MEMUTUSKAN MENIKAH

1068 Words
Mobil Agya merah terpakir rapi, seorang berseragam datang. Menanyakan nama ku, "Ibu," panggil anak buah ku ke dalam. "Ada yang mencari ibu,"kata Lusi anak buah ku yang berwajah oval dan berkulit hitam manis. "Siapa ?" tanyaku. "Entah bu sepertinya dari showroom mobil." Aku mendengar penjelasannya, sambil melangkah ke depan. Menemui laki laki berseragam. Menanyai mereka beberapa pertanyaan. "Saya tidak membeli mobil pak," kenapa dikirim pada saya? tanyaku pada mereka. Mereka mencoba membuka lembaran kertas. Lalu menyodorkannya pada ku, aku membacanya dengan seksama sambil mempersilahkan mereka duduk. Benar, di lembaran kertas itu ada nama dan alamat ku. Ku coba membuka lembar selanjutnya. Ups. tertera nama yang sangat ku kenal Dr. Rahmad Fahruzi. Aku hafal nama itu. Aku mencoba menghubungi Rahmad. "Ada orang dari Showroom Toyota di rumah ku." "Oh iya, maaf nggak ngomong dulu." "Maksudnya?" "Kemarin aku dapat uang penelitian maka ku fikir akan sangat baik bila aku membelikan mobil itu untuk mu. Supaya kamu tidak kepanasan. " Begitu penjelasan Rahmad. Tanpa rasa bersalah Rahmad berbicara itu. Seolah ia telah melakukan sebuah hal yang besar dan benar. "Sekarang pak Rahmad dimana ?" tanyaku. "Di kampus," jawabnya singkat. Tanpa salam ku tutup sambungaan ponsel ku. Ternyata Agya itu hadiah dari Rahmad. Aku mengajak orang showroom tersebut menuju kampus tempat Rahmad bekerja. Kampus swasta megah ini nampak gagah, banyak mahasiswa lalu lalang di sini. Harus berapa laki laki menjadi gila begini. Padahal aku sudah tidak membaca mantra itu lagi. Mantra itu rupanya telah melekat, membuat gila semua yang mendekat. Aku temui Rahmad, baju kotak-kotak hitam itu membuat tubuhnya yang tidak terlalu tinggi nampak pendek. Kacamata minusnya bertengger di dua mata yang sering menatapku. Aku tegas menolak pemberian Rahmad apapun alasannya. "Ini hadiah Rahma, hadiah untuk mu." "Maaf pak, tapi saya menolak hadiah ini. Sebaiknya bapak berikan pada yang lain." ujar ku dengan nada sedikit meninggi. Rahmad memandangku, mungkin hanya aku wanita paling gila yang menolak di belikan mobil baru. Sekali lagi Rahmad tersenyum kemudian melangkah pergi meninggalkan ku menuju dua petugas showroom itu. Aku melihat Rahmad membicarakan sesuatu. Hingga mereka saling berjabat tangan. Dua orang petugas showroom itu pergi. Rahmad kembali mendekat. "Sudah, biar mobilnya disini kalau kamu nggak berkenan." Ucapan Rahmad begitu ringan seolah membeli mobil agya sama mudahnya dengan membeli gorengan. "Baiklah kalau begitu, kami permisi." Jawab ku cepat. "Rahma, kamu pulang naik apa ?" "Gampang, " seloroh ku meninggalkannya. Lusi yang sedari tadi menemaniku pun merasa heran. Tidak banyak wanita yang punya kesempatan mendapat hadiah mobil baru, tapi aku justru mengembalikan mobil itu. Jujur, ini bukan tentang mobil. Tapi lebih pada kekuatan mempertahankan martabat. Aku bosan dengan rayuannya yang tidak pernah berhenti. Aku capek. Aku menolak semua laki laki beristri yang meminang ku. Aku harus membuat keputusan. Bulat tekad ku mengakhiri kesendirian. Semua selesai. Tidak boleh lagi ada korban. Aku mengutuk kebodohan ku sendiri. Meninggalkan Rahmad yang memandang heran dari kejauhan. Aku harus menikah. Harus menikah. Menikah. Menikah adalah sebuah keputusan paling tepat untuk mematikan semua harapan lelaki beristri yang mendekati ku. Aku hubungi beberapa teman tentang keinginan menikah ku. Mereka memperkenalkanku dengan beberapa orang teman mereka. Dan aku memilih satu. Satu lelaki yang ku anggap polos dan lugu. Andi namanya, laki-laki ini hanya seorang guru swasta. Besok Andi akan datang dengan teman akrabku ke ruko. Kami akan di perkenalkan sebelum menuju jenjang pernikahan. Pagi itu seorang lelaki datang, baju lengan panjang bermotif batik nampak anggun ditubuhnya. Perawakannya ramping, tinggi, rambutnya lurus dengan belahan samping. Membuat ia nampak seperti seorang guru. Perbincangan terjadi. Anak buah ku datang bergantian menyajikan teh hangat dan makanan ringan. Kemudian mempersilahkan para tamu mencicipi hidangan yang disajikan. Usai itu mereka beranjak kembali ke dalam. "Aku ingin segera menikah kalau kak Andi setuju." "Kenapa terburu-buru Rahma ?" "Aku butuh cepat menikah kak, ga pa pa nikah di KUA saja dulu, untuk resepsinya menyusul sambil kita kumpulkan uang." "Menurut kamu, sebaiknya kapan kita menikah ?" tanya Andi pada ku. "Besok, " "Apa ?" Andi nampak terkejut. "Kalau kak Andi tidak siap ga usah ka." jawabku cepat. Sejenak Andi nampak berfikir. Beberapa kawan ku memandangi kami bergantian.Kemudian berbicara. "Rahma besok itu terlalu mendadak, akan tidak baik di mata orang." "Aku nggak perduli lagi tentang orang lain, aku hanya ingin menikah secepatnya." Lugas sekali aku bicara. Kemudian ku lihat Andi hendak menyampaikan sesuatu. "Aku siap. Nanti sore aku akan bawa keluarga ku kemari." Semua saling menatap. "Kamu yakin ?" tanya kawan ku Risma yang memperkenalkan Andi pada ku. "Aku yakin, Risma" begitu Andi menjawab. Aku sendiri tidak tahu mengapa Andi mendadak setuju dengan syarat yang ku ajukan tentang pernikahan. Aku tidak minta apa-apa tetapi aku minta menikah besok. Semua berdiri, mengulurkan tangan berpamitan. Sahabat ku memelukku sambil berbisik. "Semoga ini adalah awal yang baik ya." "Iya, semoga." Begitulah, keluarga Andi benar-benar datang dengan membawa seserahan yang di terima mamah.Seserahan seadanya tidak mengikuti gaya Banjar. Semuanya serba mendadak. Aku sendiri tidak ingin membuat pesta mewah saat ini. Aku hanya ingin menikah untuk menyelesaikan semua beban ku. Beban tentang lelaki yang merayu ku dan membuat ku nampak dungu. Keesokan harinya kami pun ke KUA mengurus semua persiapan menikah. Alhamdulillah pernikahanku berjalan lancar. Andi yang polos. Andi yang tidak pernah pacaran. Andi yang pendiam. Andi benar-benar menjadi suamiku. Malam pertamaku berlangsung indah. Hanya sayangnya seminggu usai menikah Andi memilih pulang larut hanya demi menghindari berst*b*h dengan aku istrinya. Andi seperti tertekan melewati episode persetubuhan kami. Aku tahu itu meski Andi tak bercerita pada ku. Dalam semalam aku bisa berkali kali melakukannya. Mungkin Andi lelah. Mungkin Andi tak kuasa namun tidak berdaya menolak ku. Aku menangis terisak isak diatas sajadah memohon agar Tuhan mencabut ilmu gila ini dari tubuhku. Memohon pada Tuhan untuk menghapus penderitaan ku. Lelah rasanya mengetahui kenyataan diri ku seperti ini. Seperti wanita binal yang di rasuki ilmu setan. Aku terus menangis. Sampai aku lunglai dan melihat almarhum abah ku berjalan bersama kakekku, matanya merah, wajahnya lusuh, abahku menjauh semakin menjauh. "Abah..." "Abah..." Aku terus berteriak memanggil abah. Tapi abah tak menghiraukan teriakan ku. "Tolong aku, abah" Aku berteriak kencang memanggil nama abah ku. Terus berteriak sekuat tenaga. Tetapi yang terjadi justru abah makin menjauh meninggalkanku. Abahku pewaris ilmu kakek. Kakek dulu meninggal dalam usia seratus tahun, harus dipotong lehernya dan dibuang ke atap rumah. Begitu cerita beberapa orang. Aku terbangun, pukul tiga dini hari dan melihat Andi sudah lelap tertidur. Kasihan,laki laki malang ini harus berhubungan dengan jadi jadian seperti diriku... Rahma memandang wajah suaminya dengan rasa iba. Andi... Kenapa harus kamu ? Fikiran Rahma menerawang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD