Beberapa macam contoh undangan dengan berbagai warna tersebar di hadapan Brianna yang hanya bisa terdiam kaku di tempatnya. Beberapa kali ia menatap pada contoh undangan yang disodorkan Ella padanya, tapi tidak ada satu pun yang ia pilih lantaran bingung harus memilih yang mana. Semua undangan itu terlihat cantik dimata Brianna, beberapa ada yang dihiasi dengan glitter dan beberapa ada yang terlihat elegan dengan sebuah pita disisi undangan.
"Bagaimana, Brianna? Kau akan pilih yang mana?" Tanya Ella untuk yang kedua kalinya. Ia tampak tidak sabar menunggu jawaban dari Brianna. Bahkan sepertinya ia yang begitu antusias dengan pernikahan ini.
"Saya tidak tahu harus memilih yang mana. Semuanya terlihat cantik."
Ella tersenyum tipis, mengerti sekali dengan apa yang dirasakan oleh Brianna. Dan ia sama sekali tidak keberatan jika harus menunggu Brianna memilih undangan. "Pilih saja yang paling kau suka, Brianna. Tidak perlu merasa ragu." ucap Ella sambil mengusap bahu Brianna pelan.
Brianna mengangguk pelan lalu kembali menatap contoh undangan itu satu-persatu. Dan akhirnya ia pun memilih salah satu undangan yang menurutnya terlihat indah, dan memberikannya pada Ella karena tidak ingin membuat Ella menunggu terlalu lama. “S-saya pilih yang ini saja.
“Pilihan yang bagus, Brianna.” Ella tersenyum puas ketika menatap undangan pilihan Brianna itu. Ia lantas memberikan undangan itu pada salah satu pengawalnya dan menyuruhnya untuk mencetaknya hari itu juga, tidak peduli meski ia harus membayar mahal.
Setelah pengawalnya pergi, Ella pun kembali menatap Brianna. "Untuk gaun pernikahannya, kapan kau siap, sayang?"
“Secepat ini?” tanya Brianna ragu. Berada di sini saja Brianna masih merasa tidak percaya. Apa lagi mengetahui jika sebentar lagi ia akan menikah, Brianna semakin tidak percaya dengan apa yang terjadi dihidupnya ini.
“Lebih cepat lebih bagus, sayang. Kau sama sekali tidak keberatan kan?”
Brianna menggeleng pelan. “Sama sekali tidak, Mom.” Karena hanya dengan cara inilah anaknya bisa hidup dengan baik di kemudian hari.
"Baiklah. Kalau begitu besok Mommy akan menyuruh Adam menemani kita untuk memilih gaun, sekaligus mencari jas untuk pernikahan kalian juga. Tidak apa-apa kan?”
Brianna menanggapinya hanya dengan anggukan pelan karena ia tidak tahu harus berbicara apa. Ia hanya bisa berharap semoga ia sanggup menjalani pernikahan itu sampai batas waktu yang sudah ditentukan oleh Adam.
***
Beberapa kali Adam menghela nafas lantaran jengah dengan Ibunya yang terus-terusan menyodorkan beberapa jas padanya, entah untuk yang keberapa kalinya. Mungkin ini sudah yang kedelapan kalinya? Mungkin. Kadang Adam bingung dengan tingkah Ibunya itu, sebenarnya siapa yang akan menikah di sini? Kenapa justru Ibunya yang sangat bersemangat? Sementara orang yang akan menikah dengannya justru hanya berdiri diam dibelakang Ibunya.
"Mom, aku bisa pilih sendiri."
"Tidak bisa! Pokoknya biar aku yang memilih jasnya, karena Mommy tidak percaya dengan pilihanmu. Bisa saja kau memilih jas dengan asal-asalan." Kemudian Ella segera berlalu dari depan Adam untuk memilih model jas yang lain.
Adam bernafas lega, ia kemudian menoleh pada Brianna dan mengernyit tak suka saat melihat wanita itu baru saja tersenyum. "Kenapa kau tersenyum? Apa menurutmu ini lucu?!"
"Ah tidak. Saya tidak bermaksud untuk--" Brianna tidak melanjutkan ucapannya saat Adam tiba-tiba mendekat dan menyudutkannya ke tembok. Ia bahkan tidak bisa kemana-mana karena pria itu menghalangi jalannya. "Ap-apa yang mau kau lakukan?" Brianna melarikan pandangan karena tidak berani untuk menatap Adam. Ketakutan mulai membanjirinya karena Adam justru semakin mendekat. "Tolong jangan lakukan itu!"
Adam mendengus pelan. "Memang kau pikir apa yang akan aku lakukan?" Pria itu menjauhkan tubuhnya lalu membersihkan rambut Brianna dari serbuk styrofoam yang entah kenapa bisa menempel disana. "Aku hanya ingin membersihkan ini." Dengan senyuman gelinya, Adam pun segera menyusul Ella dan meninggalkan Brianna yang hanya bisa terdiam di tempatnya sambil memegangi dadanya, lebih tepatnya ditempat jantungnya berdetak.
***
Setelah Adam selesai memilih jas, kali ini giliran Brianna yang dicecar oleh Ella untuk memilih gaun hingga membuatnya bingung sendiri. Wanita itu sudah hampir 3 kali keluar-masuk ruang ganti untuk mencoba gaun, tapi dari banyak gaun tidak ada satu pun yang menurut Ella bagus, padahal bagi Brianna semua gaun itu terlihat bagus.
"Coba gaun yang ini, Bri. Aku janji ini yang terakhir." Ucap Ella lalu memberikan satu gaun pada pegawai dan menyuruhnya untuk membantu Brianna.
Brianna hanya bisa pasrah, ia mengikuti langkah pegawai toko dan membiarkan dirinya digeser kesana-kemari untuk memasang gaun itu ditubuhnya. Ketika selesai, Brianna disuruh untuk berbalik dan menunggu tirai ruang ganti terbuka.
Begitu tirai terbuka, Brianna menemukan Ella menatapnya dengan kening berkerut. Sementara Adam hanya terdiam dengan mata menatap pada Brianna. Entah apa yang ada dipikiran pria itu, Brianna sama sekali tidak bisa menebaknya.
"Ganti lagi. Aku--"
“Mom biar ini saja." Adam yang sejak tadi diam saja, akhirnya bersuara. Pria itu tampak berdehem sekali ketika Ella menatapnya dengan satu alis terangkat. "Dia sedang hamil, Mom. Jangan membuatnya lelah. Lebih baik pilih gaun yang ini saja."
Ella mendengus geli, lalu menatap Brianna dengan senyum tipis. "Baiklah. Kita pilih yang ini saja."
Adam bernafas lega karena Ella akhirnya menyudahi semuanya. Ia kemudian melirik Brianna, menemukan wanita itu juga tengah menatapnya dan buru-buru melengos saat Adam balik menatapnya. Adam lantas mendekat. "Kau baik-baik saja 'kan?"
"Ha?" Brianna terlalu terkejut karena Adam tiba-tiba saja sudah berdiri disebelahnya.
"Kau baik-baik saja 'kan?" Adam mengulangi pertanyaannya karena Brianna yang tak kunjung menjawab.
"Iya. Saya baik-baik saja."
"Bisakah kau berbicara biasa saja? Bicaramu terlalu formal." Entah kenapa Adam tidak suka dengan cara Brianna yang berbicara menggunakan bahasa formal seperti itu. Terdengar menyebalkan ditelinga Adam.
"Maaf. Saya--maksudnya aku...belum terbiasa dengan semua ini."
"Maka mulai sekarang belajarlah membiasakan diri agar kau pantas berdiri di sebelahku."
"Aku tahu, aku memang tidak pantas denganmu. Tapi aku janji, setelah anak ini lahir aku akan segera pergi."
Dan Adam langsung terdiam, mulai menyesali kata-katanya yang mungkin saja melukai hati Brianna.
***
Ponsel yang Ryan letakan diatas meja kerjanya bergetar ketika ia tengah mencoba memejamkan matanya sejenak. Pria itu lantas menghela nafas pelan sebelum bergerak mengambil benda persegi itu. Keningnya berkerut saat melihat nama Brianna disana. Tanpa menunda lagi, ia pun segera menjawab panggilan Brianna itu.
"Ada apa, Bri?"
Tidak ada balasan dari Brianna, hanya suara hela nafas wanita itu saja yang terdengar, membuat Ryan sedikit khawatir dengan keadaannya. "Brianna? Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa." Jawab Brianna pelan. Tapi Ryan tetap merasa ada yang tidak beres dengan wanita itu. Ia sudah mengenal Brianna sejak wanita itu berumur 17 tahun, itu sebabnya Ryan tahu.
"Kau tidak akan menelpon lebih dulu jika memang tidak apa-apa, Bri."
"Aku hanya ingin mengobrol saja. Aku mengganggumu ya?"
"Kau sama sekali tidak mengganggu. Aku hanya khawatir denganmu, Bri."
"Aku baik-baik saja. Jadi tidak perlu khawatir."
"Kau dimana sekarang? Biar aku menemuimu." Ryan bersiap untuk berdiri, tapi tidak jadi karena Brianna melarangnya.
"Tidak usah, aku sedang ditempat yang jauh sekarang."
Entah pendengarannya benar atau tidak, tapi Ryan mendengar suara isakan pelan dari Brianna.
"Brianna, ayolah. Jangan seperti ini. Aku tahu kau sedang tidak baik-baik saja." Ryan berucap lembut, mencoba membujuk Brianna agar menceritakan masalahnya. "Sekarang katakan, kau ada dimana?"
"Aku ada di rumah Adam."
"Adam siapa?"
"Calon suamiku."
"Apa?!" Ryan tak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. "Brianna jangan main-main. Calon suami apa maksudmu?"
"Ryan...maaf," Brianna mulai terisak, membuat Ryan mengepalkan tangannya karena tidak bisa berbuat apa-apa. “Aku hamil."
"Ya Tuhan, Brianna." Ryan menarik rambutnya frustasi. "Masalah seperti ini kenapa kau tidak bercerita padaku?"
"Aku malu,Ryan. Seharusnya aku bisa menjaga diriku sendiri, tapi yang terjadi justru sebaliknya."
"Kau sudah seperti adikku, Bri. Apa yang membuatmu malu?"
“Maaf..."
"Sudah tidak perlu minta maaf. Sekaranng berhentilah menangis, ini sudah larut malam. Besok kirimkan alamat rumah Adam dan aku akan menemuimu ya?"
"Tidak usah. Biar aku saja yang pergi menemuimu. Sekaligus aku ingin menjenguk Ayah."
"Baiklah. Sekarang istirahatlah."
"Hm. Terima kasih karena sudah mau mendengar ceritaku, Ryan."
"Sama-sama, Brianna. Kapanpun kau butuh bantuan, kau bisa hubungi aku.”
“Sekali lagi terima kasih. Tolong titipkan salamku untuk Ayah.
Lalu sambungan pun terputus. Setelah itu Ryan langsung keluar dari ruangannya, mencoba menyibukan diri agar tidak memikirkan Brianna.