11. Sudah jatuh ketimpa musibah

874 Words
Jika saja tak memperdulikan tanggung jawab dan pekerjaan yang memiliki gaji besar, mungkin saja Laras sudah pamit mau pulang. Siapa sih yang betah berdekat-dekatan dengan Candra yang super sempurna dan tukang malak? Lelaki itu tidak pernah memiliki rasa iba. Uang untuk menyambung hidup tinggal beberapa, terpaksa Laras harus berpuasa besok. Belum lagi motornya yang rusak menambah beban buatnya. Malang sungguh malang hidup Laras. Namun terbesit sebuah pikiran untuk meminta pertanggung jawaban oleh seseorang yang menabraknya di hari itu. Tidak ada yang tahukan jika nantinya Laras justru dikasih uang segepok. Senyuman mengembang di bibir, sepertinya Laras batal puasa. "Kenapa senyum-senyum Ras?" Menoleh ke sumber suara, saking senangnya wanita itu sampai tak sadar disampingnya ada Rere. "Eh mbak Rere, nggak kok." tentu saja Laras menutupi semuanya. Lucu kan jika dia jujur akan mendapatkan duit segepok meski sekedar ekspetasi "Gitu ya, aku pikir sedang jatuh cinta." "Haha.. gak lah mbak. Eh, mbak mau kemana?" "Ke warung depan, belum sarapan," jawabnya sembari memegangi perutnya "Memang boleh sama pak Candra? ini masih jam sembilan." "Tenang aja, pak Candra orangnya baik." "Gitu ya?, Kalau gitu aku ikut deh." "Ya udah ayo." Mereka bergandengan tangan, untuk mengisi amunisi. Sebenarnya masih ada keraguan dalam diri, benarkah Candra akan mengizinkannya untuk sarapan lebih awal? mengingat lelaki itu benar-benar diktaktor dan menyiksa pekerjanya termasuk dirinya sendiri. Ahkirnya Laras selesai mengisi perut, sebelum berangkat kerja dia tidak sempat untuk sarapan pagi karena bangun terlalu siang. Laras sendiri tak mengerti mengapa sejak dulu dia paling anti yang namanya bangun pagi. Padahal terbesit dalam pikiran untuk menjadi pribadi yang lebih cekatan. Namun sayang, semua hanya angan. "Ini beneran kan mbak, pak Candra gak bakalan marah?" "Iya beneran, kalau pegawainya belum sarapan dia izinin untuk sarapan." "Syukur deh kalau gitu." "Itu apa?" Rere menunjuk kantong kresek yang di bawa Laras "Oh ini, jas nya pak Candra." "Emm. Oh ya Laras, nanti makan siang bareng gimana?" "Oke deh mbak." "Asik." Rere tersenyum senang "kalau begitu aku duluan ya?" Pamit Rere, Laras mengangguk dan mempersilahkan. Laras itu tipikal wanita yang mudah bergaul, ramah dan suka bercanda jadi siapapun yang dekat dengannya bisa langsung cocok. Terbukti dengan Rere karena Laras merasa mereka berdua memiliki pemikiran yang sama sehingga mudah akrab. Tapi, Laras bersyukur baru beberapa hari bekerja sudah memiliki teman, meski divisinya berbeda. Wanita itu berjalan menuju ruangannya, tetapi kakinya berhenti ketika mendengar suara Candra yang sedang memohon. Ya, jiwa-jiwa kepo Laras mulai muncul. Wanita itu bersembunyi dan mencoba menguping. "Ma, cari calon istri itu gak segampang bayangan Mama. Kalau nanti gak cocok yang ada Candra jadi duda." Laras menutup mulutnya, ternyata perkara jodoh. "Aku gak suka sama Ajeng, dia udah aku anggap seperti adik sendiri." Laras mengangguk-anggukkan kepala, jadi yang terbawa perasaan hanya Ajeng saja? Entah mengapa wanita itu justru terkikik geli dan merasa kasihan kepada Ajeng "Di kantor juga gak ada yang menarik, mereka juga sudah punya pasangan. Udah ya Ma, jodoh gak kemana kok." "Emm dasar bos, merasa paling sempurna aja!" gerutu Laras mendengar perbincangan Candra di telfon genggam "Iya, besok Candra kenalin sama sekretaris baru Candra." mulut Laras menganga lebar, apakah dirinya yang dimaksud, jika benar untuk apa? Ini tidak mungkin. Seakan sadar Candra telah selesai menelfon, Laras langsung menghampiri bosnya dan memberikan jas nya. "Dari mana saja kamu, lama sekali." "Saya tadi sarapan pak jad.." "Sarapan? Astaga, saya sudah nungguin kamu lama sekali ternyata enak-enakan." Laras sampai menyipitkan mata, kenapa dia kena semburan? Mbak Rere bilang bos tidak akan marah? Apa wanita itu mengerjai Laras "Tapi mbak Rere bilang.." "Rere siapa?" "Mbak Rere divisi keuangan pak." "Dia beda dan kamu juga beda. Tolong hargai waktu Angeli!" Geram Candra, dalam hati Laras mengumpat. Apa bedanya antara dia dan mbak Rere? Toh mereka sama-sama pegawai dan manusia yang butuh makan. Sudahlah, Laras hanya bisa menyumpahi bosnya dalam hati, semoga saja bosnya itu lama mendapatkan jodohnya. "Apa jadwal saya hari ini?" "Bertemu dengan klien di jam sepuluh pagi, dan menandatangi berkas-berkas pak." "Hanya itu?" Laras mengangguk "Kalau begitu batalkan semuanya." "Hah?" Pekik Laras terkejut "Kenapa?" "Tapi pak, kita sudah membuat janji dengan pak Brayen. Apalagi sekretarisnya baru saja menghubungi bahwa mereka sudah menunggu di restoran biasa pak." "Saya tidak peduli, batalkan saja." Laras menggigit bibirnya gemas. "Lalu apa yang harus saya katakan dengan pak Brayen?" "Itu pekerjaanmu, usahakan dia tetap menjadi klien di perusahaan ini." Wanita itu menelan ludahnya susah payah. "Baik pak." Laras segera mengirimkan pesan kepada sekretaris pak Brayen, entahlah mungkin saja pria itu akan kecewa. Ya, sebenarnya Laras hanya mengikuti kemauan bosnya saja, dia yang mengatur segalanya dan Laras bisa apa selain menuruti. "Angeli." "Ya pak?" "Ikut saya kerumah orang tua saya." "Apa pak!" pekik Laras lagi, ia sepertinya salah dengar. atau telinganya kotor? rasanya tidak mungkin, walau ia jarang mandi Laras tetap ingat untuk membersikan kotoran ditelinganya. "Ikut saya kerumah orang tua saya." ulang Candra dengan nada yang sedikit kesal. Laras itu budek atau pura-pura tidak dengar? atau ada yang salah dengan pernyataannya? "Ba-baik pak." pasrah Laras, meski ia gugup harus bertemu dengan kedua orang tua bossnya. secara tidak langsung ia akan bertemu dengan bos yang lebih besar dong? bagaimana ia bersikap? jujur Laras takut jika sikapnya tak dapat diterima oleh mereka. Tapi, ia harus tenang dengan menarik napas lalu menghembuskannya pelan. berjalan bersama Candra memasuki mobil dengan segala kekalutan yang terjadi di dalam diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD