Bab 8 : Suami Menyebalkan

1362 Words
"Bapak panggil saya apa tadi?" tanya Alea sekali lagi, karena Fahry masih tidak menjawab. "Rara," jawab Fahry dengan santai. Sesaat Alea pun terdiam. "Bapak tau dari mana nama panggilan itu?" "Saya pernah denger Inka panggil kamu kayak gitu, dan kamu marah." "Jadi, maksudnya, Bapak sengaja mau bikin saya marah, gitu?" sengit Alea. Baru dua hari jadi suami, udah bikin darah tinggi! rutuknya dalam hati. "Enggak juga. Gak saya bikin marah juga, kamu mah hobinya udah marah-marah, kok," ucap Fahry tanpa beban, membuat Alea semakin geram dan menatap tajam suaminya itu. "Kenapa? Mau marah, 'kan?" tanya Fahry saat menoleh dan mendapati sang istri sedang menatapnya dengan emosi tertahan. "Enggak! Siapa juga yang mau marah?! Suudzon aja jadi orang." sanggah Alea, seraya membuang pandangan ke arah lain. Sedangkan Fahry hanya terkekeh melihat sikap istrinya. "Ya sudah, Ayo, katanya mau istirahat," ajak Fahry sembari meraih tangan sang istri dan membawa gadis itu masuk ke kamar utama. Alea pun hanya menurut. Otaknya masih memikirkan kejadian tadi. Gadis itu jadi teringat seseorang. "Arsen, kamu di mana?" gumam Alea. Tanpa ia sadari, Fahry mendengar apa yang dia ucapkan. "Istirahatlah," ujar Fahry sembari melepaskan tangan istrinya. Pria itu masuk ke kamar ganti dan membuka salah satu lemari, lalu mengambil kaus dan celana pendek yang biasa dia kenakan saat sedang berada di dalam rumah. Kemudian pergi begitu saja meninggalkan Alea di kamar utama. Pria itu masuk ke kamar tamu dan berganti pakaian lalu merebahkan tubuh di sana. Dihirupnya napas panjang. Ia mencoba memejamkan mata. Bukan hanya tubuh yang butuh istirahat, tapi juga pikiran. Sementara Alea, menatap kepergian Fahry dengan bingung. "Dia itu kenapa, sih? Kadang baik. Kadang ngeselin. Udah kayak punya kepribadian ganda aja," gumamnya mencibir sikap sang suami. "Kenapa coba dia bawa baju ganti keluar? 'Kan bisa ganti baju di walk in closet. Aneh!" *** "Pak Fahry ke mana, ya?! Kok sepi," gumam Alea seraya keluar dari kamar dan mengedarkan pandangan. "Apa aku tidur terlalu lama?" Gadis itu kembali bergumam sembari melihat jam yang ada di dinding ruang tengah, tepat di atas televisi besar rumah Fahry. "Ya Tuhan. Udah sore banget ternyata. Kok bisa sih, aku tidur selama itu?!" pekiknya. Gegas gadis itu ke kamar mandi dan melaksanakan kewajiban. Alea kemudian mencari Fahry ke setiap sudut ruangan, tapi tidak juga menemukan sang suami. Lalu dia masuk ke kamar tamu yang pintunya sedikit terbuka. "Pek Fahry tidur di sini ternyata," gumam Alea saat menemukan suaminya sedang tidur dengan pulas. Ia menatap Fahry yang tidur menyamping lalu duduk di kursi yang ada di sana sambil menghadap ke arah sang suami. Ditatapnya dengan lekat wajah tampan pria itu. "Pak Fahry kalau lagi tidur gini mirip seseorang," gumamnya. "Bapak tahu gak?! Bapak itu tampan kalau merem gini. Tapi kalau matanya udah kebuka, nyebelin banget, deh." Alea bicara pada Fahry yang sedang tertidur. "Gegara keseringan marah-marah, kadar ketampanan Bapak jadi berkurang, 'kan?! Makanya Pak, jangan suka ngeselin orang, Pak," lanjut Alea. Wanita itu mendekati Fahry, ia berjongkok di depan wajah suaminya. "Ini bibir merah bener." Alea menyentuh sekilas bibir Fahry. "Tapi kalau udah ngomong, udah kaya seblak level lima puluh. Pedes banget." Gadis itu terkekeh. "Rasanya kayak apa, ya?!" gumamnya lagi. "Ya Tuhan, Alea, otak kondisikan, woy!" Alea mengetuk-ngetuk kepala sendiri. "Ish, aku dari tadi ngomong sendiri di sini kayak orang gak waras," celoteh gadis itu. "Lebih baik aku masak buat makan malam, lapar!" ujarnya seraya berlalu. "Kira-kira di kulkas ada apa ya?!" Ia pun berjalan menuju dapur. Gadis itu membuka lemari pendingin, sejenak ia berpikir, lalu mulai mengeluarkan bahan masakan. Tak lama kemudian, ia pun sudah berkutat di dapur dengan segala bahan masakan yang akan diolah menjadi makanan. "Masak apa?" "Ya Tuhan." Alea terperanjat lalu menghela napas panjang sembari mengusap dadanya. Ia terkejut mendengar suara Fahry yang tiba-tiba sudah ada di belakang. Gadis yang saat ini mengikat rambut itu berbalik dengan cepat, kepala sudah ia posisikan menghadap wajah Fahry, mulutnya pun sudah terbuka, hendak mengomeli sang bos. Tapi apa daya, tubuhnya seketika membeku, karena ternyata Fahry berdiri begitu dekat dengan dirinya, hampir menempel. Alea terkesima dengan tatapan Fahry yang menatap tepat di manik mata gadis itu. Entah kenapa, ia merasa tatapan suaminya kali ini berbeda. Kalau dari jarak