LETIH YANG MENGGUNUNG

828 Words
Aku tidak tahu harus berkata apa lagi ketika hari ini di tahun ketujuh pernikahanku dan aku telah hamil sepuluh kali. Tiga kali kehamilan ku harus berakhir tragis. Tujuh kehamilan ku baik-baik saja dan yang lain meninggal serta beberapa nya ke guguran. Masih ingat kehamilan putra ke enam ku, di bulan ketujuh aku merasakan serangan itu lagi. Serangan yang menakutkan hingga di tengah malam aku pun terbangun. Wajah tua renta itu menatap ku lapar dan wanita muda itu memandangi ku. Aku mundur, menuju spring bed tempat kami tidur. Kulihat andi masih terpejam seolah tak merasakan spring bed kami bergoyang-goyang sangat kencang. Terus begitu, dan mata itu juga masih terus menatap ku aku sangat takut. Aku duduk sambil setengah berjongkok menghindari kaki ku agar tidak bersentuhan dengan hantu-hantu biadab itu. Bermenit-menit dan mereka masih mengganggu. Sampai aku tertidur dalam keletihan yang luar biasa Subuh tiba, Andi membangunkan aku memberikan secangkir teh pahit hangat kesukaan ku. Saat aku sadar dan membuka mata hendak meraih teh itu, betapa terkejutnya aku diantara tempatku duduk dengan mata terpejam tadi ada banyak darah. Darah kental yang lengket ke badan ku. Andi menggendong tubuh ku, mama mengganti sprei dengan perlak' bayi yang lebar. Aku di biarkan tidur di atas perlak itu. Ya Tuhan, Wanita itu muncul lagi. Aku semakin ngeri aja. Kakiku terasa ngilu, ada bisikan di telingaku " Makan telor asin tiga butir, cu. Agar bayinya bisa keluar. Aku begitu ketakutan, terlebih saat kucari asal suara dan aku tidak menemukannya. Dalam ketakutan yang berlipat-lipat itu ku panggil Andi dan ku ceritakan apa yang kudengar. Andi pun bergegas membelikan tiga telor asin yang ku minta dan benar saja, usai memakan telor asin tersebut aku pun menggeliat seperti orang kepanasan, aku tak punya daya lagi. Aku mulai membengkok kan kaki ku, memberi tekanan pada panggul, menarik nafas panjang dan beberapa menit usai bayi ku lahir. Bayi sepanjang dua ibu jari, dengan tubuh putih mirip film kartun 'casper'. Tubuh itu hanya terbungkus selaput, ada tanda dua titik hitam seperti mata., satu titik hidung dan satu titik mulut Putra pertama ku Rabbani yang waktu itu berusia delapan tahun mendekat begitu juga Firman dan anggota, mereka ingin melihat adik nya yang telah menjadi mayat. Tubuh rungkuh itu terbungkus kafan putih, Andi suamiku membawa nya menuju ke pemakaman. Selalu begitu. Setiap setan-setan itu datang mereka selalu minta baya ku yang di dalam kandungan sebagai hidangan. Dan aku pun hanya bisa tunduk tanpa bisa melawan. Berkali-kali peristiwa itu terjadi, sungguh aku letih menjalani tiap episode dari hidup ku. Andai saja aku bisa melepaskan semua ilmu itu, andai aku saat itu tidak begitu saja mendengarkan apa yang di sampaikan abah ku mungkin kejadian nya tidak akan seperti ini. Terus hidup dalam bayang-bayang hati ku itu dan terus menjadi gila karena nya. 'Abah' aku meratapi foto laki-laki itu Laki-laki yang melahirkan ku dan meninggalkan aku begitu saja. Laki-laki yang membiarkan mama ku meradang dalam penderitaan saat ratusan bulan terlewati hanya demi menanti suaminya datang lagi. Ya, almarhum abah yang meninggalkan kami begitu saja, berkeliling mencari kata puas yang entah kapan terpenuhi. Almarhum abah yang terus merasa bangga karena ilmunya. Berpetualang dari satu wanita ke wanita lain tanpa pernah kenal lelah. 'Abah' aku mengeja ulang pangggilan itu. Seandainya saja abah ada di sini mungkin semua jauh lebih baik. Mungkin abah punya jalan keluar untuk mengatasi masalah ku. Untuk mengusir setan-setan itu dari tubuh ku. Sayang, abah telah pergi tidak mungkin hidup lagi. Tinggal kami anak-anak nya yang menanggung derita atas ilmu yang di turunkan. Malam itu kami hendak tidur. Ada angin kencang datang, aku dan Andi berpandangan Tiba-tiba pintu di ketuk dari luar. Andi bingung sekali. Pukul dua belas malam, sedang pagar sudah terkunci kenapa bisa pintu di ketuk orang. Aku makin ketakutan. Di kamar sebelah Anggata menangis nyaring membuat bising. Ketukan di pintu pun makin bersuara. " Rahma, " Itu suara mama lirih mengetuk pintu kamar ku. " Iya ma, " Aku dan Andi bangun merasa kasihan pada mama. Pasti mama juga ketakutan. Pintu kamar ku terbuka " Ada orang mengetuk pintu. " " Iya kami dengar, ma " " Anggata juga menangis terus " Suara mama. Kami berada dalam suasana yang mencekam. " Aku buka saja ya pintunya " Suara Andi pada kami. " Mas berani? " Tanyaku. " Iya aku berani, bismillah. " Satu, dua, tiga pintunya terbuka, kosong tidak ada siapa-siapa. Angin kencang itu pun juga tak ada aku sebel sekali. Namun saat pintu hendak di tutup angin itu muncul lagi diiringi sebuah suara " Mama aku berangkat ya" Seorang gadis dengan poni di kepalanya. Ada kain kuning melingkar di pinggang nya. Gadis itu lucu sekali. Ia berlari menjauhi rumah kami. Sesaat setelah gadis itu pergi aku merasa tubuh ku kian ringan, hingga Andi memapah ku untuk duduk di kursi tamu kami. Beriringan dengan itu, Anggata kecil pun berhenti menangis. Aku dan Andi berpandangan, mama menutup pintu rumah agar dinginnya tak menyeruak kedalam rumah. Tujuh anak kami telah tertidur pulas saat jam dinding menunjukkan pukul 02.15 menit. Aku sangat letih, letih yang teramat menggunung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD