10. Berujung pemecatan

681 Words
Meski bagaimanapun juga, Laras tidak akan pernah berubah untuk bangun disiang hari. Karena sudah terbiasa dan masih mengantuk alhasil wanita itu bangun terlambat. Seperti biasanya, bangun dengan keadaan kamar yang amat mengenaskan. Laras bahkan tak sempat untuk mandi dan langsung memilih pakaian di lemari. Setelah dirasa rapi dan menyemprotkan minyak wangi dia berlalu pergi. Saat keluar, dia baru ingat jika motornya sedang sakit dan harus diperiksakan akan tetapi modal yang diberikan si penabrak itu sudah untuk keperluan Laras. Bagaimana ini? Dia mengecek ponselnya, deretan panggilan tak terjawab dan pesan masuk dari Candra. Mati! Laras siap-siap dipecat hari ini. "Eh Don, kebetulan nih." "Ada apa mbak?" Wanita itu memanggil Doni, yang juga ngekos di tempat yang sama. Anak remaja itu hendak berangkat sekolah "Anterin mbak ke kantor dong." "Lah, gue aja udah terlambat nih kesekolah." "Please." Mohon Laras "Gue bayar uang bensinnya deh." "Oke deh kalau gitu." "Nah!" Laras langsung naik motor gede milik Doni, anak remaja itu melaju dengan kecepatan tinggi. Membuat Laras yang dibonceng hanya bisa berteriak dan melarang Doni untuk kebut-kebutan. Namun ahkirnya mereka sampai didepan bangunan besar itu. Laras turun dari motor dan merogoh tasnya untuk memberikan Doni uang jalan. "Nih." "Terima kasih mbak," kata Doni sumringah dan melaju pergi. Laras berlari menuju kantor dia bahkan sampai jadi pusat perhatian para pegawai. Tapi mau bagaimana lagi, sudah menjadi konsekuensi karena dia datang terlambat. Tak lama lagi sampailah dia diruangan Candra tetapi Laras seketika menghentikan langkah karena melihat Candra yang sudah berdiri tegak dengan tangan bersidekap ala chef Juna. "Bagus." Langsung kena semburan, Laras menunduk "Maaf pak." "Mana jas saya?" tanya Candra, matanya mengamati Laras yang tak membawa apapun hanya tas selempang saja. Laras menepuk kepalanya, "Saya lupa pak." "Benar-benar kamu ini ya!" amarah Candra menjadi-jadi "Sudah datang terlambat, lupa mengambil jas saya, tidak kompeten sekali!" "Maaf pak saya janji..." "Saya tidak perlu janji, perusahaan saya tidak menggaji sebuah janji." Laras menelan ludahnya susah payah. Dia bahkan memilin ujung kemejanya "Kamu ini keterlaluan." Candra berjalan memutari Laras yang tertunduk dalam ketakutan "Sudah datang terlambat, tidak membawa jas dan dengan penampilan kusut seperti ini, apa-apaan!" "Maaf pak, saya mohon jangan pecat saya." Air mata Laras sudah terjun. Dia benar-benar takut jika bosnya akan memecat dirinya, jika demikian bagaimana kabar ibu dan adiknya di kampung. "Saya mohon pak, saya tidak akan mengulanginya lagi." Candra terdiam, sesaat dia merasa bersalah telah memaki-maki Laras. Ahkirnya pria itu mencoba meredam amarah "Oke, sekarang kamu ambil jas saja." Laras terdiam, lalu mengelap bekas air matanya. Dai itu tadi hanya akting agar bosnya merasa kasihan. Ya tidak papalah bertahan karena dikasihani dari pada dipecat menjadi gembel. "Siap pak,". jawabnya semangat. "Kamu naik mobil sama supir saya saja." "Serius pak?" tanya Laras tak percaya "Ya, kamu di parkiran saja nanti saya beritahu dia." "Saya permisi kalau begitu pak." Laras hendak pamit tetapi, ia teringat sesuatu dan berbalik menemui pak Candra "Ada apa lagi?" "Uang buat bayar laundry-an?" "Enak saja, kamu yang akan ganti rugi." Laras memutar bola matanya, Candra ternyata masih mengingat perkara itu. Dengan terpaksa Laras harus mengeluarkan uang yang menjadi simpanannya saat ini. Uang dari seseorang yang menabraknya. _________________________________ "Saya mau mengambil jas atas nama pak Candra." "Sebentar ya." Pemilik tempat laundry itu sedang mengambil jas yang Candra punya. "Inikan?" Laras mengangguk "Berapa ya?" "150.000 ribu rupiah aja." Aje gile! Laras terkejut bukan main "Kenapa?" tanya Ajeng yang melihat raut Laras "Eh, gak apa-apa." Wanita itu mengambil uang di tasnya dan memberikan kepada ajeng "Terima kasih." "Ya, saya permisi dulu." "Eh sebentar!" Laras berbalik dan mengangkat alis, dia menunggu Ajeng berbicara "Kamu sekretarisnya Candra kan?" Laras mengangguk "Cuman sekretaris kan gak lebih?" Wanita itu tertawa, Laras akui Candra memang tampan dan kaya tapi sepertinya Laras tidak harus tertarik dengan bosnya itu "Gak mbak, saya profesional kok." "Syukurlah." "Mbak pacarnya pak bos?" Pertanyaan itu membuat Ajeng terkejut, namun berikutnya dia berdehem "Calon." "Oh calon. Eh, calon istri?" "Calon pacar." Laras hanya bisa menutup mulut, dia ingin tertawa tapi...takut dosa. Ternyata wanita dihadapannya tersebut memiliki perasaan kepada Candra. Hal itu menjadi wajar mengingat Candra yang punya daya pikat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD