Perasaan

1226 Words
Minara mengangkat kepalanya dan melihat Ananta, manager ekspor di perusahaan perikanannya sedang berlari kecil menghampiri Minara yang terbaring terengah-engah di samping sosok lelaki yang terbujur pingsan tak berdaya. "Dia mungkin jatuh dari kapal , tapi aku tidak yakin," jawab Minara , napasnya masih terengah-engah dari aksinya yang melelahkan. "Aku tidak mengenalnya, tapi aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja di lautan." Ananta menunduk memeriksa lelaki terbujur ini, dia memegang nadinya . "Dia masih hidup," serunya dengan cepat. Minara segera bangkit dan menatap lelaki yang terbujur tak berdaya di sampingnya . Lelaki ini memiliki rahang kuat dan alis yang tebal. Dia juga memiliki tattoo di pergelangan tangannya yang membentuk rantai. Kemeja putihnya yang sudah tidak berkancing di beberapa bagian, ,memperlihatkan da.da bidang lelaki ini yang juga tampak bertattoo. "Dia harus segera dibawa ke rumah sakit, nadinya sangat lemah.” Kata Ananta mengalihkan pengamatan Minara pada lelaki ini. “ Kamu bisa membantuku mengangkatnya?" tanya Minara masih dengan suara terengah-engah. Sepertinya dia mengeluarkan tenaga sangat banyak untuk menarik lelaki ini sampai ke daratan Ananta segera mengangguk. "Ya, aku akan membantu. Ayo kita angkat dia ke speedboat untuk dibawa ke rumah sakit ." Mereka berdua berusaha keras untuk mengangkat lelaki ke speed boat kuning yang tertambat di pinggir Pantai, speed boat adalah salah satu alat transportasi yang paling cepat untuk mencapai rumah sakit yang berada di Kota Sabang . Cahaya matahari yang mulai memudar, memunculkan warna oranye di cakrawala. Saat Ananta dan Minara berhasil meletakkan lelaki ini ke bagian belakang speedboat . Tiba-tiba lelaki pingsan ini membuka matanya dan antara sadar dan tidak, dia memegang tangan Minara dengan kencang sambil berkata “ Jangan tinggalkan aku.” Minara merasakan denyut cepat di dadanya ketika mata lelaki itu terbuka. Ada getaran aneh yang mengalir di dalamnya, campuran antara perasaan iba yang mendalam dan rasa ingin tahu yang tak terkendali. Rasa itu makin tak terkendalikan ketika tangan lelaki itu memegang erat tangannya, perasaan berdebar yang menyelinap ke relung jantungnya. Ini bukan hanya tentang keselamatan seorang pria yang tak dikenal, tapi juga tentang perasaan yang muncul tiba-tiba di hatinya. Untuk menepis perasaan itu, Minara menatap lelaki itu sambil tersenyum dan berkata pelan “ Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku akan membawamu ke rumah sakit, tapi kamu harus melepaskan pegangan di tanganku dulu agar aku bisa menyetir speed boat ini untuk membawamu ke rumah sakit. ” Lelaki itu tidak melepas pegangangnya pada tangan Minara , dia malah makin mengenggam erat tangan Minara , dengan semua tenaganya yang tersisa. “ Aku aja yang nyetir, Bu . Ibu duduk di belakang bersama dia.” Ananta mengambil keputusan dan segera berlari ke depan kemudi speed boat. Speed boat kuning itupun melaju menembus lautan sepi dari sebuah pulau kecil tempat lelaki ini diselamatkan Nara, menuju rumah sakit terdekat . Tangan Minara masih berada dalam genggaman tangan lelaki yang tidur tak berdaya . Lelaki ini menutup matanya erat ,sepertinya dia kembali tidak sadarkan diri. Apa yang terjadi dengan dirimu? Siapakah kamu? Mengapa kamu bisa terombang-ambing di tengah lautan sampai ke Pulau terujung Indonesia ?Apakah kamu jatuh ke lautan karena kecelakaan atau ada orang yang sengaja menjatuhkan kamu? Pertanyaan-pertanyaan itu berseliweran di otak Minara sambil menatap lelaki yang kepalanya tidur di paha basahnya. Lelaki ini tetap menutup mata tapi tangannya tidak mau melepaskan pegangannya dari gengaman tangan Minara. +++ “ Bu Minara. Dokter Septi ingin berbicara dengan anda mengenai pasien yang anda bawa.” Panggil suster kepada Minara yang baru selesai mengganti pakaiannya yang basah dengan pakaian kering. “ Sebentar.” Jawab Nara beranjak masuk ke ruangan dokter Septi yang merupakan teman masa kecilnya " Nara, kamu di mana ketemu lelaki itu? Dia dehidrasi dan kekurangan gizi, sepertinya sudah berhari-hari tubuhnya tidak mendapatkan asupan makanan.” Kata Septi sambil mempersilahkan Nara duduk di depannya. “ Aku melihat dia terombang ambing saat memeriksa perangkap lobsterku di karang dekat Pulau pribadi kami ” Kata Nara sambil mengeringkan rambutnya. “ Ya Tuhan Nara. Kenapa masih kamu sendiri yang memeriksa perangkap lobster. Kamu ini pemilik perusahaan ekspor lobster terbesar di Kota Sabang , Boss besar kok masih turun tangan sendiri melihat perangkap lobster. Anak buahmu kemana?” Tanya Septi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Nara terkekeh-kekeh “ Bagiku melihat perangkap lobster itu ibarat healing buat diriku, kamu tahu kan hatiku gundah gulana saat mamaku masuk ke rumah sakit. Jadi berenang di antara ombak, sambil melihat perangkap lobster membuatku rileks dan hatiku menjadi lebih ringan.” Kata Nara. “ Jangan sering-sering berenang ke pulau karang itu , Nara. Bahaya. Ombak sekarang tidak bisa di prediksi.” Kata Septi khawatir pada teman masa kecilnya. “ Kamu meragukan kemampuan berenangku? Aku masih tangguh, Sept. Aku masih sering berenang di laut di belakang rumahku, saat pagi. Kamu aja yang sok sibuk tak pernah menemani aku lagi, padahal kamu dulu juga suka berenang dan berbikini ria bersamaku ” Kata Nara. “ Bukan sok sibuk, tapi aku memang sibuk.” Kata Septi cemberut “ Dan kamu tahu, aku berani berenang hanya pakai bikini karena ajakanmu saja, dan itu juga karena pulau itu milikmu. Kamu jangan ngomong-ngomong kalau kita suka berenang pakai bikini, nanti kita tak bebas berenang lagi, karena diintipin pekerja-pekerjamu . ” Lanjutnya sambil meletakkan telunjuknya ke bibirnya. “ Kalau pagi-pagi, masih aman , kita bisa bebas berenang hanya pakai bikini sesuka hati kita karena, semua pekerjaku mulai kerja di siang hari.” Kata Nara sambil tertawa, dia lalu bertanya “ Sept, apakah pasien itu akan baik-baik saja?” “ Dia lagi diinfus, tidak ada luka serius ditubuhnya. Hanya ada baret-baret di kaki, tangan dan punggungnya, mungkin kena karang. Tapi di kepalanya ada luka besar dengan darah yang sudah mengering. Luka itu mungkin terantuk karang besar atau terantuk badan kapal saat dia jatuh ke laut.” Kata Septi . “ Apakah kamu sudah menjahit luka di kepalanya?” “ Kami sudah menjahitnya, dan sudah memberinya suntikan anti tetanus agar tidak terjadi infeksi. Sepertinya dia tidak sadarkan diri karena kekurangan asupan gizi, setelah diinfus , mungkin dia akan segera sadarkan diri. Setelah dia sadar baru kita MRI dan CT Scan untuk melihat apakah ada luka di bagian dalam tubuhnya .” Kata Septi menjelaskan . “ Iya, lakukan yang terbaik untuk mengecek seluruh fungsi tubuhnya. Periksa semua yang kamu rasa perlu.” Kata Nara tegas “ Siapa yang bayar tagihannya ?” Tanya Septi “ Pake nanya. Ya , akulah. Kamu nggak tahu, kalau temanmu ini kaya raya. Pemasukanku dollar dari ekspor lobster dan akhir-akhir ini dollar melonjak gila-gilaan, jadi kekayaanku bertambah. Masalah biaya rumah sakit, menjadi tanggunganku sampai pasien itu pulih agar kita bisa bertanya pada dirinya tentang dari mana asalnya dan mengapa dia bisa terombang-ambing di lautan. ” Kata Nara sambil mengedipkan matanya. Septi memandang wajah manis Nara dan mengerutkan keningnya sambil bertanya “ Kamu jatuh cinta pada dia? Kenapa kamu mendadak penuh perhatian? Tidak biasanya kamu seperti ini” “ What?? Gila?? Nggak lah. Aku hanya kasihan padanya. Laut itu tempatku mencari nafkah, jadi aku harus berbuat baik saat lautan memberiku seseorang untuk ditolong. Itu caraku membalas budi pada lautan, seperti yang selalu almarhum papaku ajarkan. Kalau ketemu dia di daratan , mungkin aku tidak akan sebaik ini.” Kata Nara ringan. “Hm… Nggak percaya ! Kamu pasti jatuh cinta.” Kata Septi menggoda Nara. “ Bu dokter pasien nya telah sadar” Lapor suster, sebelum Nara sempat membantah godaan Septi. Apakah aku jatuh cinta padanya ? Tanya Nara pada dirinya sendiri sambil mengikuti langkah lebar Septi menuju ruang perawatan pasien.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD