D E L A P A N

1043 Words
Pagi-pagi sekali Brianna terbangun karena rasa mual yang melandanya, wanita itu langsung berlari ke kamar mandi, berjongkok di dekat closet dan memuntahkan isi perutnya. Ia meringis sakit saat kepalanya tiba-tiba pusing, padahal biasanya ia tidak pernah seperti ini. Brianna kemudian menekan flush ketika dirasa mualnya berkurang dan berniat untuk berdiri, tapi tubuhnya yang lemas membuatnya tidak bisa menopang berat tubuhnya. Andai tidak ada orang yang menahannya, Brianna tidak tahu akan berakhir bagaimana dia nanti. "Kau baik-baik saja?" Ternyata itu Adam, pria itu menatap Brianna dengan kening berkerut dan langsung menggendong wanita itu menuju ranjang. Perlahan ia baringkan tubuh Brianna di ranjang dan memastikan posisinya nyaman. Sekali lagi, ia menatap Brianna untuk mengetahui apa yang terjadi dengan wanita itu. "Apa kau sakit?" Brianna menggeleng lemah. "Saya baik-baik saja. Hanya sedikit mual biasa yang terjadi pada ibu hamil." "Aku akan memanggil dokter," Adam bersiap untuk keluar kamar, tapi Brianna menahannya. Pria itu pun kembali menghadap Brianna. "Apa lagi?" "Tidak usah memanggil dokter. Saya baik-baik saja." "Tapi wajahmu pucat!" Suara Adam sedikit meninggi karena Brianna yang terus berkata baik-baik saja, padahal nyatanya wanita itu tidak sedang baik-baik saja. Lihat saja, tubuh mungilnya justru membuatnya semakin terlihat lemah seperti itu. "Ingat, kau sedang mengandung anakku! Jadi lebih baik kau menurut saja. Jangan merepotkan orang dengan tingkahmu itu!" Mendengar ucapan Adam itu, Brianna pun melepaskan genggamannya, membiarkan Adam berlalu keluar kamar. Sementara dirinya malah terlihat menyedihkan dengan air mata yang menggenang dipelupuk matanya. Hah! Hormon kehamilan benar-benar membuat Brianna menjadi orang yang cengeng. *** Setelah diperiksa dan diberi obat anti mual oleh dokter, Brianna pun langsung tertidur pulas setelahnya. Wanita itu tampak sangat tenang dalam tidurnya meski sesekali keningnya akan berkerut dan membuat Adam jadi bertanya-tanya, apa yang dimimpikan oleh Brianna? Pria itu lantas menghela nafas dan menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi. Punggungnya terasa kaku karena sejak Brianna tertidur, ia memilih untuk duduk di samping ranjang wanita itu. Adam sendiri tidak tahu apa yang membuatnya seperti ini. Ia hanya merasa ingin terus berada di samping Brianna, sambil sesekali menatap perut wanita itu yang ada di balik selimut. "Kau tidak berangkat kerja, Dam?" tanya Ella lalu masuk ke kamar Brianna dan duduk dipinggir ranjang. Bibirnya mengulas senyum tipis saat melihat Adam sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari Brianna. "Brianna akan baik-baik saja, jadi lebih baik kau berangkat ke kantor." "Baik-baik saja bagaimana, Mom? Dia bahkan hampir jatuh tadi." "Kau khawatir?" Adam terdiam sejenak, ia mengusap wajahnya lalu memilih berdiri. "Dia mengandung anakku, Mom. Aku hanya tidak ingin sesuatu terjadi pada anakku." "Bukankah kemarin kau bilang itu bukan anakmu? Kenapa sekarang kau mengakuinya?" "Aku akan berangkat ke kantor. Pastikan untuk tidak meninggalkan Brianna sendirian, Mom." Ucap Adam sebelum berlalu keluar kamar. Ella hanya bisa menggeleng geli melihat tingkah anaknya itu. Ia kemudian mengusap lembut kening Brianna, berharap Brianna mampu bertahan bersama Putranya yang keras kepala itu. *** Ponselnya yang bergetar di atas meja kantor, meyadarkan Adam dari lamunannya. Pria itu lantas melirik ponselnya, menghela nafas panjang saat melihat nama Calla di sana. Ia pun segera menjawab panggilan dari Calla itu agar tidak memperpanjang masalah. "Adam!" Calla berbicara sedikit keras, bahkan sebelum Adam membuka mulutnya untuk menjawab halo. Pria itu menjauhkan ponselnya sejenak untuk menormalkan telinganya yang sempat berdengung karena teriakan nyaring Calla. "Ada apa, Calla?" "Ada apa?! Apa kau lupa hari ini kau sudah berjanji untuk menemaniku berbelanja?" "Lagi, Calla? Bukankah beberapa hari yang lalu kau sudah berbelanja?" "Ck! Aku perlu baju untuk acara besok, Adam. Pokoknya kau harus menemani aku berbelanja!" Adam memutar matanya malas, pusing mnedengar Calla yang terus merengek. "Fine. Tunggu aku di lobby apartemenmu." "Baiklah. Jangan lama-lama ya." Lalu panggilan pun terputus. Adam segera bersiap untuk pergi, tapi urung saat ia melihat satu pesan masuk ke ponselnya. Ia kembali duduk, membuka pesan dari Brenda yang mengirimnya sebuah foto. Bibir Adam melengkung ke atas ketika melihat Brianna tengah makan ditemani oleh Ella. Sebelum berangkat ke kantor tadi, Adam diam-diam meminta salah satu asisten rumah tangga untuk mengawasi Brianna dan melaporkan apa saja yang dilakukan wanita itu. Ia melakukan itu hanya karena tidak ingin hal buruk terjadi pada anaknya. Ya, hanya itu. Memangnya apa lagi? Adam mendengus pelan, mendadak geli dengan tingkahnya sendiri. Ia pun segera memasukan ponselnya ke saku jas dan berlalu pergi menemui Calla sebelum wanita itu menelpon lagi. *** Brianna tadinya ingin ikut membantu mencuci piring bekas makan siangnya, tapi tidak jadi karena Ella tidak mengizinkannya. Wanita itu bahkan mengancam akan memecat para asisten rumah tangga jika mereka membiarkan Brianna bersih-bersih. Akhirnya karena tidak ingin menimbulkan masalah, Brianna pun memilih untuk berjalan-jalan di taman belakang mansion karena bingung harus berbuat apa. Di bagian belakang mansion ternyata ada sebuah kolam renang besar, sementara di sebelah kiri kolam terdapat gazebo yang menghadap ke arah taman bunga. Brianna pun memilih untuk duduk di gazebo, menikmati angin yang berhembus dengan mata tertutup. Gaun yang ia pakai terayun lembut karena hembusan angin. Ia sangat berterima kasih karena Ella sudah berbaik hati membelikan gaun seindah ini untuknya. Brianna tidah tahu harus dengan apa ia membalas kebaikan Ella. Di saat ia tengah menikmati kesendiriannya, ponsel dipangkuannya bergetar pelan. Brianna membuka matanya dan tersenyum ketika tahu Ryan yang menelpon. Ia pun cepat-cepat menjawab sebelum panggilan masuk berhenti. "Ryan..." Diseberang sana Ryan terkekeh mendengar nada suara Brianna yang lucu. "Halo, Brianna." "Aku merindukanmu." "Waw! Aku merasa tersanjung dirindukan oleh dirimu, Brianna." Brianna terkekeh. Ia menggoyang-goyangkan kakinya pelan seperti anak kecil. "Bagaimana kabarmu?" "Aku baik. Justru aku yang harusnya bertanya, kemana saja kau? Sudah lama aku tidak melihatmu ke rumah sakit." "Ada sedikit masalah." “Masalah apa?” “Hanya masalah kecil.” dusta Brianna sambil tersenyum miris. "Tapi kau baik-baik saja kan?" "Aku baik-baik saja." Sangat baik malah, walaupun ia masih merasa asing. "Ayahku baik-baik saja?" "Dia baik-baik saja. Ayahmu makan dengan baik disini. Kau tidak perlu khawatir." Brianna menghela nafas panjang, mendadak ia jadi ingin ke rumah sakit karena ingin menjenguk Ayahnya. "Ryan terima kasih sudah mau membantuku selama ini. Aku tidak tahu harus berbuat apa untuk berterima kasih padamu." "Aku tidak ingin balasan apa pun, Bri. Aku hanya ingin kau selalu bahagia. Hanya itu." Hormon kehamilan membuat Brianna sedikit sensitif, baru mendengar ucapan Ryan saja ia sudah menangis. Mati-matian ia menahan tangis karena tidak ingin Ryan tahu, tapi entah bagiamana pria itu bisa tetap tahu. "Tidak usah menangis. Kau sudah aku anggap seperti adikku sendiri, Brianna. Sekarang hapus air matamu dan tersenyumlah. Hari ini terlalu indah untuk dirusak dengan tangisan." Brianna menanggun semangat meski Ryan tidak bisa melihatnya. Ia pun segera menghapus air matanya, memandang lurus pads awan dan melebarkan senyumannya. Dalam hati ia berdoa agar ia bisa terus tersenyum seperti hari ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD