Gemerincing suara angin menyusup meraup membuka jendela kamar. Lamat lamat suara itu hilang,sebuah panggilan tanpa wajah hanya bising memekakkan telinga.
Andi masih dengan kebiasaannya, ogah ogahan melayaniku karena aku yang terlalu gila dalam bercinta. Aku sudah mencoba berobat tapi tak bisa. Seolah yang melayaninya bukan aku. Bila dorongan itu tiba kepala ini rasanya pecahhh, aku seperti anjing gila yang meraung meminta cinta.
Hari ini usg bulan ketujuh anak ke dua ku. Anak Andi kah? Entah, namun sungguh Andi tak pernah tahu lelakuku. Andi tak pernah tahu nominal rekeningku. Andi tak pernah tahu dari mana semua itu, yang ia tahu banyak lelaki memujaku.
Sepulang dari Bali, aku tidur malam bersama Andiku. Jadwal usg ku tunda besok. Aku ingin bermanja dengannya.
Tapi tiba tiba, angin kencang datang, pintu kamarku terbuka, kereta emas itu berdiri gagah dengan seorang wanita menjadi penumpangnya. Ibu ratu tersenyum padaku. Sambil menggumam...
"Kuminta putri mu,"
Kereta itu menjauh, bersama angin kencang yang begitu riuh. Ada bayi mungil dalam dekapan sang Ratu. Dan sekali lagi aku pingsan.
Pagi tiba, usai kejadian semalam aku dan Andi tak banyak bicara, tapi aku tahu bahwa Andi mulai resah...
Di ruang dokter,
" Ibu habis makan apa? "
Tanya dokter,
Kami berpandangan.
" Kenapa dokter?"
" Bayi ibu sudah tidak ada, ibu tenang saja, kejadian seperti ini sering terjadi bu, hanya secara ilmiah saya sebagai dokter tidak mampu menjelaskan."
Air ketuban yang pecah sebelum waktunya, membuat aku harus siap kehilangan bayiku.
Aku limbung, terhuyung huyung antara percaya dan tidak.
Apakah ilmu ini semakin menggila? Tanyaku dalam hati saja.
"Kok bisa hilang ya, Ra."
"Aku juga nggak ngerti mas tiba-tiba hilang begitu saja."
"Nggak maksudku hilang itu karena apa?"
"Aku juga nggak ngerti mas, jawabku sewot. Saat aku menahan rasa sakit Andi justru menanyaiku banyak hal. Aku jadi kesal.
Antara meladeni kalimat Andi aku juga membalas pesan dari Roy yang begitu percaya diri bahwa anak yang ku kandung adalah anaknya.
Di mobil Roy terus sibuk mengirimkan pesan singkat bertanya tentang kehamilanku.
Aku mencoba menceritakan keadaanku.
"Bayinya sudah hilang."Penjelasan Ku pada Roy.
"Hilang maksudnya?"
"Dokter bilang hilang, tapi dokter nggak bisa menjelaskan secara medis bagaimana kok bisa hilang."
"Ini juga pengalaman pertama buat aku, aku juga bingung kenapa bisa begini."
Roy mencoba menghibur,
"Aku mencintaimu Ra, aku tetap mencintaimu."
"Kamu tenang saja, ada atau tidak ada bayi itu aku tetap mencintaimu."
Roy sangat memanjakan ku, bukan hanya lewat kalimat tapi juga lewat perbuatannya.
Sambil kemudian Roy mengirim bukti transfer 15.000.000 ke w******p pribadiku
"Untukmu Rahmaku..."
Begitu tulisnya.
Dan disampingku Andi masih fokus mengemudikan mobil menuju jalan pulang.
Aku hanya bisa mengirimkan balasan "terimakasih" padanya. Tanpa ku tambah dengan embel-embel apapun.
Hari berlalu bulan berjalan.
Aku telah diijinkan mengandung enam kali dan semua lahir cesar. Anak ke satu, ke tiga dan ke lima ku lahir sehat dan selamat.
Anak ke dua, ke empat dan ke enam harus meninggal tragis. Menyisakan cerita yang mengiris.
Setelah putriku yang mendadak hilang dalam kandungan, putra keempat yang ku beri nama Rais juga harus meregang nyawa tanpa alasan.
Aku masih ingat kejadian malam itu. Saat aku mengandung putra keempat di sebuah rumah sakit negeri di kota ku.
Usai cesar aku dipindahkan ke ruang VK, malam gelap juga dingin. Tiba tiba tubuhku lemah, perutku melilit, keringat dingin mengucur. Seorang wanita berjubah hitam datang.
"Aku masuk ya," suaranya dari ujung pintu.
"Jangan,,,perawatnya galak,"
"Gpp aku masuk ya," dia memaksa
"Jangan "teriakku dari tempat tidurku.
"Aku ke tempat bayimu ya,"
"He eh" ucapku mengangguk.
Usai itu tengah malam, ada tengkorak yang berdiri disekelilingku,aku makin dingin dan ketakutan, tengkorak itu bergerak menakutkan.
Sampai aku memaksa pada perawat untuk pindah ruang.
Untunglah aku segera dipindahkan.
Di kamar baru ku, ruang kelas tiga untuk ibu dan anak.
Aku terdiam, aku mencoba tidur, namun mas Andi datang dan mengagetkanku.
"Ra," teriaknya dari jendela
"Ada apa"
"Anakmu"
"Kenapa? Mati?" tanyaku seolah tahu apa yang terjadi.
Mas Andi mengangguk.
Aku turun dari ranjang sambil memegang perut yang masih berisi jahitan basah. Rasa sakit akibat cesar tak lagi kurasakan.
Aku berjalan beriringan dengan mas Andi menuju ruang bayi.
Disana, dalam ruangan itu, bayi mungil itu sudah pucat wajahnya, banyak darah mengucur dari hidungnya, darah segar.
Dokter menyuruh aku menandatangani surat otopsi, khawatir terjadi kesalahan, aku menolak.
"Ibu Rahma ?"
"Iya, benar dokter."
"Kami turut berduka cita atas meninggalnya bayi ibu."
"Kenapa bayi kami bisa meninggal dokter ?"
"Begini bu, jika ibu berkenan ibu bisa mengajukan otopsi pada pihak rumah sakit agar semua jelas."
"Otopsi dokter ?"
"Iya, semua harus sesuai prosedur bu."
Aku tidak ingin menyakiti anakku dengan otopsi. Aku ikhlas dan memilih membawanya pulang.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, kami semua nampak tegar. Andi menggendong bayi mungil itu. Bukan bayi lucu yang mengerjap-ngerjapkan matanya tetapi bayi yang sudah jadi mayat.
Tubuhnya kaku dan dingin. Yang lebih menyedihkan dari hidungnya masih saja mengalir darah segar tanpa diketahui apa penyebabnya.
Kami pun tiba di rumah, aku langsung duduk bersandar di dinding ruang tamu rumahku.
Bayi mungil itu di letakkan di atas meja kecil, tubuh ringkihnya terbujur tanpa daya.
Saat jenazah di mandikan darah segarnya kembali mengucur. Semua yang hadir heran.
Kasihan, anak anak tidak berdosa itu harus pergi karena kebodohan ku.
Aku meratapi kepergiannya dari hati. Rasa sakit yang begitu dalam mengoyak hatiku.
Ibu mana yang bisa melihat putra mungilnya merenggang nyawa begitu saja..