Dengan gelas minuman yang isinya sudah tinggal setengah, Brianna beberapa kali melirik jam diponselnya, merasa sedikit khawatir karena Ryan belum juga sampai meski pria itu mengatakan sudah berada di perjalanan. Brianna hampir saja berpikiran yang tidak-tidak mengenai keberadaan Ryan, tapi untungnya semua pikiran buruknya menghilang ketika Ryan menarik kursi di depannya lalu duduk sambil menatapnya menyesal. "Astaga, Ryan!" Brianna bernafas lega, ia lantas mengeluarkan sapu tangan dari dalam tasnya dan memberikannya pada Ryan untuk mengeringkan wajahnya yang sedikit basah terkena air hujan.
"Maaf, kau sudah menunggu lama ya? Tadi ada sedikit insiden."
"Setidaknya kau bisa mengabariku dulu agar aku tidak memikirkan hal buruk." Brianna bersedekap dengan bibir mengerucut lucu.
Ryan terkekeh pelan, pria itu lantas mengacak puncak kepala Brianna lantaran gemas dengan tingkah wanita itu. "Baiklah, aku tidak akan mengulanginya lagi." Ia kemudian memanggil pelayan untuk memesan coklat panas yang cocok di cuaca hujan seperti ini. "Kau tidak ingin pesan makanan, Bri?"
"Tidak usah. Aku tidak bisa lama disini," Sebab Brianna berencana pergi ke toko roti untuk mengantar undangan setelah ini, sekaligus memberitahu Mrs. Gritte jika akan berhenti bekerja.
"Oke," Ryan menutup buku menu di depannya lalu mengembalikannya pada pelayan. "Jadi apa kau ingin menceritakan semuanya, Brianna?" Ryan menatap Brianna lembut agar wanita itu tidak merasa tertekan untuk bercerita dengannya.
Brianna menunduk, meremas lututnya lantaran perasaan gugup yang tiba-tiba melandanya. Ia tidak menyangka jika Ryan akan bertanya secepat ini, padahal sebelumnya ia berpikir jika pria itu akan mengajaknya mengobrol terlebih dahulu.
Setelah menarik nafas panjang dan menghembuskannya, perlahan Brianna mulai menceritakan semuanya. Dimulai dari ia yang harus mengantar kue pesanan ke sebuah hotel, lalu ketika ia diberi minuman oleh orang asing, juga...apa yang terjadi antara ia dan Adam hingga membuatnya harus menikah dengan pria itu.
Brianna menceritakan semuanya tanpa ada yang ia tutupi karena ia sudah menganggap Ryan seperti Kakaknya sendiri, jadi meski harus menceritakan dengan tangisan dan juga rasa malu, Brianna tidak merasa keberatan. Ia justru merasa lega setelah menceritakan semuanya, terlebih Ryan sama sekali tidak menyela ucapannya dan hanya memeluknya ketika suaranya tersedak tangis saat bercerita.
"Apa kau yakin dengan pernikahan ini, Brianna?" Tanya Ryan setelah Brianna menyelesaikan ceritanya. Ia mengusap pelan bahu wanita itu, berusaha menenangkannya dari sisa tangisan. "Jika kau tidak mau menikah dengannya, aku masih sanggup untuk membantumu dan juga merawat bayi di kandunganmu, Bri."
Brianna menggeleng pelan. Tidak! Ia sudah terlalu banyak merepotkan Ryan. Pria itu bahkan sudah mau menjaga Ayahnya selama Brianna bekerja, jadi mana mungkin Brianna menambah beban pria itu dengan membantunya lagi.
"Aku tidak apa-apa. Pernikahan ini hanya berlangsung selama kehamilanku. Setelah bayi ini lahir, aku akan langsung bercerai dengan Adam."
"Lalu kau akan meninggalkan bayimu begitu saja? Kau tidak ingin melihatnya tumbuh, Bri?"
"Aku..." Brianna terdiam. Ia tentu saja sangat ingin melihat bayinya tumbuh, tapi ia takut tidak bisa merawatnya dengan baik. Ia tidak punya apa-apa, bahkan mungkin setelah melahirkan ia tidak tahu harus bekerja di mana.
"Pikirkan semuanya dengan baik, Bri. Aku sama sekali tidak keberatan untuk membantumu."
"Aku akan baik-baik saja, Ryan." Brianna meyakinkan Ryan, meski dalam hatinya ia tidak yakin dengan keputusannya ini.
Ryan menatap Brianna sedih lalu menghela nafas panjang, tahu jika ia tidak bisa merubah pikiran Brianna. "Baiklah, tapi aku harap kau jangan sungkan untuk meminta bantuanku." Ucap Ryan sambil mengusap pelan rambut Brianna. “Aku akan selalu ada kapan pun kau butuh aku, Bri.”
Brianna menangguk pelan sembari tersenyum penuh haru. Ia benar-benar merasa beruntung lantaran bisa mengenail pria sebaik Ryan.
Sementara saat Brianna tersenyum dengan penuh ketulusan, tak jauh dari tempat Brianna dan Ryan duduk, ada sepasang mata yang menatap mereka berdua dengan tajam dan penuh kebencian di dalamnya.
Kedua orang itu sama sekali tidk sadar jika sejak tadi tingkah keduanya terus diperhatikan oleh seseorang.
***
"Adam kau mendengarkanku?" Calla melambaikan tangannya di depan wajah Adam, berharap pria itu akan berhenti menatap pada meja kosong yang berada di depan mereka. Ia sebenarnya tidak mengerti kenapa Adam terus menatap ke sana padahal tidak ada apa-apa di sana. "Adam!" Calla meninggikan suaranya karena Adam tak kunjung menjawab ucapannya.
"Kenapa lagi?"
"Seharusnya aku yang bertanya! Ada apa denganmu sebenarnya?" Calla meletakan sendok makannya sedikit keras, lalu menatap Adam dengan tatapan kesalnya. "Dari tadi kau sama sekali tidak mendengarku berbicara!"
Adam menghela nafas sambil menyugar rambutnya ke belakang. Ia membasahi bibirnya sebelum menatap Calla dengan tatapan menyesalnya. "Maaf, sayang." Ia mengusap punggung tangan Calla, berharap wanita itu tidak lagi marah. Tapi yang terjadi Calla menepis genggamannya. “Calla...maafkan aku."
Calla melirik sekilas, tapi masih memilih diam.
"Bagaimana jika setelah ini kita berbelanja?"
"Kau serius?" Calla mulai berbicara dengan ekspresi senang yang begitu terlihat oleh Adam.
"Aku serius. Tapi..." Adam menjeda ucapannya lalu mendekatkan wajahnya pada telinga Calla. Ia menghembuskan nafas hangatnya sambil menggigit pelan telinga Calla. "...puaskan aku setelah ini."
Tubuh Calla langsung merespon. Ia memejamkan mata dengan bibir tergigit, menikmati godaan Adam di sekitar telinganya. s**t! Pria ini benar-benar tahu titik sensitifnya.
***
Desahan demi desahan memenuhi seisi kamar yang kini sudah sedikit berantakan karena ulah dua insan yang tengah dilanda nafsu itu. Entah ini sudah yang keberapa kalinya, tapi kedua insan itu sama sekali tidak berniat behenti, seakan tidak ada hari esok lagi. Dengan tubuh yang sama-sama polos, keduanya sibuk mencari kenikmatan.
"Lebih cepat...Adam." Kepala Calla mendongak, membiarkan Adam mengecupi dan menjilati lehernya. Ia hanya bisa mendesah ketika Adam juga memainkan buah dadanya sementara yang dibawah sana terus bergerak cepat memompanya. Kedua tangannya bergerak meremas rambut lebat Adam, lalu turun untuk mengusap bahu tegap dan bidang milik Adam yang sering membuatnya tidak bisa menahan diri.
Di bawah sinar lampu dan ditambah keringat yang keluar dari tubuh Adam, tubuh pria itu benar-benar terlihat seperti pahatan dewa Yunani yang sempurna.
"Lihat aku, Calla." Adam menghujam lebih keras, membuat Calla semakin mendesah. "Aku akan berhenti jika kau tidak mau melihatku."
Calla menurut. Dengan bibir yang sedikit terbuka, ia menatap Adam dengan pandangan sayunya. Lewat tatapan matanya ia memohon pada Adam untuk segera menyelesaikan ini semua. Demi Tuhan! Ia sudah lelah, tapi sialnya tubuhnya tidak bisa menolak ketika Adam menyentuhnya. Sia*lan!
Adam tersenyum miring. Ia lantas mempercepat gerakannya sambil memainkan buah d**a Calla dengan lidahnya. Melihat ekspresi penuh kenikmatan yang ditampilkan wanita itu, Adam merasa bersemangat untuk mencapai puncaknya.
Puncak kenikmatan itu akhirnya datang, dengan bagian tubuhnya yang masih berada di dalam diri Calla, Adam terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjauhkan dirinya lalu melepaskan karet sialan yang membungkusnya lalu membuangnya ke tempat sampah. Adam melirik Calla yang masih sibuk mengatur nafasnya, tak peduli meski tubuh telanjangnya tak tertutupi oleh apa-apa.
Tak ingin kembali tergoda, Adam pun menutup tubuh Calla dengan selimut dan berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
***
Malam ini mendadak Brianna tidak bisa tidur meski ia sudah mencari posisi tidur yang nyaman. Wanita itu lantas memilih untuk bangun, berjalan keluar kamar dengan mengendap-ngendap menuju dapur. Di sana, ia membuat segelas coklat panas, berharap segelas coklat panas bisa membuatnya mengantuk.
Ketika ia tengah mengaduk gelasnya, Brianna dikejutkan dengan seseorang yang tiba-tiba saja berdiri dibelakangnya. Ia pun berbalik, memandang orang itu dengan sedikit takut.
"Sedang apa, Bri?"
"Maaf. Saya membuat coklat panas. Mommy mau?"
"Boleh." Ella pun duduk dikursi bar, memperhatikan Brianna yang membuat coklat panas untuknya. "Kenapa belum tidur?"
"Saya tidak bisa tidur, Mom." Ucap Brianna lalu meletakan segelas coklat panas milik Ella. "Mommy sendiri?"
"Aku juga tidak bisa tidur," Ella menyeruput coklat panas buatan Brianna, merasa terkesan dengan rasanya yang pas. "Coklatnya enak."
Brianna tersenyum. "Terima kasih, Mom. Itu resep coklat yang dulu sering dibuat oleh Ibu saya ketika saya tidak bisa tidur."
"Kebanyakan orang akan meminum s**u jika tidak bisa tidur, kenapa kau memilih minum coklat panas?"
"Entahlah. Tiap kali mencoba meminum s**u, saya justru semakin tidak bisa tidur."
Ella tersenyum melihat Brianna yang sudah mulai berani untuk bercerita padanya, padahal biasanya wanita itu lebih banyak diam. Sepertinya keputusannya untuk menikahkan Adam dan Brianna adalah hal yang tepat. Ella hanya bisa berharap jika Putranya itu akan segera sadar dan melepaskan Calla yang hanya tahu berbelanja itu.
“Apa ada hal yang mengganggu pikiranmu, Bri?” tanya Ella setelah ia meletakan coklat panasnya di atas meja. “Jika ada, kau bisa cerita padaku.”
Sembari tersenyum tipis, Brianna lantas menggeleng pelan meski yang ia rasakan justru sebaliknya. Padahal alasan ia tidak bisa tidur lantaran memikirkan pernikahannya yang akan digelar beberapa hari lagi. Tapi pada akhirnya Brianna hanya bisa mengatakan pada Ella jika ia baik-baik saja.