Hari yang sudah beranjak sore membuat Brianna kebingungan ketika menatap ke luar jendela dan melihat jalanan yang tidak ia kenali. Ia lantas menoleh ragu pada Ella untuk bertanya akan dibawa kemana dirinya, tapi semua itu ia urungkan ketika tahu jika Adam sedari tadi menatapnya melalui kaca spion yang ada di atas kepala. Pria itu menatap Brianna tajam dan memberikan tatapan tidak sukanya secara terang-terangan.
Brianna pun memilih menundukkan kepalanya, menatap pada kedua tangannya yang saling menggenggam. Rasa tidak nyaman membuat kepalanya sedikit pusing, ia bahkan sampai harus memijit pelipisnya untuk mengurangi pusing yang menderanya.
"Brianna kau baik-baik saja?" tanya Ella khawatir.
"Eh? Saya...baik-baik saja." Brianna tersenyum kaku. Merasa semakin tidak nyaman karena Adam kembali menatapnya, kali ini disertai dengan decakan dan juga ucapan yang lagi-lagi menyakiti Brianna.
"Tidak usah berlebihan, Mom. Dia pasti hanya berpura-pura."
"Adam! Jaga ucapanmu," Ella memukul kencang lengan Adam hingga Putranya itu mengaduh sakit, lalu memberikan tatapan tajam saat Adam hendak melayangkan protesnya. "Kau harusnya menjaga perasaan wanita yang sedang mengandung anakmu, Adam."
"Cukup, Mom. Aku tidak ingin membahasnya! Lagi pula aku tidak yakin jika itu benar-benar anakku.”
Ella menggeram marah, memberikan tatapan tajamnya pada Adam lalu menoleh pada Brianna dengan tatapan menyesalnya. "Maafkan ucapan Adam ya, Brianna. Itu salahku yang tidak mendidiknya dengan baik."
Brianna hanya mengangguk kaku, sementara Adam mendengus saat mendengar ucapan Ibunya itu.
****
Akhirnya setelah lumayan lama diperjalanan, mobil pun berhenti di depan mansion dengan pagar tinggi yang begitu mewah. Mereka menunggu beberapa saat untuk menunggu pagar terbuka. Ketika akhirnya pagar terbuka secara perlahan, apa yang ada dibaliknya benar-benar membuat Brianna tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Apa lagi saat mobil melewati air mancur berukuran besar dan juga lampu-lampu taman yang menyala dengan indah. Belum lagi beberapa patung dewa yang menghiasi di sepanjang jalan menuju mansion. Bahkan saking besarnya halaman mansion itu, butuh waktu kurang lebih lima menit sebelum benar-benar sampai di depan mansion.
Menyadari mobil akhirnya berhenti sepenuhnya, Brianna pun ikut turun saat Ella menyuruhnya turun. Mata Brianna masih belum puas menatapi keindahan rum—ah tidak. Ini lebih pantas di sebut istana dari pada rumah.
Sebelumnya Brianna bahkan tidak pernah membayangkan jika dia akan menginjakan kakinya di mansion semewah ini. Rasanya seperti—
"Dasar kampungan!" ucap Adam pelan. Tapi meski begitu Brianna masih bisa mendengarnya, wanita itu lantas menunduk malu dengan wajah sedikit memerah.
"Ayo masuk." Ella menggandeng tangan Brianna, mengajaknya masuk ke dalam mansion untuk menemui suaminya yang sudah menunggu kedatangan Brianna sejak pagi tadi.
"Mark, lihat siapa yang datang." ucap Ella pada suaminya. Ia kemudian menggandeng tangan Brianna sambil tersenyum hangat.
Mark yang tadinya tengah bermain catur bersama salah satu pengawal pun berbalik, menunjukan senyuman tulusnya untuk Brianna. "Halo, Brianna." Sapanya, ia kemudian berdiri untuk menghampiri Brianna dan memeluknya sejenak. "Perkenalkan, aku Mark."
"Saya Brianna."
"Aku sudah mendengar semuanya dari Istriku, Brianna." Mark kemudian beralih menatap Adam yang tengah duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Mungkin karena merasa diawasi, pria itu pun mengangkat pandangan dan menatap Mark dengan satu alis terangkat.
"What?"
"Kau ini!" Mark mendesis kesal, tapi raut wajahnya langsung berubah ketika kembali menatap Brianna. "Selamat datang di keluarga Chaiden, Brianna. Aku harap kau akan betah berada di sini.”
Mendengar hal itu tentu saja membuat Brianna sedikit terkejut. Ia kemudian menatap Ella dan Mark bergantian. “S-saya harus tinggal di sini?”
Ella kemudian tersenyum, mendekat pada Brianna untuk mengusap bahunya pelan. “Maaf tidak memberitahumu lebih dulu, Brianna. Tapi untuk kebaikanmu dan juga calon bayimu, aku mohon padamu untuk tinggalah di sini bersama kami.” ucap Ella dengan tatapan memohonnya.
“T-tapi saya—”
“Aku mohon, Brianna.”
Akhirnya karena tidak tega melihat Ella yang terus memohon padanya, Brianna pun akhirnya menuruti permohonan Ella itu, yang tentu saja langsung membuat Ella dan Mark tersenyum bahagia.
“Terima kasih, Brianna. Kau benar-benar wanita yang baik.” ucal Ella.
Sementara Adam yang seja tadi mencuri dengar ucapan kedua orang tuanya itu hanya bisa mendengus pelan. Ia lantas berpikir apa yang membuat orang tuanya lebih menyukai Brianna dibandingkan Calla yang sangat jauh di atas Brianna.
“Nah, Adam. Tolong kau antar Brianna ke kamarnya ya. Dia masih butuh istirahat."
"Eh? Tapi saya—”
"Tidak apa-apa, Brianna. Adam akan mengantarmu ke kamar." Mark menenangkan Brianna yang tapak gugup berada di tengah-tengah keluarganya.
Karena merasa tidak enak dengan Mark, Brianna pun hanya menurut. Ia mengikuti langkah Adam yang berjalan di depannya. Mereka berjalan menyusuri lorong mansion dengan keheningan. Brianna juga lebih memilih untuk diam karena ia tidak tahu harus berbicara apa. Ia lantas melihat beberapa foto yang di pajang di sepanjang lorong.
Ketika melihat foto masa kecil Adam yang terpajang, tiba-tiba saja Brianna mulai membayangkan akan seperti apa wajah anaknya nanti? Apakah akan selucu Adam saat kecil? Tanpa sadar Brianna pun mengusap perutnya pelan, membuat Adam sejak tadi mencuri pandang akhirnya menghentikan langkah dan berbalik.
"Kau baik-baik saja?" Tanya pria itu datar.
"Um...saya baik-baik saja." ucap Brianna meski bingung kenapa Adam tiba-tiba bertanya mengenai keadaannya.
Adam sebenarnya ingin menanyakan keadaan perut wanita itu tadi, tapi tidak jadi karena ia yakin Brianna baik-baik saja. Ia pun kembali melanjutkan langkah dan berhenti di depan salah satu kamar. "Ini kamarmu,"
Brianna hanya mengangguk pelan. Ia berniat untuk masuk, tapi urung saat melihat Adam masih berdiri di sampingnya. "Apa ada?" Ia agak canggung jika harus berlama-lama bersama Adam, ditambah lagi pria itu yang kini menatapnya dari atas sampai ke bawah dengan tatapan tidak sukanya.
Adam lantas mendengus pelan. "Tidak ada. Jika kau butuh sesuatu, kau bisa langsung tekan tombol di samping lampu tidur, dan pelayan akan langsung kemari. Di sebelah sana itu kamar orang tuaku, sementara kamarku ada disebelah kamarmu."
"Iya, saya mengerti."
"Baguslah." Adam pun langsung berbalik pergi sambil merutuki dirinya yang tiba-tiba saja peduli dengan wanita itu. Sialan! Ucapan Mamanya tadi benar-benar mempengaruhinya. Apa benar anak yang dikandung Brianna itu anaknya? Jika memang iya, itu artinya ia akan jadi Ayah. Membayangkan hal itu membuat Adam semakin penasaran. Astaga! Sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya?!
****
Usai makan malam dan berbincang sejenak bersama kedua orang tua Adam, Brianna sebenarnya berniat untuk membereskan meja makan, tapi Ella melarangnya dan menyuruhnya untuk masuk kamar dan beristirahat. Brianna diperlakukan seperti seorang putri di rumah ini, tapi entah kenapa Brianna justru merasa tidak nyaman. Ia tidak terbiasa dengan semua ini, ditambah lagi ia tidak mengerti dengan apa yang Ella dan Mark bicarakan. Brianna lebih banyak diam, meski sesekali akan menjawab saat Ella atau Mark bertanya.
Dan sekarang ia sudah berada di kamar, duduk dipinggir ranjang dan terdiam. Lagi-lagi ia merasa tidak nyaman berada di kamar yang 3 kali lebih besar dari kamarnya. Akhirnya karena tidak tahu harus berbuat apa, Brianna memilih untuk membuka pintu balkon kamar, membiarkan angin malam menerpa kulitnya. Ia memeluk dirinya sendiri saat angin mengenai kulitnya. Sambil menatap gelapnya malam yang terlihat indah karena dihiasi oleh bintang-bintang, Brianna kemudian menarik nafas panjang dan menghembuskanya pelan. Ia menyenderkan tangannya di besi pembatas balkon lalu erlahan mengulas senyuman, berharap Ibunya akan menatapnya dari atas sana. "Aku dan Ayah baik-baik saja di sini, Bu. Ibu tidak perlu khawatir." Ucap Brianna sambil mengusap perutnya. Ya, dia akan baik-baik saja karena kini ia tidak akan sendiri lagi, ada makhluk kecil yang sebentar lagi akan memanggilnya Ibu.
Ibu...?
Astaga! Membayangkan itu membuat Brianna tiba-tiba berdebar dan merasa tidak sabar untuk bertemu buah hatinya. "Teruslah tumbuh sehat, sayang. Mama akan sabar menunggumu." Ia tersenyum sejenak, lalu memilih kembali masuk karena udara semakin dingin.
Brianna tidak tahu, jika sejak tadi Adam mengawasi gerak-gerik wanita itu. Pria itu duduk di kursi balkon untuk merokok dan membiarkan lampu balkon mati agar ia bisa menikmati kesendiriannya. Ia pun mematikan bara rokoknya dan membuang bekasnya di kotak sampah.
Adam tidak langsung pergi dari sana. Ia duduk untuk waktu yang lama sebelum akhirnya melompat ke balkon kamar Brianna yang pintunya dibiarkan terbuka. Adam menemukan wanita itu sudah tertidur nyaman dengan satu tangan disisi kepalanya.
Perlahan Adam pun mendekat, berdiri di samping ranjang untuk mengawasi gerakan nafas Brianna yang teratur. Lalu entah apa yang merasukinya, sebuah pemikiran gila tiba-tiba masuk ke kepalanya.
Dengan sedikit ragu, Adam mengulurkan tangannya dan meletakannya diatas perut Brianna. Ia terdiam untuk beberapa saat, lebih tepatnya terkejut ketika telapak tangannya merasakan sebuah gundukan di sana. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Adam merasakan sebuah perasaan aneh yang membuatnya ingin melindungi bayinya itu.
Perasaan apa ini?