dekat kayak gini, Pak Fahry ganteng banget, deh, hatinya bergumam. Saat berhasil mengendalikan diri, Alea mundur, gadis itu merasa posisi dia terlalu dekat dengan sang bos, membuat jantungnya harus bekerja lebih keras. Fahry melangkah mendekat, sementara Alea terus mudur sampai menabrak kompor. Tiba-tiba saja tangan Fahry terulur, seperti ingin meraih sesuatu. "Ba-bapak mau ngapain?" tanya Alea dengan gugup, saat menyadari tangan besar itu bergerak. "Mau matiin kompor, masakan kamu gosong," jawab Fahry dengan senyum jahil tercekat jelas di bibir pria itu. "Memangnya kamu pikir saya mau ngapain? Hem?!" tanyanya seraya menggerakkan tangannya sampai terdengar bunyi kompor yang dimatikan. Kemudian pria itu berlalu begitu saja, meninggalkan Alea yang masih terbengong. Alea mengerjapkan mata beberapa kali, "Apa itu tadi? Kenapa aku deg-degan?" gumam Alea sambil meraba dadanya. "Ayolah Alea, jangan mikir Aneh-aneh, kalau kamu deg-degan itu tandanya kamu masih hidup ... iya, juga, ya?!" Gadis itu terus bicara sendiri. Tapi sesaat kemudian, ia sudah kembali melanjutkan kegiatan memasak. Fahry yang melihat Alea dari jarak jauh, hanya tersenyum. "Dari dulu gak berubah, suka sekali bicara sendiri." Ia pun terkekeh seraya duduk di sofa dan menyalakan televisi. Tak berselang lama, Alea pun sudah selesai memasak. Ia menghampiri Fahry yang sedang menonton televisi. "Bapak mau ikut makan, gak? Mumpung saya lagi baik, nih," tawarnya. Pria itu hanya mengangguk sebagai jawaban. "Udah tua nontonnya kok film kartun," ejek Alea. "Itu lebih baik sih, dari pada nonton gosip gak jelas," sahut Fahry sembari berjalan lebih dulu menuju meja makan. "Iya juga sih," timpal Alea, setuju dengan apa yang dikatakan suaminya. Gadis itu pun mengikuti sang suami ke meja makan. "Kamu yakin makanan ini aman kalau saya makan?" tanya Fahry menatap makanan yang terhidang di atas meja dan terlihat menggiurkan. Ia duduk di salah satu kursi. "Maksud Bapak?" tanya Alea tidak mengerti, seraya duduk di samping Fahry. "Ya mana tahu, abis makan masakan kamu, saya malah sakit perut," jawab Fahry tanpa dosa, membuat Alea menatap tak suka pada pria itu. "Ya udah kalau Bapak gak mau makan, gak usah makan," kesal sang gadis sembari mengambil piring makan yang ada di hadapan Fahry. "Saya mau makan, Alea ... kenapa piringnya diambil lagi?" Fahry mengambil kembali piring dari tangan istrinya. "Gak boleh." Alea menarik piring itu lagi. "Boleh." Tangan Fahry meraih piring tersebut. "Enggak, nanti Bapak sakit perut makan masakan saya," ujar Alea yang sakit hati dengan ucapan Fahry. "Sama aja, Al. Saya makan, sakit perut karena masakan kamu. Saya gak makan juga, tetap sakit perut karena kelaparan." Pemuda itu tanpa rasa bersalah menarik kembali piring dari tangan istrinya. Tapi kali ini, sang gadis tidak mau melepaskan piring itu. Aksi tarik menarik piring pun tak terhindarkan. Terlalu kuat tenaga yang mereka keluarkan untuk hal konyol itu, akhirnya piring pun terlempar dan pecah berhamburan di lantai. Fahry yang hanya mengenakan celana pendek, tak ayal juga menjadi korban. Beberapa pecahan kaca mengenai betisnya sampai mengeluarkan darah. Alea begitu panik melihatnya. "Bapak tunggu di sini, ya. Saya ambilkan obat," ujar Gadis itu sembari berjalan dengan tergesa-gesa. Selama empat tahun bekerja untuk Fahry, Alea sudah sering datang ke rumah bosnya itu, jadi dia sudah tahu letak barang-barang milik sang pria. Setelah mendapat kotak obat, Alea kembali ke meja makan, menghampiri Fahry yang masih duduk di kursi. Ia pun kembali duduk di samping sang suami. "Coba Bapak menghadap saya," perintah Alea. Pria itu hanya menurut. "Angkat kakinya, Pak," ujar gadis itu lagi. Fahry lagi-lagi menurut, ia mengangkat kaki meski hanya sedikit. "Bukan kayak gitu, Pak. Angkat yang tinggi kakinya, letakkan di pangkuan saya. Kalau kayak gitu, gimana caranya saya bisa obati Bapak," gerutu Alea. Tanpa banyak bicara, Fahry pun kembali menuruti ucapan sang istri. Dia meletakkan kaki di atas pangkuan Alea. Dengan cekatan, gadis yang kini mengenakan baju tidur tangan panjang lengkap dengan celana panjang itu, mengobati luka di kaki Fahry. Sedangkan sang pria, hanya menatap sang gadis yang sedang tertunduk. "Sakit?" tanya Alea. "Lumayan," jawab Fahry singkat. "Maaf, ya, Pak. Saya gak sengaja." Alea berucap tulus, ia merasa bersalah karena sikapnya yang seperti anak kecil malah menyakiti orang lain. "Yang penting bukan kamu yang terluka," lirih Fahry dengan tulus.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD