggi menjulang seperti model papan atas, patut diberi nilai seratus. Polesan lipstick merah darah menambah kesan menggoda. Memang, Ruby lebih pantas menjadi model daripada pengawal. “Penelope, aku ingin kau berkenalan dengan calon istriku yang sebenarnya. Dia Ruby, kekasihku.” “Halo, Penelope. Kuharap kau tidak keberatan jika aku tidak menyetujui pertunangan ini,” kata Ruby sesuai perintah Edward sebelumnya. Dia mengutuk dirinya karena bersedia ikut dalam drama yang Edward minta. Mendengar kalimat itu orangtua Penelope langsung bangun dari tempat duduknya. Semua orang terkejut terkecuali ketiga adiknya Edward. “Apa maksudnya ini?! Kau mengatakan Edward tidak punya kekasih, Anna! Apakah ini permainan untuk mempermalukan keluarga kami?” Wanita paruh baya itu mengomel lalu menarik tangan putrinya. “Maaf, tapi aku tidak tertarik menikah dengan putri anda, Mr. Rynder. Aku mencintai kekasihku,” ucap Edward sembari menatap Ruby yang menunjukkan senyum sesuai perintahnya. “Tunggu—yang Edward bawa bukanlah—” “Cukup, Fred! Anggap saja kita tidak pernah melakukan pertemuan ini. Aku tidak sudi menjodohkan anakku dengan keluarga pembohong seperti kalian!” potong Mr. Rynder yang segera menarik tangan istrinya. Mr dan Mrs. Rynder sudah bergegas pergi, sementara Penelope menyusul di paling belakang. Gadis itu berbisik kepada Edward sebelum benar-benar pergi. “What a great drama. Thank you.” Kepergian keluarga itu membuat Anna dan Fred marah. Landon mengeluarkan kartu atm-nya karena dirinya kalah taruhan dengan Roger. Adiknya mengatakan bahwa Edward sudah memiliki siasat lain, sementara Landon tetap pada pemikirannya—perjodohan tetap terlaksana. Padahal seharusnya Landon tetap mempercayai instingnya yang mengatakan Edward tidak akan melangsungkan perjodohan ini. Tapi apa boleh buat, pikirannya yang menang. “Edward! Kau membuat malu! Apa yang kau pikirkan?!” Fred mengomel saat berhadapan dengan Edward. “Tentu aku ingin menikah dengan pilihanku, Dad. Penelope bukan pilihan terbaikmu. Firasatku tidak pernah salah,” balas Edward. “Ya, Tuhan! Kau merusak segalanya! Dia teman baikku, Edward!” sela Anna kesal yang kemudian melirik Ruby. “Kenapa kau setuju saja, Ruby? Dia mengancam apa supaya kau bersedia melakukan ini?” “Mom sudahlah, tidak usah memaksa Edward menikah dengan pilihanmu. Jodohkan saja dia dengan Ruby,” sela Roger. Edward memelototi adiknya. “Tidak perlu, Mom. Ruby bukan tipeku.” “Iya, Mom, nikahkan saja Edward dengan Ruby. Kurasa akan lebih cocok daripada mencarikan sosok lain,” tambah Landon. “Kau ingin menikah dengan putraku Edward si manusia banyak mau ini, Ruby?” tanya Fred tiba-tiba. Pertanyaan itu membuat Ruby tersentak kaget. “Mom, Dad, Ruby sebenarnya menyukai Landon. Sepanjang jalan tadi dia mengatakan kalau Landon sangat sempurna.” Edward menyela sambil melirik Landon yang memelototinya. “Cukup! Aku tahu kau bohong. Mulai besok, kau tidak bisa menggunakan semua rekeningmu sampai kau mengaku salah,” kata Fred yang kemudian segera pergi melewati tubuh putranya. Anna mengikuti dari belakang. Edward mengejar orangtuanya. “What?! Mom, Dad, tindakanku tidak salah. Ayolah, aku hanya ingin menemukan cinta sejatiku sendiri tanpa bantuan kalian!” “Ayo, kita pergi, Roger.” Landon bangun dari duduknya dan mengikuti Edward yang sudah berada jauh di depan sana. Setelah Ruby membantu Edward melakoni perannya, lelaki itu mengabaikannya dan tidak mengatakan apa-apa. Ya, paling tidak katakan terima kasih karena atas bantuan dirinya menjadi tunangan bohongan, perjodohan itu batal. Karena bingung harus berbuat apa, Ruby mengikuti yang lain dari belakang. Roger yang kebetulan berada tepat di belakang Ruby, menyalurkan ide jahil yang muncul dengan menginjak bagian belakang gaun Ruby sampai perempuan itu tidak mampu menjaga keseimbangan dan jatuh. Dalam hitungan detik suara rintihan Ruby terdengar sehingga semuanya menoleh ke belakang. “Kau keterlaluan, Roger. Bersikaplah lebih dewasa sedikit.” Mark yang kebetulan berada di paling belakang segera membantu Ruby supaya bangun dari jatuhnya. “Kau baik-baik saja?” Saat Ruby sudah bangun berkat papahan Mark, ada ekspresi yang ditunjukkan jelas oleh Ruby kalau kakinya sakit. “Terima kasih atas bantuan Anda, Tuan Mark. Saya bisa jalan sendiri,” kata Ruby setelah Mark melepas papahannya. Saat Ruby hendak melangkah, tubuhnya hampir jatuh kembali karena ternyata kakinya terkilir akibat sepatu berhak sialan yang dia pakai. Melihat ekspresi Ruby sebelumnya, Mark sigap menahan tubuh perempuan itu. Dengan cekatan Mark menggendong tubuh Ruby. “Jangan keterlaluan. Sikapmu sangat meresahkan keluarga ini, Roger. Berhentilah berulah,” ucap Mark saat berbalik menghadap Roger. Nada bicaranya terdengar tegas dan sorot matanya terlihat tajam seolah-olah bersiap menyiksa adiknya yang nakal itu. “Salahnya sendiri melangkah lama sekali. Dia bukan siput,” balas Roger tanpa merasa bersalah. “Apa otakmu sudah hilang? Kau tidak bisa melihat dia kesulitan melangkah karena heels-nya? Jangan melakukan hal ini lagi kalau otakmu masih berada di tempatnya,” kecam Mark. Tanpa mau memperdebatkannya dengan Roger, dia menggendong Ruby dan bergegas keluar. Fred yang menyaksikan tingkah laku putranya langsung memijat pelipis. Sungguh, Roger memang definisi putra yang menyusahkan. “Roger! Selalu saja kau berulah. Lihat, kasihan Ruby! Kau memang benar-benar keterlaluan!” Mark sudah pergi berlalu bersama Anna yang menemani, sedangkan Landon tertawa karena ulah adiknya. “Ayolah, Roger. Jangan terlalu sering menjahilinya. Kau bisa jatuh cinta,” kata Landon mengingatkan. “Cih! Jika aku jatuh cinta padanya, itu tandanya aku sudah sakit jiwa,” sahut Roger. “Hati-hati dengan harapanmu itu, Roger. Kau bisa sakit jiwa sungguhan karena Ruby,” sambung Edward ikut meledek. “Sialan! Kalian berdua paling sialan! Berhenti mengatakan hal itu!” Landon dan Edward melempar pandang. Mereka sepakat mengatakan hal yang sama. “Semoga dia jodohmu, Roger!” Roger yang kala itu sudah membuka sepatunya langsung melempar ke arah kedua kakaknya yang berada di depan sana. Bukannya mengenai kedua kakaknya yang menghindar, sepatu itu mengenai kepala ayahnya. Dengan wajah marah bersama kepalan tangan geram, Fred menoleh ke belakang. Tadi Edward menciptakan drama gila, sekarang Roger berulah. “Ups! Maaf, Dad.” “ROGER!!” Teriakan Fred membuat Edward dan Landon tertawa. Mereka memilih pergi sebelum ayahnya tambah marah. * * * * *  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD