Bab 7 : Tinggal Satu Atap

1261 Words
Alea mengerjap saat merasakan pipi ditepuk seseorang. Ia membuka mata dan menelisik setiap sudut pandang yang tertangkap netranya. Ia pun sadar, masih berada di kamar hotel. "Bangun! Tidur kok kayak kebo," ucap Fahry yang sudah berdiri di samping tempat tidur seraya memandang ke arah Alea dengan tatapan dingin. "Bapak mau ke mana? Kok udah rapi?" tanya Alea sambil mengucek mata. "Pulang. Saya gak betah tidur di kamar hotel," jawab Fahry seraya memakai jam tangan. "Lho? Kok pulang? Bapak 'kan sakit." Alea menatap bingung ke arah suaminya. "Sakit? Siapa yang bilang saya sakit?" Fahry bertanya dengan wajah tanpa dosa seraya membalas tatapan sang istri. "Tadi Bapak kayak orang kedinginan. Meriang, 'kan?" sahut Alea. "Saya 'kan cuma bilang dingin, gak bilang sakit." Pria itu menjawab dengan santai. "Sudah, saya tunggu kamu di lobby. Cepat siap-siap," lanjutnya seraya berlalu, meninggalkan Alea yang masih termenung, mencerna kalimat yang baru saja sang suami ucapkan. "Cuma bilang dingin, gak bilang sakit?" gumam gadis itu, dengan dahi berkerut. Beberapa detik kemudian matanya membola. "Fahry ...!" teriak Alea dengan kesal seraya melempar bantal ke arah pintu. Sementara Fahry yang berdiri di balik pintu, hanya tersenyum saat mendengar Alea berteriak memanggil namanya. Membayangkan seperti apa raut wajah si gadis bar-bar itu, membuat hatinya bersemangat. Dia melenggang tanpa rasa bersalah menuju lobby hotel. Alea merutuki diri sendiri karena berhasil dibohongi oleh suaminya. "Awas aja dia. Berani-beraninya peluk aku kayak gitu," sungutnya. "Tapi kamu juga menikmatinya, Lea," ujarnya lagi. "Iya, sih. Enak juga tidur dipeluk suami ganteng. Ya Tuhan, Lea, itu otak dibersihkan, coba." Alea terus saja bicara pada dirinya sendiri. Gadis itu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap-siap menyusul Fahry, sebelum pria menyebalkan menurutnya itu kembali mengoceh karena terlalu lama menunggu. *** Dengan wajah masih terlihat kesal, Alea menghampiri Fahry yang sedang duduk di sofa. Tanpa berkata apa-apa, gadis itu hanya berdiri di depan suaminya dengan bibir mengerucut. Fahry mengangkat kepala dan melihat ekspresi sang istri, seketika pria itu tertawa terbahak. Alea yang sudah kesal menjadi semakin keki. Ia menghentakkan kaki kemudian berjalan lebih dulu keluar dari lobby hotel tersebut. Fahry segera beranjak dari posisi duduk dan berjalan mengikuti sang istri. "Alea, tunggu!" panggilnya. Tapi gadis itu justru semakin mempercepat langkah. "Alea!" Fahry pun berhasil meraih tangan sang gadis. "Apa lagi sih, Pak? Saya mau pulang!" bentak Alea dengan kesal. "Kita makan dulu. Saya lapar," sahut Fahry seraya menarik tangan sang istri menuju restoran hotel tersebut. Alea pun menurut saja, karena ia juga lapar. Mereka bahkan melewatkan sarapan karena tidur sampai siang setelah subuh. Sampai di dalam restoran, Fahry menarik mundur salah satu kursi dan mempersilakan sang istri untuk duduk melalui pandangan mata. Gadis itu hanya mendelik kesal ke arah suaminya dan menarik kursi lain. Fahry hanya terkekeh kemudian duduk di kursi yang ia tarik tadi. "Jangan manyun aja. Kamu kira kamu cantik dengan ekspresi kayak gitu?" ejek Fahry. Alea tidak menanggapi ejekan pria itu karena masih merasa kesal. Setelah makanan yang mereka pesan tiba, keduanya pun bersantap dalam diam. Sesekali Fahry menoleh ke arah Alea yang makan dengan lahap. Gadis itu bahkan memesan dua porsi makanan berat. Rasa kesal membuat perutnya sangat lapar. "Saya baru tahu, kamu bisa makan sebanyak itu," ujar Fahry seraya menggelengkan kepalan melihat Alea menghabiskan makanan yang menurutnya banyak itu. "Bapak sendiri, kenapa itu steak gak dimakan?" tanya Alea ketika melihat hidangan milik Fahry masih banyak. Pria itu hanya memakan kentang dan sayuran saja, juga sepotong kecil daging yang ia nikmati. "Saya sudah kenyang melihat kamu makan," ujar pria berkulit putih itu sembari mengambil jus jeruk dan meminumnya. "Sini, biar saya habiskan. Mubadzir," sahut Alea sambil mengambil piring makan milik Fahry. Pria itu sampai tersedak minumannya sendiri. Sang gadis pun dengan santai kembali melahap makanan milik suaminya. Fahry sampai menganga dengan mata membola, seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat. Porsi makan gadis itu naik berkali-kali lipat dari biasanya. Dia menatap Alea dengan bingung. ini anak kenapa ya? Makannya banyak banget? Masa iya, dia ketempelan hantu penunggu hotel yang doyan makan?! batin Fahry. "Apa liat-liat?" sengit sang gadis saat mendapati sang suami sedang menatap aneh padanya. "Kamu makan banyak banget, Al, sekarang," ujar Fahry. "Saya kalau lagi kesel suka makan banyak. Kalau bisa, Bapak pun saya makan," ketusnya sambil memukul meja kemudian berlalu meninggalkan Fahry yang masih terbengong. Setelah membayar, pria itu pun segera menyusul sang istri yang sudah menunggu di samping mobil. Alea duduk di dalam mobil mewah milik Fahry dengan bibir masih mengerucut. Dia masih saja kesal karena bos merangkap suaminya itu membohonginya. "Jangan manyun begitu, kayak bebek. Perut udah kenyang juga masih aja marah-marah," goda Fahry seraya mengemudi. Tapi jujur saja, pria itu sangat senang karena berhasil menjahili si Gadis Bar-bar. Alea tidak menjawab. Gadis itu masih setia dengan aksi diam. Ia lebih memilih memandang keluar jendela. Fahry pun hanya terkekeh sambil mengusap kepala Alea dengan tangan kiri. Gadis berparas cantik itu seketika menoleh dan menatap horor sang supir yang dengan tidak sopan mendaratkan tangan di atas kepalanya. "Ups! Sorry!" ujar Fahry dengan nada mengejek. Alea sedang tidak ingin membuka mulut. Ia memilih kembali memalingkan wajah ke arah jendela mobil. Lebih tepatnya menghindar dari sang suami. Jangan sampai pria itu tahu bahwa pipinya kini tengah memerah, karena ia bisa merasakan panas di wajah. Jangan baper, Al. Masa cuma dielus kepala doang baper, kaya kucing aja, rutuk Alea dalam hati, pada dirinya sendiri. Dalam diam ia berpikir, dirinya harus lebih hati-hati karena Fahry sudah berani main curang. Dia bahkan dengan seenak hati memeluk Alea saat tidur. Ini gak bisa dibiarkan. Lama-lama dia bisa seenaknya. Alea kembali membatin. Sisa perjalanan mereka habiskan delam diam. Hingga sampai rumah Fahry, Alea masuk lebih dulu karena sudah tahu kata sandi rumah pria itu. "Lea, kamu mau ke mana?" tanya Fahry saat Alea membuka pintu kamar tamu. "Jangan panggil saya kayak gitu!" Gadis itu menoleh dan menatap tidak suka saat mendengar Fahry memanggilnya dengan sebutan Lea. Itu hanya penggilan dari orang-orang terdekat. "Iya, oke. Baiklah. Kamu ngapain ke kamar tamu?" tanya Fahry dengan nada suara lebih rendah. "Istirahat." Alea menjawab dengan ketus. "Kenapa di kamar tamu?" "Lalu saya harus ke mana? Masa ke dapur?!" ketus gadis itu. "Ya gak ke dapur juga, Alea. mulai sekarang kamar saya, adalah kamar kamu juga." "Gak ada. Saya gak mau. Mulai sekarang salah satu kamar tamu jadi kamar saya." "Gak bisa Alea. Kamu tidur di kamar saya." "Saya gak mau, Pak, tidur satu ranjang sama Bapak." Alea tentu saja menolak mentah-mentah. "Alea, ayo dong. Jangan kayak gitu. Kalau Bi Patim liat kita beda kamar, terus dia cerita sama orang-orang, gimana? Mulut dia 'kan ember. Kamu sendiri tahu itu," ujar Fahry, berusaha membujuk Alea, mengingat asisten rumah tangganya memang sedikit bermulut bocor. "Saya tidak peduli. Saya tidak mau satu kamar sama Bapak," tegas Alea. Fahry menghela napas panjang. Sabar Fahry ... sabar, batinnya. "Alea, tolong dong, kamu 'kan tau, semua orang berpikir kita menikah karena saling mencintai. Masa kita pisah kamar?" "Gak. Saya gak mau. Nanti Bapak bohongi saya lagi," tolak Alea dengan tegas. "Oke, untuk hal itu, saya minta maaf. Saya cuma iseng aja tadi," kilah Fahry. "Enggak. Pokoknya saya tetap tidur di kamar tamu. Titik." Alea membantah tegas, seraya berjalan menuju kamar tamu. "Saya juga tidak mau tau, pokoknya kamu tidur di kamar saya, Rara!" Suara Fahry tak kalah tegas. Alea membeku. Bukan karena Fahry memerintahnya dengan seenak hati, tapi karena pria itu memanggil nama dia, menggunakan penggilan yang sama dengan seseorang yang dia kenal. Hanya ada satu orang yang selalu memanggil Alea seperti itu. Gadis itu perlahan memutar tubuh menghadap ke arah sang suami lalu memandang Fahry dengan tatapan yang sulit diartikan. "Bapak panggil saya apa barusan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD